Saturday, September 17, 2016

POLITIK PEMBANGUNAN SISTEM PERADILAN PIDANA NASIONAL BERDASAR FILSAFAT HUKUM BERBASIS LOKAL GENIUS

POLITIK PEMBANGUNAN SISTEM PERADILAN PIDANA NASIONAL BERDASAR FILSAFAT HUKUM BERBASIS LOKAL GENIUS
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pembangunan sistem peradilan pidana yang adil bagi masyarakat Indonesia adalah merupakan hal penting mengingat bentuk sistem peradilan pidana suatu bangsa merupakan cerminan dari ciri kehidupan, budaya, dan identitas dari suatu bangsa dalam memandang kejahatan. Mengenai problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan keadilan yang berkaitan dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi dalam realitanya sering kali tidak ditemukan.  Keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini sering kali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.[1]
Menurut sejarahnya, perkembangan hukum liberal menjadi hukum modern (pasca liberal) berdampak pada keterlibatan negara untuk berperan aktif dalam menentukan segala kebijakan,[2]sehingga negara diposisikan sebagai lembaga yang memiliki hak untuk menetapkan sejumlah norma sebagai bentuk redistribusi kekuasaan yang dalam pandang ilmu hukum khususnya hukum pidana merupakan bentuk kongkrit dari kontrak sosial.[3] Redistribusi kekuasaan yang diterima oleh negara inilah yang kemudian membuat negara dalam sistem peradilan pidana memiliki kewenangan untuk mengambil alih peran korban jika terjadi suatu tindak pidana dalam masyarakat.
Peran negara dalam sistem peradilan pidana ini seharusnya harus memandang nilai-nilai yang hidup dalam kearifan lokal bangsa Indonesia, karena dalam hal ini sistem peradilan pidana ditujukan untuk melindungi rakyat Indonesia dari kejahatan, maka dari itu alangkah baiknya jika nilai-nilai kearifan lokal diangkat sebagai wujud sistem peradilan pidana di Indonesia.
Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia telah dibentuk sistem peradilan pidana yang baru yaitu Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang di mana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif (restorative justice).
Restorative Justice adalah merupakan filsafat, proses, ide, teori dan intervensi, yang menekankan dalam memperbaiki kerugian yang disebabkan atau diungkapkan oleh perilaku kriminal. Proses ini sangat kontras dengan standar menangani kejahatan yang dipandang sebagai pelanggaran yang dilakukan terhadap negara. Restorative Justice menemukan pijakan dalam filosofi dasar dari sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah dalam pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian adalah dengan Mediasi Korban pelanggaran adalah untuk “ memanusiakan” sistem peradilan, keadilan yang mampu menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari korban, pelaku, dan masyarakat.[4]
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana politik pembangunan sistem peradilan pidana nasional dalam memandang filsafat hukum berbasis lokal genius?
2.      Bagaimana eksistensi lokal genius dalam pembangunan sistem peradilan pidana nasional?



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Politik Pembangunan Sistem Peradilan Pidana Nasional dalam Memandang Filsafat Hukum Berbasis Lokal Genius
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan yang berasal dari kata dasar arif dan kata lokal menurut Kamus Bahasa Indonesia arif memiliki dua arti yaitu tahu atau mengetahui, arti yang kedua cerdik, pandai dan bijaksana namun jika ditambah awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kebijaksanaan, kecendikiaan, suatu sikap yang menumbuhkan dan memelihara harkat, nilai-nilai insani serta martabat manusia dan lingkungan.
Kata lokal yang berarti tempat atau pada suatu tempat tumbuh terdapat atau hidup suatu yang mungkin berbeda dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat, yang bernilai dan mungkin berlaku setempat atau berlaku universal. 
Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dalam ilmu antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini. Antara lain bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.[5]
 Menurut Moendardjito[6] mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan.
Ciri-cirinya adalah:
a.       Mampu bertahan terhadap budaya luar;
b.      Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar;
c.       Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli;
d.      Mempunyai kemampuan mengendalikan;
e.       Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Sartini mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun berasal dari daerah lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya sangat universal.[7]
Sistem peradilan pidana dewasa ini telah mengalami banyak perkembangan, yang perkembangan tersebut tidak lepas dari perkembangan masyarakat, keduanya tidak dapat saling dipisahkan, karena dengan berubahnya sistem peradilan pidana, masyarakat itu sendiri bisa juga ikut berubah, begitu juga sebaliknya, jika nilai-nilai masyarakat berubah maka sistem peradilan pidana juga bisa berubah.
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti di sini usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan”, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapat pidana.[8]
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok teori, yaitu:
a.Teori absolut atau pembalasan (retributive/vergeldingstheorieen);
Tipe restributif  yang disebut vindicative tersebut, termasuk ke dalam kategori pembalasan. John Kalpan, dalam bukunya Criminal Justice membagi teori restributif menjadi 2 (dua), yaitu :[9]
1) The reverange theory (teori pebalasan)
2) The expiation theory (teori penebusan dosa).
Pembalasan mengandung arti hutang si penjahat telah dibayarkan kembali (the criminalis paid back), sedangkan penebusan dosa mengandung arti si penjahat membayar kembali hutangnya (the criminal pays back). Jadi pengertiannya tidak jauh berbeda. Menurut John Kalpan, tergantung dari cara orang berpikir pada saat menjatuhkan sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu karena ”menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan ia berhutang sesuatu kepada kita. Sebaliknya Johannes Andenaes, menegaskan bahwa ”penebusan” tidak sama dengan ”pembalasan dendam” (revange). Pembalasan berusaha memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian para korban atau orang-orang lain yang simpati kepadanya, sedangkan penebusan dosa lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. [10]
b.Teori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen);
Menurut teori ini pidana bukan sekedar melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (Utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quiapeccatumest” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).[11]
c.Teori gabungan (verenigingsteorieen).
Penulis yang pertama mengajukan teori gabungan ini ialah PellegrinoRossi(1787 – 1848). Pellegrino Rossi, selain tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun Pellegrino Rossi berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Penulis-penulis lain yang berpendirian bahwa pidana mengandung berbagai kombinasi tujuan ialah Binding, Merkel, Kohler, Richard Schmid, dan Beling.[12]
Kita melihat dalam beberapa waktu belakangan ini di Indonesia pertanyaan soal hukuman bagi pelaku tindak pidana yang terkadang sangat ringan tetapi mendapat hukuman penjara sungguh menyinggung rasa keadilan masyarakat, dan juga mengenai korban kurang di perhatikan dalam penyelesaian tindak pidana, padahal korbanlah yang paling dirugikan dalam hal ini. Faktor perundang-undangan yang dilihat adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Banyak perhatian tentang sistem peradilan pidana diarahkan pada fenomena pemidanaan. Mengenai untuk apa pemidanaan dilakukan, banyak teorinya tetapi teori-teori pemidanaan cenderung mengerucut pada dua pendekatan dasar: Reductionist dan Retributivist. Pendekatan Reduksi (The reductionistapproach) melihat pemidanaan sebagai suatu alat kontrol sosial yang dirancang untuk mengurangi perbuatan anti sosial (instrument of social control designedtoreduce anti socialactivity), di mana umumnya hal itu dilakukan melalui pengisolasian dan detterence, di samping itu juga bisa dilakukan melalui rehabilitasi dan pendidikan. Sedangkan pendekatan pembalasan (The retributivistapproach) memandang pemidanaan sebagai suatu tanggapan moral yang pantas dan/atau diperlukan terhadap tindakan terlarang. Di antara berbagai jenis pemidanaan, pidana penjara (pemasyarakatan) merupakan yang paling populer, dan jumlah penghuninya terus meningkat. [13] KUHP yang merupakan sumber hukum  pidana materiil, masih menitik beratkan kepada pembalasan pelaku, sehingga bangunan sistem peradilan pidana Indonesia masih belum berdasar kepada lokal genius, karena sistem peradilan pidana Indonesia masih berdasar pada KUHP yang diadopsi dari Belanda sehingga nilai-nilai lokal genius bangsa Indonesia tidak tertuang dalam bangunan hukum pidana kita.
Untuk mengatasi kekurangan dari hukum pidana tersebut, yang dalam keadaan tertentu penggunaannya kurang efektif, mestinya hal ini dapat dijawab dengan dikembangkannya restorative justice dan juga seandainya seseorang terpaksa juga dibawa ke sistem peradilan pidana (dengan proses penyidikan, penuntutan hingga penjatuhan pidana) maka sebaiknya digunakan beberapa alternatif pemidanaan non penjara yang tingkat efektivitasnya masih selalu menjadi pertanyaan hingga saat ini.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak disebutkan:
“(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.”
Dalam Pasal ini dijelaskan bahwa dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice), yang di mana pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) ini memiliki perbedaan mendasar dengan konsep keadilan retributif yang menjiwai sistem peradilan pidana di mayoritas  negara.  Keadilan  retributif  memandang  bahwa  pemidanaan  adalah akibat  nyata/mutlak yang harus  ada  sebagai  suatu pembalasan kepada  pelaku tindak pidana.[14]Fokus perhatian keadilan retributif yaitu kepada pelaku melalui pemberian derita, dan kepada masyarakat melalui pemberian perlindungan dari kejahatan. Dengan demikian, jika keadilan restoratif menekankan pada pemulihan serta memberikan fokus perhatian kepada korban, pelaku, dan masyarakat terkait, keadilan retributif menekankan pada pembalasan serta memberikan fokus perhatian hanya kepada pelaku dan masyarakat luas.
Menurut Kuat Puji Prayitno restorative justice menemukan pijakan dalam filosofi dasar dari sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah dalam pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian adalah dengan Mediasi Korban pelanggaran adalah untuk “ memanusiakan” sistem peradilan, keadilan yang mampu menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari korban, pelaku, dan masyarakat.[15] Berdasarkan hal tersebut artinya sistem peradilan pidana nasional khususnya sistem peradilan pidana anak sekarang ini sudah memandang filsafat hukum berbasis lokal genius, hal ini bisa dilihat dalam penerapan nilai-nilai Pancasila yang kita tahu bahwa Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, cerminan dari sikap, sifat, dan kebudayaan Indonesia yaitu sila ke empat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Dari adanya sistem Restorative Justice ini maka diharapkan korban mendapat perhatian yang lebih layak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, karena korbanlah yang paling dirugikan selain dari rasa keamanan masyarakat.
2.      Eksistensi Lokal Genius dalam Pembangunan Sistem Peradilan Pidana Nasional
Menurut teori kedaulatan tuhan, satu-satunya sumber hukum adalah kesadaran  hukum dan hanyalah apa yang memenuhi kesadaran hukum orang banyak. Doktrin etis dalam pandangan hukum Hugo krabe dalam Astim Rianto menjelaskan hukum bersumber pada individu-individu dan bersifat etis normatif, karena merupakan manifestasi dari kesadaran individu akan hal-hal baik atau buruk, menurut doktrin etis ini, hukum bukanlah semata-mata apa yang secara formil diundangkan oleh badan-badan legislatif suatu negara. Hukum (dan kedaulatan hukum sebagai aspeknya) bersumber pada perasaan hukum anggota masyarakat.
Perasaan hukum adalah sumber hukum dan merupakan pencipta hukum. Negara hanya memberikan bentuk pada perasaan hukum itulah yang benar-benar merupakan hukum. Oleh karena itu jelas bahwa hukum yang hidup di masyarakat adalah hukum yang ideal di undangkan. Sebagaimana ternyata, kesadaran hukum merupakan suatu pancangan nilai yang terdapat pada wujud sistem budaya (culture system).[16]
Menurut Soerjono dan Mustafa bahwa hukum merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena itu, hukum tidaklah dapat dipisahkan dari jiwa serta cara berfikir dari masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum penjelmaan dari jiwa serta cara berfikir masyarakat, artinya hukum merupakan penjelmaan dari pada struktur rohaniah suatu masyarakat. Setidaknya hukum merupakan penjelmaan dari nilai-nilai sosial budaya dari golongan yang membentuk hukum tersebut.[17]
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal, Koentjaraningrat memahami kata kebudayaan sebagai hal-hal yang bersangkutan budi dan akal, kata kebudayaan merupakan perkembangan kata majemuk budi daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal, berupa cipta, rasa dan karsa. Pandangan Munajat Danusaputro filsafat hukum lingkungan, sumber hukum mengandung dua arti yaitu:[18]
1.      Landasan dasarnya atas hukum memiliki daya mengikat; dan
2.      Daya mampu manusia yang merupakan sumber terciptanya hukum. 
Daya manusia mencakup secara utuh terpadu cipta, rasa, karsa manusia lazimnya disebut juga batin atau hati nurani manusia, perpaduan antara batin dan lahir manusia itu merupakan kebulatan daya mampu manusia, yang ada kalanya digambarkan sebagai perpaduan utuh menyeluruh antara kelima daya mampu manusia yakni cipta, rasa, karsa, kata dan karya manusia. 
Menurut Laica Marsuki pemikiran hukum di Indonesia dewasa ini hendaknya mengacu pada pandangan bahwa secara universal hukum itu merupakan bagian kebudayaan.[19]
            Keberadaan hukum selaku bangunan kebudayaan dapat di simpulkan melalui pandangan berkenaan dengan dimensi wujud dan isi kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, bahwa wujud dimensi kebudayaan paling sedikit memiliki wujud yaitu:[20]
a.       Wujud sebagai kompleksitas cita-cita gagasan, konsep serta pemikiran manusia, yang lazim disebut sebagai sistem budaya. Wujud idel kebudayaan ini disebut pula convert culture atau unsur-unsur kebudayaan yang tidak tampak serta paling abstrak, antara lain sistem nilai budaya, pandangan hidup, etika, idiologi dan sistem norma. Sebagai konsep gagasan, konsep dan pikiran maka wujud itu tidak dapat dilihat, diraba dan di foto lokasinya karena berada dalam kepala dan pikiran para warga pendukung kebudayaan yang bersangkutan.
b.      Wujud sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola serta saling berinteraksi dari manusia dalam masyarakat, yang lazim disebut sistem sosial.
c.       Wujud sebagai benda-benda hasil karya manusia, lazim disebut kebudayaan fisik, seperti halnya lukisan, patung, candi dan lain sebagainya.
Pandangan di atas sejalan dengan pandangan Sunggono mengatakan bahwa hukum bukanlah salah satu unit terisolir yang terlepas dari dinamika sosial, bangunan hukum sebagai buatan manusia dan diperuntukkan bagi manusia, ikut ditentukan oleh kompleksitas hidup manusia itu sendiri dan ditegaskan bahwa hukum adalah konsep antropologi (low as agreat antropological dokumen) . sehingga setiap orang jika dihadapkan pada norma-norma hukum positif yang begitu sistematik seakan memandang bahwa hukum akan menjanjikan keamanan, kepastian, keseimbangan dan keadilan. Namun pada saat yang bersamaan akan bimbang bila di hadapkan pada persoalan refansional dari keseluruhan tatanan normatif yang telah menjadi sistem nilai dalam masyarakat.[21]
Eksistensi lokal genius dalam pembaharuan sistem peradilan pidana di Indonesia sudah mulai diperhatikan, yaitu dengan dibentuknya Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang di dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012  ini disebutkan Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. restorative justice menemukan pijakan dalam filosofi dasar dari sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah dalam pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian adalah dengan Mediasi Korban pelanggaran adalah untuk “ memanusiakan” sistem peradilan, keadilan yang mampu menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari korban, pelaku, dan masyarakat. Dari adanya sistem Restorative Justice ini maka diharapkan korban mendapat perhatian yang lebih layak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, karena korbanlah yang paling dirugikan selain dari rasa keamanan masyarakat.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
KUHP yang merupakan sumber hukum  pidana materiil, masih menitik beratkan kepada pembalasan pelaku, sehingga bangunan sistem peradilan pidana Indonesia masih belum berdasar kepada lokal genius, karena sistem peradilan pidana Indonesia masih berdasar pada KUHP yang diadopsi dari Belanda sehingga nilai-nilai lokal genius bangsa Indonesia tidak tertuang dalam bangunan hukum pidana kita.
Namun sekarang eksistensi lokal genius dalam pembaharuan sistem peradilan pidana di Indonesia sudah mulai diperhatikan, yaitu dengan dibentuknya Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang di dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012  ini disebutkan Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. restorative justice menemukan pijakan dalam filosofi dasar dari sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah dalam pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian adalah dengan Mediasi Korban pelanggaran adalah untuk “ memanusiakan” sistem peradilan, keadilan yang mampu menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari korban, pelaku, dan masyarakat. Dari adanya sistem Restorative Justice ini maka diharapkan korban mendapat perhatian yang lebih layak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, karena korbanlah yang paling dirugikan selain dari rasa keamanan masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
Joachim Friedrich, Carl. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa dan Nusamedia.
Rahardjo, Satjipto. 2010.  Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Zainal Abidin, HA. 2007. Hukum Pidana 1,Cetakan II. Jakarta: sinar Grafika.
Puji Prayitno, Kuat. 2012. Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia ( Perspektif Yuridis Filosofis Dalam Penegakan Hukum In Concerto), Purwokerto: Jurnal Dinamika Hukum, Akreditasi: Nomor 51/ DIKTI/ Kep/ 2010 Vo 12 No. 3
Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius). Pustaka Jaya: Jakarta.
Moendardjito, Moendardjito. 1986. Negara yang demokratis. yayasan koidor pengabdian: Jakarta.
Sartini. 2003. Menggali kearifan local nusantara sebuah kajian filsafat. Air Langga; Jakarta.
Reksodiputro, Mardjono. 1994. HakAsasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Buku Ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum.
Muladi. 1992.Bunga Rampai Hukum Pidana,Bandung: Alumni.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana.  Bandung: Alumni.
Pohan, Agustinus Dkk. 2012. Hukum Pidana dalam Perspektif. Bali: Pustaka Larasan.
Astim, Rianto. 1949. Filsafat hukum. Yapemo; Bandung.
Soekanto, Sarjono dan Mustafa. A. 1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. CV.Rajawali Pres; Jakarta.
Danusaputro, Munajat. 1984. Bina Mulia Hukum dan Lingkungan, Bina Cipta; Bandung.
Marsuki, Laica.1995. Siri’ bagian kesadaran hukum rakyat Bugis, Makassar. Hasanuddin University Press.
Koentjaraningrat.1982. kebudayaan mentalitas dan Pembangunan. PT.Gramedia; Jakarta.



[1]Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, hal. 239.
[2]Satjipto Rahardjo, 2010,  Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, hal. 38.
[3]Dalam hal ini otoritas Negara dapat dilihat dari kewenangan Negara untuk menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (iuspunale) dan hak memidana (iuspuniendi) sebagai bentuk penanganan dalam suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. H.A. Zainal Abidin, 2007, Hukum Pidana 1,Cetakan II, Jakarta: sinar Grafika, hal. 1.
[4]Kuat Puji Prayitno, 2012, Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia ( Perspektif Yuridis Filosofis Dalam Penegakan Hukum In Concerto), Purwokerto: Jurnal Dinamika Hukum, Akreditasi: Nomor 51/ DIKTI/ Kep/ 2010 Vo 12 No. 3, hal. 407.
[5] Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya: Jakarta,hal. 18-19.
[6] Moendardjito Moendardjito, 1986, Negara yang demokratis, yayasan koidor pengabdian: Jakarta, hal. 40-41.
[7] Sartini, 2003, Menggali kearifan local nusantara sebuah kajian filsafati, Air Langga; Jakarta, hal.111.
[8]MardjonoReksodiputro, 1994, HakAsasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, hal. 9-10.
[9]Muladi, 1992,Bunga Rampai Hukum Pidana,Bandung: Alumni,hal. 13.
[10]Ibid., hal. 14.             
[11]Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,  Bandung: Alumni, hal. 16.
[12]Ibid., hal. 19.
[13]Agustinus Pohan, Dkk, 2012, Hukum Pidana dalam Perspektif, Bali: Pustaka Larasan, hal. 213.
[14]Eva AchjaniZulfa, 2009, Keadilan Restoratif , Jakarta:Badan Penerbit FH UI, hal. 66.
[15]Loc. Cit, Kuat Puji Prayitno, 2012, Restorative Justice, hal. 407.
[16] Astim, Rianto, 1949, Filsafat hukum, Yapemo; Bandung, hal, 85.
[17] Soekanto, Sarjono dan Mustafa. A, 1987, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV.Rajawali Pres; Jakarta, hal. 33-34.
[18] Danusaputro, Munajat, 1984, Bina Mulia Hukum dan Lingkungan, Bina Cipta; Bandung, hal. 93. 

[19] Marsuki, Laica,1995,Siri’ bagian kesadaran hukum rakyat Bugis, Makassar, Hasanuddin University Press hal. 34.
[20]  Koentjaraningrat.1982, kebudayaan mentalitas dan Pembangunan. PT.Gramedia; Jakarta, hal.16.
[21] Ibid, hal. 21.
un:yes� ?B /P��_�radaan anak angkat mempunyai hak wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkat.




DAFTAR PUSTAKA
Zaini, Muderis. 1995. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum.  Jakarta : Sinar Grafika.
Soekanto, Soerjono. 2001. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia.
Soeroso, R. 2001. Perbandingan Hukum Perdata, cet. ke- 4. Jakarta; Sinar Grafika.
Anderson, J. N. D. 1991. Hukum Islam Di Dunia Modern. terj. Machnun Husein. Surabaya: Amarpress.
Parman, Ali. 1995. Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Raja Grafindo Persada; Jakarta.
Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Bahasa Arab, Jakarta: Hida Karya.
Maruzi, Muslich. 1981. Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin.
Zakiah Daradjat. 1995. Ilmu Fiqih, Jilid III, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Rofiq, Ahmad. 2002. Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. IV.
Ali ash-Shobuniy, 1995, Hukum Waris Islam, Alih Bahasa Sarmin Syukur, Surabaya: al-Ikhlas.
Rofiq, Ahmad. 2003. Hukum Islam di Indonesia. edisi 1 cetakan IV, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Azhar Basyir, Ahmad. 1995. Hukum Waris Islam, Yogyakarta : UII Press.
Hasbi Ash Shiddieqy, Muhammad. 1997.  Fiqh Mawaris, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.



[1] Muderis Zaini, 1995, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum,  Jakarta : Sinar Grafika, hlm.  53.
[2] Soerjono Soekanto, 2001, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia, hlm. 251.
[3] R Soeroso, 2001, Perbandingan Hukum Perdata, cet. ke- 4, Jakarta; Sinar Grafika, hlm. 176
[4] Op. Cit, Muderis Zaini, 1995, Adopsi Suatu Tinjauan...., hlm. 54.
[5]Ibid, hlm. 52.
[6]  J. N. D. Anderson,1991, Hukum Islam Di Dunia Modern, terj. Machnun Husein, Surabaya: Amarpress, hlm. 66.
[7] Ali Parman, 1995, Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Raja Grafindo Persada; Jakarta, hlm. 1.
[8] Mahmud Yunus, 1990, Kamus Bahasa Arab, Jakarta: Hida Karya, hlm. 496.
[9] Muslich Maruzi, 1981, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin, hlm. 82.
[10] Zakiah Daradjat, 1995, Ilmu Fiqih, Jilid III, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, hlm. 2.
[11] Ahmad Rofiq, 2002, Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. IV,  hlm. 28-30.
[12]  Ali ash-Shobuniy, 1995, Hukum Waris Islam, Alih Bahasa Sarmin Syukur, Surabaya: al-Ikhlas, hlm. 56-58.
[13] Muslich Maruzi, 1981, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang : Mujahidin, hlm. 83.

[14] Ahmad Rofiq, 2003, Hukum Islam di Indonesia. edisi 1 cetakan IV, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm.  470.
[15] Ahmad Azhar Basyir, 1995, Hukum Waris Islam, Yogyakarta : UII Press, hlm. 14.
[16] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 1997,  Fiqh Mawaris, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, hlm. 300.
[17] Ibid, hlm. 306.

No comments:

Post a Comment