POLITIK
PEMBANGUNAN SISTEM PERADILAN PIDANA NASIONAL BERDASAR FILSAFAT HUKUM BERBASIS
LOKAL GENIUS
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembangunan sistem peradilan pidana yang
adil bagi masyarakat Indonesia adalah merupakan hal penting mengingat bentuk sistem
peradilan pidana suatu bangsa merupakan cerminan dari ciri kehidupan, budaya,
dan identitas dari suatu bangsa dalam memandang kejahatan. Mengenai problema ini, yang paling sering menjadi diskursus
adalah tentang persoalan keadilan yang berkaitan dengan hukum. Hal ini
dikarenakan hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi dalam realitanya
sering kali tidak ditemukan. Keadilan
hanya bisa dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh
hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses
yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini sering kali juga didominasi
oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk
mengaktualisasikannya.[1]
Menurut sejarahnya,
perkembangan hukum liberal menjadi hukum modern (pasca liberal) berdampak pada
keterlibatan negara untuk berperan aktif dalam menentukan segala kebijakan,[2]sehingga
negara diposisikan sebagai lembaga yang memiliki hak untuk menetapkan sejumlah
norma sebagai bentuk redistribusi kekuasaan yang dalam pandang ilmu hukum
khususnya hukum pidana merupakan bentuk kongkrit dari kontrak sosial.[3] Redistribusi
kekuasaan yang diterima oleh negara inilah yang kemudian membuat negara dalam
sistem peradilan pidana memiliki kewenangan untuk mengambil alih peran korban
jika terjadi suatu tindak pidana dalam masyarakat.
Peran negara dalam sistem peradilan
pidana ini seharusnya harus memandang nilai-nilai yang hidup dalam kearifan
lokal bangsa Indonesia, karena dalam hal ini sistem peradilan pidana ditujukan
untuk melindungi rakyat Indonesia dari kejahatan, maka dari itu alangkah
baiknya jika nilai-nilai kearifan lokal diangkat sebagai wujud sistem peradilan
pidana di Indonesia.
Dalam pembaharuan hukum
pidana di Indonesia telah dibentuk sistem peradilan pidana yang baru yaitu Undang-Undang
No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang di mana dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif (restorative justice).
Restorative Justice adalah merupakan filsafat, proses, ide, teori dan intervensi, yang
menekankan dalam memperbaiki kerugian yang disebabkan atau diungkapkan oleh
perilaku kriminal. Proses ini sangat kontras dengan standar menangani kejahatan
yang dipandang sebagai pelanggaran yang dilakukan terhadap negara. Restorative Justice menemukan pijakan
dalam filosofi dasar dari sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah dalam
pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian adalah dengan Mediasi Korban
pelanggaran adalah untuk “ memanusiakan” sistem peradilan, keadilan yang mampu
menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari korban, pelaku, dan masyarakat.[4]
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana politik pembangunan sistem
peradilan pidana nasional dalam memandang filsafat hukum berbasis lokal genius?
2. Bagaimana eksistensi lokal genius dalam
pembangunan sistem peradilan pidana nasional?
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Politik
Pembangunan Sistem Peradilan Pidana Nasional dalam Memandang Filsafat Hukum
Berbasis Lokal Genius
Kearifan lokal terdiri dari
dua kata yaitu kearifan yang berasal dari kata dasar arif dan kata lokal
menurut Kamus Bahasa Indonesia arif memiliki dua arti yaitu tahu atau
mengetahui, arti yang kedua cerdik, pandai dan bijaksana namun jika ditambah
awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kebijaksanaan, kecendikiaan, suatu sikap
yang menumbuhkan dan memelihara harkat, nilai-nilai insani serta martabat
manusia dan lingkungan.
Kata lokal yang berarti
tempat atau pada suatu tempat tumbuh terdapat atau hidup suatu yang mungkin
berbeda dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat, yang bernilai dan
mungkin berlaku setempat atau berlaku universal.
Pengertian Kearifan Lokal
dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom)
dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama
dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami
sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local)
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dalam ilmu antropologi
dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah
yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch
Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local
genius ini. Antara lain bahwa local genius adalah juga cultural
identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut
mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan
sendiri.[5]
Menurut Moendardjito[6]
mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius
karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan.
Ciri-cirinya adalah:
a.
Mampu bertahan
terhadap budaya luar;
b.
Memiliki
kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar;
c.
Mempunyai
kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli;
d.
Mempunyai
kemampuan mengendalikan;
e.
Mampu
memberi arah pada perkembangan budaya.
Sartini mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius)
adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan
lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai
nilai yang ada. Kearifan
lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi
geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu
yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun berasal
dari daerah lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya sangat universal.[7]
Sistem
peradilan pidana dewasa ini telah mengalami banyak perkembangan, yang
perkembangan tersebut tidak lepas dari perkembangan masyarakat, keduanya tidak
dapat saling dipisahkan, karena dengan berubahnya sistem peradilan pidana,
masyarakat itu sendiri bisa juga ikut berubah, begitu juga sebaliknya, jika
nilai-nilai masyarakat berubah maka sistem peradilan pidana juga bisa berubah.
Sistem
peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu
masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti di sini
usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan
maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan”,
dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan
bersalah serta mendapat pidana.[8]
Secara tradisional
teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok teori,
yaitu:
a.Teori absolut atau pembalasan (retributive/vergeldingstheorieen);
Tipe restributif
yang disebut vindicative
tersebut, termasuk ke dalam kategori pembalasan. John Kalpan, dalam bukunya Criminal
Justice membagi teori restributif menjadi 2 (dua), yaitu :[9]
1) The reverange
theory (teori pebalasan)
2) The expiation
theory (teori penebusan dosa).
Pembalasan mengandung arti hutang si penjahat telah
dibayarkan kembali (the criminalis paid
back), sedangkan penebusan dosa mengandung arti si penjahat membayar
kembali hutangnya (the criminal pays
back). Jadi pengertiannya tidak jauh berbeda. Menurut John Kalpan, tergantung dari cara orang berpikir pada saat
menjatuhkan sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu karena ”menghutangkan
sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan ia berhutang sesuatu kepada kita.
Sebaliknya Johannes Andenaes,
menegaskan bahwa ”penebusan” tidak sama dengan ”pembalasan dendam” (revange). Pembalasan berusaha memuaskan
hasrat balas dendam dari sebagian para korban atau orang-orang lain yang
simpati kepadanya, sedangkan penebusan dosa lebih bertujuan untuk memuaskan
tuntutan keadilan. [10]
b.Teori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen);
Menurut teori ini pidana
bukan sekedar melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (Utilitarian
theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah
terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quiapeccatumest”
(karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang
jangan melakukan kejahatan).[11]
c.Teori gabungan (verenigingsteorieen).
Penulis yang pertama
mengajukan teori gabungan ini ialah PellegrinoRossi(1787 – 1848). Pellegrino
Rossi, selain tetap
menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak
boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun Pellegrino Rossi berpendirian
bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang
rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Penulis-penulis lain yang
berpendirian bahwa pidana mengandung berbagai kombinasi tujuan ialah Binding, Merkel, Kohler,
Richard Schmid, dan Beling.[12]
Kita
melihat dalam beberapa waktu belakangan ini di Indonesia pertanyaan soal
hukuman bagi pelaku tindak pidana yang terkadang sangat ringan tetapi mendapat
hukuman penjara sungguh menyinggung rasa keadilan masyarakat, dan juga mengenai
korban kurang di perhatikan dalam penyelesaian tindak pidana, padahal korbanlah
yang paling dirugikan dalam hal ini. Faktor perundang-undangan yang dilihat
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Banyak
perhatian tentang sistem peradilan pidana diarahkan pada fenomena pemidanaan.
Mengenai untuk apa pemidanaan dilakukan, banyak teorinya tetapi teori-teori
pemidanaan cenderung mengerucut pada dua pendekatan dasar: Reductionist
dan Retributivist. Pendekatan Reduksi (The reductionistapproach)
melihat pemidanaan sebagai suatu alat kontrol sosial yang dirancang untuk
mengurangi perbuatan anti sosial (instrument of social control designedtoreduce
anti socialactivity), di mana umumnya hal itu dilakukan melalui
pengisolasian dan detterence, di samping
itu juga bisa dilakukan melalui rehabilitasi dan pendidikan. Sedangkan
pendekatan pembalasan (The retributivistapproach) memandang pemidanaan
sebagai suatu tanggapan moral yang pantas dan/atau diperlukan terhadap tindakan
terlarang. Di antara berbagai jenis pemidanaan, pidana penjara (pemasyarakatan)
merupakan yang paling populer, dan jumlah penghuninya terus meningkat. [13] KUHP yang merupakan sumber
hukum pidana materiil, masih menitik
beratkan kepada pembalasan pelaku, sehingga bangunan sistem peradilan pidana
Indonesia masih belum berdasar kepada lokal genius, karena sistem peradilan
pidana Indonesia masih berdasar pada KUHP yang diadopsi dari Belanda sehingga
nilai-nilai lokal genius bangsa Indonesia tidak tertuang dalam bangunan hukum
pidana kita.
Untuk
mengatasi kekurangan dari hukum pidana tersebut, yang dalam keadaan tertentu
penggunaannya kurang efektif, mestinya hal ini dapat dijawab dengan
dikembangkannya restorative justice dan juga seandainya seseorang
terpaksa juga dibawa ke sistem peradilan pidana (dengan proses penyidikan,
penuntutan hingga penjatuhan pidana) maka sebaiknya digunakan beberapa alternatif
pemidanaan non penjara yang tingkat efektivitasnya masih selalu menjadi
pertanyaan hingga saat ini.
Berdasarkan Pasal 5
Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
disebutkan:
“(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan
Keadilan Restoratif.
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini;
b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum; dan
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan
selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana
atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.”
Dalam Pasal ini dijelaskan bahwa dalam sistem peradilan pidana
anak di Indonesia mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice), yang di mana
pendekatan keadilan restoratif (restorative
justice) ini memiliki perbedaan mendasar dengan konsep keadilan retributif
yang menjiwai sistem peradilan pidana di mayoritas negara.
Keadilan retributif memandang
bahwa pemidanaan adalah akibat
nyata/mutlak yang harus ada sebagai
suatu pembalasan kepada pelaku
tindak pidana.[14]Fokus
perhatian keadilan retributif yaitu kepada pelaku melalui pemberian derita, dan
kepada masyarakat melalui pemberian perlindungan dari kejahatan. Dengan
demikian, jika keadilan restoratif menekankan pada pemulihan serta memberikan
fokus perhatian kepada korban, pelaku, dan masyarakat terkait, keadilan
retributif menekankan pada pembalasan serta memberikan fokus perhatian hanya
kepada pelaku dan masyarakat luas.
Menurut Kuat Puji Prayitno
restorative justice menemukan pijakan dalam filosofi dasar dari sila keempat
Pancasila, yaitu musyawarah dalam pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian
adalah dengan Mediasi Korban pelanggaran adalah untuk “ memanusiakan” sistem
peradilan, keadilan yang mampu menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari
korban, pelaku, dan masyarakat.[15] Berdasarkan hal tersebut artinya sistem peradilan pidana nasional
khususnya sistem peradilan pidana anak sekarang ini sudah memandang filsafat
hukum berbasis lokal genius, hal ini bisa dilihat dalam penerapan nilai-nilai
Pancasila yang kita tahu bahwa Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia,
cerminan dari sikap, sifat, dan kebudayaan Indonesia yaitu sila ke empat “kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Dari adanya sistem Restorative
Justice ini maka diharapkan korban mendapat perhatian yang lebih layak
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, karena korbanlah yang paling dirugikan
selain dari rasa keamanan masyarakat.
2. Eksistensi
Lokal Genius dalam Pembangunan Sistem Peradilan Pidana Nasional
Menurut teori kedaulatan
tuhan, satu-satunya sumber hukum adalah kesadaran hukum dan hanyalah apa yang memenuhi kesadaran
hukum orang banyak. Doktrin etis dalam pandangan hukum Hugo krabe dalam Astim
Rianto menjelaskan hukum bersumber pada individu-individu dan bersifat etis
normatif, karena merupakan manifestasi dari kesadaran individu akan hal-hal
baik atau buruk, menurut doktrin etis ini, hukum bukanlah semata-mata apa yang
secara formil diundangkan oleh badan-badan legislatif suatu negara. Hukum (dan
kedaulatan hukum sebagai aspeknya) bersumber pada perasaan hukum anggota masyarakat.
Perasaan hukum adalah sumber hukum dan merupakan pencipta hukum.
Negara hanya memberikan bentuk pada perasaan hukum itulah yang benar-benar
merupakan hukum. Oleh karena itu jelas bahwa hukum yang hidup di masyarakat
adalah hukum yang ideal di undangkan. Sebagaimana ternyata, kesadaran hukum
merupakan suatu pancangan nilai yang terdapat pada wujud sistem budaya (culture
system).[16]
Menurut Soerjono dan Mustafa
bahwa hukum merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena itu,
hukum tidaklah dapat dipisahkan dari jiwa serta cara berfikir dari masyarakat
yang mendukung kebudayaan tersebut, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum
penjelmaan dari jiwa serta cara berfikir masyarakat, artinya hukum merupakan
penjelmaan dari pada struktur rohaniah suatu masyarakat. Setidaknya hukum
merupakan penjelmaan dari nilai-nilai sosial budaya dari golongan yang membentuk
hukum tersebut.[17]
Kata kebudayaan berasal dari
bahasa sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang
berarti budi atau akal, Koentjaraningrat
memahami kata kebudayaan sebagai hal-hal yang bersangkutan budi dan akal, kata
kebudayaan merupakan perkembangan kata majemuk budi daya, artinya daya dari budi,
kekuatan dari akal, berupa cipta, rasa dan karsa. Pandangan Munajat Danusaputro filsafat hukum
lingkungan, sumber hukum mengandung dua arti yaitu:[18]
1.
Landasan
dasarnya atas hukum memiliki daya mengikat; dan
2.
Daya mampu
manusia yang merupakan sumber terciptanya hukum.
Daya manusia mencakup secara
utuh terpadu cipta, rasa, karsa manusia lazimnya disebut juga batin atau hati
nurani manusia, perpaduan antara batin dan lahir manusia itu merupakan
kebulatan daya mampu manusia, yang ada kalanya digambarkan sebagai perpaduan
utuh menyeluruh antara kelima daya mampu manusia yakni cipta, rasa, karsa, kata
dan karya manusia.
Menurut Laica Marsuki pemikiran hukum di Indonesia dewasa ini hendaknya
mengacu pada pandangan bahwa secara universal hukum itu merupakan bagian
kebudayaan.[19]
Keberadaan hukum selaku bangunan kebudayaan dapat di
simpulkan melalui pandangan berkenaan dengan dimensi wujud dan isi kebudayaan
yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat,
bahwa wujud dimensi kebudayaan paling sedikit memiliki wujud yaitu:[20]
a.
Wujud
sebagai kompleksitas cita-cita gagasan, konsep serta pemikiran manusia, yang
lazim disebut sebagai sistem budaya. Wujud idel kebudayaan ini disebut pula convert
culture atau unsur-unsur kebudayaan yang tidak tampak serta paling abstrak,
antara lain sistem nilai budaya, pandangan hidup, etika, idiologi dan sistem
norma. Sebagai konsep gagasan, konsep dan pikiran maka wujud itu tidak dapat
dilihat, diraba dan di foto lokasinya karena berada dalam kepala dan pikiran
para warga pendukung kebudayaan yang bersangkutan.
b.
Wujud
sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola serta saling berinteraksi dari
manusia dalam masyarakat, yang lazim disebut sistem sosial.
c.
Wujud
sebagai benda-benda hasil karya manusia, lazim disebut kebudayaan fisik,
seperti halnya lukisan, patung, candi dan lain sebagainya.
Pandangan di atas sejalan
dengan pandangan Sunggono mengatakan
bahwa hukum bukanlah salah satu unit terisolir yang terlepas dari dinamika
sosial, bangunan hukum sebagai buatan manusia dan diperuntukkan bagi manusia,
ikut ditentukan oleh kompleksitas hidup manusia itu sendiri dan ditegaskan
bahwa hukum adalah konsep antropologi (low as agreat antropological dokumen)
. sehingga setiap orang jika dihadapkan pada norma-norma hukum positif yang
begitu sistematik seakan memandang bahwa hukum akan menjanjikan keamanan,
kepastian, keseimbangan dan keadilan. Namun pada saat yang bersamaan akan bimbang bila di
hadapkan pada persoalan refansional dari keseluruhan tatanan normatif yang
telah menjadi sistem nilai dalam masyarakat.[21]
Eksistensi lokal genius dalam pembaharuan sistem peradilan pidana
di Indonesia sudah mulai diperhatikan, yaitu dengan dibentuknya Undang-Undang
No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang di dalam Undang-Undang
No. 11 tahun 2012 ini disebutkan Sistem
Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. restorative justice menemukan pijakan dalam filosofi dasar dari sila keempat Pancasila,
yaitu musyawarah dalam pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian adalah dengan
Mediasi Korban pelanggaran adalah untuk “ memanusiakan” sistem peradilan,
keadilan yang mampu menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari korban, pelaku,
dan masyarakat. Dari adanya sistem Restorative Justice ini maka diharapkan
korban mendapat perhatian yang lebih layak dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia, karena korbanlah yang paling dirugikan selain dari rasa keamanan
masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
KUHP
yang merupakan sumber hukum pidana
materiil, masih menitik beratkan kepada pembalasan pelaku, sehingga bangunan
sistem peradilan pidana Indonesia masih belum berdasar kepada lokal genius,
karena sistem peradilan pidana Indonesia masih berdasar pada KUHP yang diadopsi
dari Belanda sehingga nilai-nilai lokal genius bangsa Indonesia tidak tertuang
dalam bangunan hukum pidana kita.
Namun sekarang eksistensi lokal genius dalam pembaharuan sistem
peradilan pidana di Indonesia sudah mulai diperhatikan, yaitu dengan
dibentuknya Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana
anak yang di dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 ini disebutkan Sistem Peradilan Pidana Anak
wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. restorative
justice menemukan
pijakan dalam filosofi dasar dari sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah
dalam pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian adalah dengan Mediasi Korban
pelanggaran adalah untuk “ memanusiakan” sistem peradilan, keadilan yang mampu
menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari korban, pelaku, dan masyarakat. Dari adanya sistem Restorative
Justice ini maka diharapkan korban mendapat perhatian yang lebih layak
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, karena korbanlah yang paling
dirugikan selain dari rasa keamanan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Joachim Friedrich, Carl. 2004. Filsafat
Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa dan Nusamedia.
Rahardjo, Satjipto. 2010. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara.
Zainal Abidin, HA. 2007. Hukum
Pidana 1,Cetakan II. Jakarta:
sinar Grafika.
Puji
Prayitno, Kuat. 2012. Restorative Justice
untuk Peradilan di Indonesia ( Perspektif Yuridis Filosofis Dalam Penegakan
Hukum In Concerto), Purwokerto: Jurnal Dinamika Hukum, Akreditasi: Nomor
51/ DIKTI/ Kep/ 2010 Vo 12 No. 3
Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius). Pustaka
Jaya: Jakarta.
Moendardjito, Moendardjito. 1986. Negara yang demokratis.
yayasan koidor pengabdian: Jakarta.
Sartini.
2003. Menggali kearifan local nusantara sebuah kajian filsafat.
Air Langga; Jakarta.
Reksodiputro, Mardjono. 1994. HakAsasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana.
Buku Ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum.
Muladi.
1992.Bunga Rampai Hukum Pidana,Bandung:
Alumni.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori dan Kebijakan
Pidana. Bandung: Alumni.
Pohan, Agustinus Dkk. 2012. Hukum
Pidana dalam Perspektif. Bali: Pustaka Larasan.
Astim, Rianto. 1949. Filsafat hukum. Yapemo; Bandung.
Soekanto,
Sarjono dan Mustafa. A. 1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat.
CV.Rajawali Pres; Jakarta.
Danusaputro,
Munajat. 1984. Bina Mulia Hukum dan Lingkungan, Bina Cipta;
Bandung.
Marsuki,
Laica.1995. Siri’ bagian kesadaran hukum rakyat Bugis, Makassar. Hasanuddin
University Press.
Koentjaraningrat.1982.
kebudayaan mentalitas dan Pembangunan. PT.Gramedia; Jakarta.
[1]Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat
Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, hal. 239.
[2]Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: PT.
Kompas Media Nusantara, hal. 38.
[3]Dalam hal ini otoritas Negara dapat dilihat dari kewenangan Negara
untuk menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (iuspunale) dan
hak memidana (iuspuniendi) sebagai bentuk penanganan dalam suatu tindak pidana
yang terjadi dalam masyarakat. H.A. Zainal Abidin, 2007, Hukum Pidana 1,Cetakan II,
Jakarta: sinar Grafika, hal. 1.
[4]Kuat Puji Prayitno, 2012,
Restorative Justice untuk Peradilan di
Indonesia ( Perspektif Yuridis Filosofis Dalam Penegakan Hukum In Concerto),
Purwokerto: Jurnal Dinamika Hukum, Akreditasi: Nomor 51/ DIKTI/ Kep/ 2010 Vo 12
No. 3, hal. 407.
[6] Moendardjito Moendardjito, 1986, Negara yang demokratis,
yayasan koidor pengabdian: Jakarta, hal. 40-41.
[7] Sartini, 2003, Menggali kearifan local nusantara
sebuah kajian filsafati, Air Langga; Jakarta, hal.111.
[8]MardjonoReksodiputro, 1994, HakAsasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,
Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, hal. 9-10.
[11]Muladi dan
Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, hal. 16.
[15]Loc. Cit, Kuat Puji
Prayitno, 2012, Restorative Justice, hal. 407.
[17] Soekanto, Sarjono dan Mustafa. A, 1987, Sosiologi Hukum dalam
Masyarakat, CV.Rajawali Pres; Jakarta, hal. 33-34.
[19] Marsuki, Laica,1995,Siri’ bagian kesadaran hukum rakyat Bugis,
Makassar, Hasanuddin University Press hal. 34.
DAFTAR
PUSTAKA
Zaini, Muderis. 1995. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem
Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Soekanto, Soerjono. 2001. Pengantar Penelitian Hukum.
Jakarta : Universitas Indonesia.
Soeroso, R. 2001. Perbandingan
Hukum Perdata, cet. ke- 4. Jakarta; Sinar Grafika.
Anderson, J. N. D. 1991. Hukum Islam Di Dunia Modern. terj.
Machnun Husein. Surabaya: Amarpress.
Parman, Ali. 1995. Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum
Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Raja Grafindo Persada; Jakarta.
Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Bahasa Arab, Jakarta: Hida
Karya.
Maruzi, Muslich. 1981. Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang:
Mujahidin.
Zakiah Daradjat. 1995. Ilmu Fiqih, Jilid III, Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf.
Rofiq, Ahmad. 2002. Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Cet. IV.
Ali ash-Shobuniy, 1995, Hukum Waris Islam, Alih Bahasa
Sarmin Syukur, Surabaya: al-Ikhlas.
Rofiq, Ahmad. 2003. Hukum Islam di Indonesia. edisi 1
cetakan IV, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Azhar Basyir, Ahmad. 1995. Hukum Waris Islam, Yogyakarta :
UII Press.
Hasbi Ash Shiddieqy, Muhammad. 1997. Fiqh Mawaris, Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra.
[1] Muderis Zaini, 1995,
Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 53.
[6] J. N. D. Anderson,1991, Hukum
Islam Di Dunia Modern, terj. Machnun Husein, Surabaya: Amarpress, hlm. 66.
[7] Ali Parman, 1995, Kewarisan
Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Raja
Grafindo Persada; Jakarta, hlm. 1.
[12] Ali ash-Shobuniy, 1995, Hukum
Waris Islam, Alih Bahasa Sarmin Syukur, Surabaya: al-Ikhlas, hlm. 56-58.
[14] Ahmad Rofiq, 2003, Hukum
Islam di Indonesia. edisi 1 cetakan IV, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, hlm. 470.
[16] Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, 1997, Fiqh Mawaris,
Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, hlm. 300.
No comments:
Post a Comment