Saturday, September 17, 2016

MAKALAH TENTANG HUKUM WARIS DI INDONESIA (ISLAM, BW, ADAT)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia sebagai makhluk sosial pastinya membutuhkan bantuan orang lain selama hidupnya. Adapun yang timbul dari interaksi sosial melahirkan beraneka ragam hubungan hukum berupa perikatan. Dalam setiap hubungan hukum dalam lingkup harta kekayaan keluarga misalnya, begitu banyak hal yang perlu diatur dan seringkali menimbulkan masalah di masyarakat. Salah satunya adalah permasalahan waris. Dewasa ini di Indonesia peraturan yang mengatur masalah warisan sangat rumit dan berbeda satu sama lain. Hukum kewarisan adalah himpunan aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan. Pada prinsipnya kewarisan terjadi didahului dengan adanya kematian, lalu orang yang meninggal tersebut meninggalkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Mengenai kaedah positif yang mengatur perihal kewarisan, negara Indonesia belum mempunyai hukum waris nasional. Tetapi, berdasarkan Pasal II aturan peralihan UUD 1945 terdapat tiga kaedah hukum positif di Indonesia hukum waris menurut hukum adat, hukum waris menurut hukum perdata dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), dan hukum waris menurut hukum Islam.  yang mengatur perihal kewarisan, yakni hukum adat, hukum perdata barat dan hukum Islam. Selama belum ada hukum yang bersifat unifikasi ketiga hukum tersebut menjadi hukum positif perihal waris di Indonesia.
Penyusun tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai perbedaan prinsip-prinsip hukum waris menurut hukum Islam, hukum adat, dan hukum perdata (BW). Ketiga aturan tersebut masing-masing melindungi kepentingan ahli waris dalam hal yang sama namun aturannya berbeda. Namun perbedaan prinsip yang diatur ketiganya tersebut sangatlah luas cakupannya sehingga penyusun hanya membatasi pada pengaturan dan pembagian warisan kepada ahli waris dan segala sesuatu mengenai ahli waris. Penyusun berharap hasil kajian mampu menggugah untuk adanya kejelasan hukum setiap prinsip agar tidak menimbulkan masalah sosial.

Pengaturan prinsip-prinsip hukum waris menurut KUHPerdata dan Hukum Islam adanya secara tegas dalam bentuk tertulis. Konsekuensi dari adanya hukum tertulis tersebut yakni tidak adanya perubahan dan tidak mengalami perkembangan dalam masyarakat. Sehingga yang harus dilakukan hanya memilih dan menerapkan hukum mana yang dipergunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia. Berbeda halnya dengan hukum waris adat yang tidak tertulis sehingga perubahan dan perkembangan dari masa penjajahan sampai dengan pasca kemerdekaan hingga saat ini. Adapun perbedaan prinsip-prinsip mengenai ahli waris menurut hukum adat, hukum Islam dan KUHPerdata (BW) akan dibahas oleh penyusun.

B.     Rumusan Masalah

1.      Siapa sajakah yang dapat menjadi ahli waris menurut prinsip hukum waris Islam, KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) dan hukum adat?
2.      Bagaimana pengaturan dan pembagian warisan menurut prinsip hukum Islam, KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) dan hukum adat?
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    AHLI WARIS MENURUT PRINSIP HUKUM WARIS ISLAM, BW DAN ADAT.

1.      Pengantar Istilah.
Sebelum jauh membahas siapa saja ahli waris menurut tiap hukum waris tersebut, alangkah baiknya kita ketahui apa itu warisan menurut tiap hukum waris yang berlaku ini. Beberapa istilah tersebut beserta pengertiannya seperti dapat disimak berikut ini:
1.      Waris. Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal.
2.      Warisan. Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
3.      Pewaris. Adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat.
4.      Ahli waris. Yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris.
5.      Mewarisi. Yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya.[1]
6.      Proses pewarisan. Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna,yaitu:
a.       berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewarismasih hidup; dan
b.      berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.[2]
Menurut Hukum Islam yaitu “warisan ialah sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih”. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, “setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris”.[3] Dalam hukum waris BW warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.[4] Hal ini meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Dalam wais adat, warisan adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seseorang manusia, dimana manusia yang wafat itu meniggalkan harta kekayaan.[5]
Dengan membaca definisi-definisi tadi, dapat disimpulkan bahwa setiap hukum waris yang berlaku ini mempunyai istilah dan ketentuan tersendiri perihal warisan. Setelah membaca tentang istilah warisan dari tiap-tiap hukum, kita berlanjut perihal ahli waris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang meninggal.

  1. Kualifikasi Ahli Waris Menurut Hukum Islam.
      Dalam Islam, Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan.Untuk menjadi seorang ahli waris, terdapat syarat-syarat untuk menjadi ahli waris dalam Islam antara lain:
a.       Karena hubungan darah, ini ditentukan secara jelas dalam (Q.S. An-Nisaa: 7, 11, 12, 33, dan 176).
b.      Hubungan semenda atau pernikahan.
c.       Hubungan persaudaraan, karena agama yang ditentukan olehAl-Qur’an bagiannya tidak lebih dari sepertiga harta pewaris (Q.S.Al-Ahzab: 6).
d.      Hubungan kerabat karena sesama hijrah pada permulaan pengembangan Islam, meskipun tidak ada hubungan darah (Q.S Al-Anfaal: 75).
Setelah semua syarat terpenuhi, secara garis besar golongan ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) golongan,yaitu :
a. Ahli waris menurut Al-Qur’an atau yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an disebut dzul faraa’idh;



2.1  Dzul Faraa’idh
“Yaitu ahli waris yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an, yakni ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-ubah”.[6] Adapun rincian masing-masing ahli waris dzul faraa’idh ini dalam Al-Qur’an tertera dalam surat An-Nisaa ayat 11, 12, dan 176 yang dielaborasi secara akademis oleh Th. N. Juynboll  dalam bukunya ”Hanleiding tot de kennis van den Mohammedaansche School”. Sementara itu, Komar Andasasmita, dengan mengutip buku karya Juynboll di atas, menguraikan jumlah ahli waris menurut atau berdasarkan Al-Qur’an yang terdiri atas dua belas jenis, yaitu :
1.      Dalam garis ke bawah:
1.1  anak perempuan
1.2  anak perempuan dari anak laki-laki (Q.S.IV : 11)
2.      Dalam garis ke atas:
2.1  Ayah
2.2   Ibu.
2.3  kakek dari garis ayah.
2.4  nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (Q.S.IV : 11).
3.      Dalam garis ke samping:
3.1  Saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garisayah.
3.2  Saudara perempuan tiri (halfzuster) dari garis ayah(Q.S. IV : 176)
3.3  Saudara lelaki tiri (halfbroeder) dari garis ibu (Q.S.IV : 12)
3.4  Saudar perempuan tiri (halfzuster) dari garis ibu(Q.S. IV : 12)
3.5  Duda
3.6  Janda (Q.S. IV : 12)

2.2  Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut Ashabah;
Ashabah dalam bahasa Arab berarti “Anak lelaki dan kaum kerabat dari pihak bapak”.[7] Ashabah menurut ajaran kewarisan patrilineal Sjafi’i adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau bagian sisa. Jadi bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluarkan adalah dzul faraa’idh, yaitu bagian yang telah ditentukan di dalam Al-Qur’an, setelah itu sisanya baru diberikan kepada ashabah. Dengan demikian, apabila ada pewaris yang meninggal tidak mempunyai ahli waris dzul faraa’idh (ahli waris yang mendapat bagian tertentu), maka harta peninggalan diwarisi oleh ashabah. Akan tetapi jika ahli waris dzul faraa’idh itu ada maka sisa bagian dzul faraa’idh menjadi bagian ashabah. Ahli waris ashabah ini menurut pembagian Hazairin dalam bukunya “Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an,” dinamakan ahli waris bukan dzul faraa’idh, yang kemudian beliau membagi ahli waris ashabah menjadi tiga golongan yaitu ”ashabah bin afsihi, ashabah bilghairi, dan ashabah ma’al ghairi”.[8]
Ashabah-ashabah tersebut menurut M. Ali Hasan dalam bukunya “HukumWarisan dalam Islam”,[9] terdiri atas:
1.      Ashabah binafsihi yaitu ashabah-ashabah yang berhak mendapat semua harta atau semua sisa, yang urutannya sebagai berikut:
1.1 Anak laki-laki;
1.2 Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawahasal saja pertaliannya masih terus laki-laki;
1.3 Ayah;
1.4 Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas asal sajapertaliannya belum putus dari pihak ayah;
1.5 Saudara laki-laki sekandung;
1.6 Saudara laki-laki seayah;
1.7 Anak saudara laki-laki sekandung;
1.8 Anak saudara laki-laki seayah;
1.9 Paman yang sekandung dengan ayah;
1.10. Paman yang seayah dengan ayah;
1.11. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah;
1.12. Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.
2.  Ashabah bilghairi
Yaitu ashabah dengan sebab orang lain, yakni seorang wanita yang menjadi ashabah karena ditarik oleh seorang laki-laki, mereka yang termasuk dalam ashabah bilghairi ini adalah sebagai berikut:
2.1 Anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki;
2.2 Saudara perempuan yang didampingi oleh saudaralaki-laki.
3.  Ashabah ma’al ghairi
Yakni saudara perempuan yangmewaris bersama keturunan dari pewaris, mereka itu adalah:
3.1. Saudara perempuan sekandung, dan
3.2. Saudara perempuan seayah.

2.3  Ahli waris menurut garis ibu, disebut Dzul Arhaam.
Arti kata dzul arhaam adalah “orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui pihak wanita saja”[10]. Hazairin dalam bukunya “Hukum Kewarisan Bilateral” memberikan perincian mengenai dzul arhaam, yaitu: “semua orang yang bukan dzul faraa’idh
dan bukan ashabah, umumnya terdiri atas orang yang temasuk anggota-anggota keluarga patrilineal pihak menantu laki-laki atau anggota pihak menantu laki-laki atau anggota-anggota keluarga pihak ayah dan ibu”.[11]
            Sajuti Thalib dalam bukunya menguraikan pula tentang dzularhaam, antara lain cucu melalui anak perempuan, menurut kewarisan patrilineal tidak menempati tempat anak, tetapi diberi kedudukan sendiri dengan sebutan dzul arhaam atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, tetapi telah agak jauh. Akibat dari pengertian ini maka dzul arhaam mewaris juga, tetapi telah agak dibelakang. Artinya, dzul arhaam akan mewaris kalau sudah tidak ada dzul faraa’idh  dan tidak ada pula ashabah. Selain cucu melalui anak perempuan, yang dapat digolongkan sebagai dzul arhaam adalah anggota keluarga yang penghubungnya kepada keluarga itu seorang wanita.

  1. Kualifikasi Ahli Waris Menurut KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek).
Dalam hukum waris BW, syarat-syarat pewarisan, sebagai berikut:
1.      Harus ada orang yang meninggal dunia (pasal 830 BW);
2.      Harus ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan pasal 2 BW, yaitu:
“anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya”.
(Apabila ia meninggal saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian berarti bayi dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hukum sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk mewaris)
3.      Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seorang yang tidak patut mewaris karena kematian, atau tidak dianggap sebagi tidak cakap untuk menjadi ahli waris. Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, para ahli waris diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap terhadap suatu harta warisan. Ahli waris diberi hak untuk berfikir selama empat bulan setelah itu ia harus menyatakan sikapnya apakah menerima atau menolak warisan atau mungkin saja ia menerima warisan dengan syarat yang dinamakan “menerima warisan secara beneficiaire”,[12] yang merupakan suatu jalan tengah antara menerima dan menolak warisan. Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna menentukan sikap tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban sebagai ahli waris sampai jangka waktu itu berakhir selama empat bulan (pasal 1024 BW). Setelah jangka waktu yang ditetapkan undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga kemungkinan, yaitu:
3.1  Menerima warisan dengan penuh;
3.2  Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu, atau disebut dengan istilah ”menerima warisan secara beneficiaire”;
3.3  Menolak warisan. Baik menerima maupun menolak warisan, masing-masing memiliki konsekuensi sendiri-sendiri terhadap ahli waris. Untuk memahami konsekuensi dimaksud, di bawah ini akan diuraikan akibat-akibat dari masing-masing pilihan yang dilakukan oleh ahli waris, yaitu sebagai berikut:
3.3.1        Akibat menerima secara penuh;
Ahli waris atau para ahli waris yang menerima warisan secara penuh, baik secara diam-diam maupun secara tegas bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kewajiban yang melekat pada harta warisan. Artinya, ahli waris harus menanggung segala macam hutang-hutang pewaris. Penerimaan warisan secara penuh yang dilakukan dengan tegas yaitu melalui akta otentik atau akta di bawah tangan, sedangkan penerimaan secara penuh yang dilakukan diam-diam, biasanya dengan cara mengambil tindakan tertentu yang menggambarkan adanya penerimaan secara penuh.
3.3.2        Akibat menerima warisan secara beneficiaire;
3.3.2.1              Seluruh warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli waris;
3.3.2.2              ahli waris tidak perlu menanggung pembayaran hutang-hutang pewaris dengan kekayaan sendiri sebab pelunasan hutang-hutang pewaris hanya dilakukan menurut kekuatan harta warisan yang ada;
3.3.2.3              tidak terjadi percampuran harta kekayaan antara hartakekayaan ahli waris dengan harta warisan.
3.3.2.4              Jika hutang-hutang pewaris telah dilunasi semuanya danmasih ada sisa peninggalan, maka sisa itulah yangmerupakan bagian ahli waris.
3.3.3        Akibat menolak warisan. Ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, karena jika ia meninggal lebih dahulu dari pewaris ia tidak dapat digantikan kedudukannya oleh anak-anaknya yang masih hidup. Menolak warisan harus dilakukan dengan suatu pernyataan kepada panitera pengadilan negeri wilayah hukum tempat warisan terbuka. Penolakan warisan dihitung dan berlaku surut, yaitu sejak meninggalnya pewaris. Seorang ahli waris yang menyatakan menerima warisan secara beneficiaire atau menerima dengan mengadakan inventarisasi harta peninggalan, mempunyai beberapa kewajiban yaitu:
3.3.3.1  wajib melakukan pencatatan atas jumlah harta peninggalandalam waktu empat bulan setelah ia menyatakan kehendaknya kepada panitera pengadilan negeri;
3.3.3.2  wajib mengurus harta peninggalan dengan sebaik-baiknya;
3.3.3.3  wajib membereskan urusan waris dengan segera;
3.3.3.4  wajib memberikan jaminan kepada kreditur, baik kreditur benda bergerak maupun kreditur pemegang hipotik;
3.3.3.5  wajib memberikan pertanggung jawaban kepada seluruh kreditur pewaris, maupun kepada orang-orang yangmenerima pemberian secara“legaat” wajib memanggil para kreditur pewaris yang tidak dikenal melalui surat kabar resmi.
Setelah semua syarat terpenuhi, dalam waris BW Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestate berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
1.      Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan atau hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami atau isteri tidak saling mewarisi;
2.      Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris;
3.      Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
4.      Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis kesamping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
            Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya. Sedangkan ahli waris menurut surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat. Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukan seseorang atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Akan tetapi seperti juga ahli waris menurut undang-undang atau ab intestato, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter  akan memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari pewaris.

4. Kualifikasi Ahli Waris Menurut Hukum Adat.
 Menurut hukum adat, dibagi menjadi 3 sistem, yaitu sistem keluarga patrilineal, matrilineal, dan parental.

  1. Ahli Waris dalam sistem patrilineal
Dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku Karo yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuannya. Akan tetapi anak laki-laki tidak dapat membantah pemberian kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada prinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang tua yang tidak membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris diTanah Patrilineal, terdiri atas:
a.       Anak laki-laki.
Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan. Baik harta pencaharian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan pewaris dibagi sama di antara para ahli waris. Misalnya pewaris mempunyai tiga orang anak laki-laki, maka masing-masing anak laki-laki akan mendapat bagian dari seluruh harta kekayaan termasuk harta pusaka. Apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak perempuan dan isteri, maka harta pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-anak perempuan maupun oleh isteri seumur hidupnya, setelah itu harta pusaka kembali kepada asalnya atau kembali kepada "pengulihen".


b.      Anak angkat Dalam masyarakat Karo.
Anak angkat merupakan ahli waris yang kedudukannya sama seperti halnya anak sah. namun anak angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap harta pencaharian atau harta bersama orang tua angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.
c.       Ayah dan Ibu serta saudara-saudara sekandung sipewaris. Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si pewaris yang mewaris bersama-sama.
d.      Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu. Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara-saudara sekandung pewaris dan ayah-ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
e.       Persekutuan adat. Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka harta warisan jatuh kepada persekutuan adat. Ketentuan hukum adat waris di Tanah Karo menentukan, bahwahanya keturunan laki-laki yang berhak untuk mewarisi harta pusaka.Yang dimaksud dengan harta pusaka atau barang adat yaitu barang-barang adat yang tidak bergerak dan juga hewan atau pakaian-pakaian yang harganya mahal. Barang adat atau harta pusaka ini adalah barang kepunyaan marga atau berhubungan dengan kuasa kesain, yaitu "bagian dari kampung secara fisik".[13] Barang-barangadat meliputi: tanah kering (ladang), hutan, dan kebun milik kesain. Rumah atau jabu mempunyai potongan rumah adat, jambur atau sapo tempat menyimpan padi dari beberapa keluarga dan juga bahan-bahanuntuk pembangunan, seperti ijuk, bambu, kayu, dan sebagainya yang dihasilkan hutan marga atau kesain.

  1. Ahli Waris Dalam Sistem Matrilineal
Ahli waris dan hak mewaris menurut adat Minangkabau sebagaimana diketahui, bahwa “kaum” dalam masyarakat Minangkabau merupakan persekutuan hukum adat yang mempunyai daerah tertentu yang dinamakan “tanah ulayat”. Kaum serta anggota kaum diwakili ke luar oleh seorang “mamak kepala waris”. Anggota kaum yang menjadi mamak kepala waris lazimnya adalah saudara laki-laki yang tertua dari ibu, mamak kepala waris harus yang cerdas dan pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum terletak pada rapat kaum, bukan pada mamak kepala waris. Anggota kaum terdiri atas kemenakan dan kemenakan ini adalah ahli waris. Menurut hukum adat Minangkabau ahli waris dapat dibedakan antara :
1.      Waris bertali darah.
Yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang terdiri atas waris satampok (waris setampuk), waris sejangka (waris sejengkal), dan waris saheto (waris sehasta). Masing-masing ahli waris yang termasuk waris bertali darah ini mewaris secara bergiliran. Artinya, selama waris bertali darah setampuk masih ada, maka waris bertali darah sejengkal belum berhak mewaris. Demikian pula ahli waris seterusnya selama waris sejengkal masih ada, maka waris sehasta belum berhak mewaris.
2.      Waris bertali adat.
Yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah. Setiap nagari di Minangkabau mempunyai nama dan pengertian tersendiri untuk waris bertali adat, sehingga waris bertali adat ini dibedakan sebagai berikut :
2.1    menurut caranya menjadi waris: waris batali ameh, warisbatali suto, waris batali budi, waris tambilang basi, waris tembilang perak 
2.2    menurut jauh dekatnya terdiri atas: waris di bawah daguek, waris didado, waris di bawah pusat, waris dibawah lutut.
2.3    menurut datangnya, yaitu : waris orang datang, waris air tawar, waris mahindu.

3. Ahli waris dalam hukum adat waris parental
a.       Sedarah dan Tidak Sedarah
Ahli waris adalah ahli waris sedarah dan yang tidak sedarah. Ahli waris yang sedarah terdiri atas anak kandung, orang tua, saudara, dan cucu. Ahli waris yang tidak sedarah, yaitu anak angkat, janda/duda. Di daerah Cianjur, seorang anak angkat adalah ahli waris, apabila pengangkatannya disahkan oleh pengadilan negeri. Jenjang atau urutan ahli waris adalah: Pertama, anak/ anak-anak. Kedua, orang tua apabila tidak ada anak, dan Ketiga, saudara/ saudara kalau tidak ada orang tua. Akan tetapi dari penelitian setempat tidak diperoleh keterangan apakah adanya satu kelompok ahli waris akan menutup hak ahli waris yang lain.


b.      Kepunahan atau nunggul pinang
Ada kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai ahli waris (punah) atau lazim disebut nunggul pinang. Menurut ketentuan yang berlaku di daerah Kabupaten Bandung, Banjar, Ciamis, Kawali,Cikoneng, Karawang Wetan, Indramayu, Pandeglang, apabila terjadi nunggul pinang, barang atau harta peninggalan akan diserahkan kepada desa.[14] Selanjutnya desalah yang akan menentukan pemanfaatan atau pembagian harta kekayaan tersebut. Di Pandeglang kalau pewaris mati punah, harta warisan jatuh kepada desa atau mungkin juga pada baitulmaal, masjid atau wakaf. Di daerah Kabupaten Cianjur, kekayaan seorang yang meninggal tanpa ahli waris, selain diserahkankepada desa, mungkin diserahkan kepada baitulmaal atau kepadaorang tidak mampu. Di Kecamatan Kawali, selain diserahkan ke desa dapat juga diserahkan kepada yayasan sosial. Pengadilan Negeri Indramayu yang dikukuhkan oleh PengadilanTinggi Jawa barat di Bandung, memutuskan: “Apabila seseorang tidak mempunyai anak kandung, maka keponakan-keponakannya berhak mewarisi harta peninggalannya yang merupakan barang asal atau barang yang diperolehnya sebagai warisan orang tuanya”. (PN. Indramayu tanggal 28 Agustus 1969,No.36/1969/Pdt., PT. Jabar di Bandung tanggal 23 Januari 1971,Nomor 507/ 1969/Perd/PTB”.[15]

B.     PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT PRINSIP HUKUM WARIS ISLAM, BW DAN ADAT

Lain sumber lain pula aturannya. Begitu pun dengan ketiga hukum waris positif ini. Dalam perihal pembagian warisan, ketiga hukum waris ini berbeda.

1.      Pembagian Harta Untuk Ahli Waris Menurut Hukum Islam.
Dimulai dari hukum waris Islam, Di antara ahli waris yang ditentukan bagiannya di dalam Al-Qur’an hanya ahli waris dzul faraa’idh, sehingga bagian mereka selamanya tetap tertentu dan tidak berubah-ubah. Berbeda halnya dengan para ahli waris lain yang bukan dzul faraa’idh, seperti ahliwaris ashabah dan dzul arhaam. Bagian mereka yang disebut terakhir, merupakan sisa setelah dikeluarkan hak para ahli waris dzul faraa’idh. Adapun bagian tetap para ahli waris dzul faraa’idh secara terinci dapat disimak lebih lanjut dalam uraian dibawah ini:
a.       Mereka yang mendapat ½ dari harta peninggalan terdapat lima golongan.
1.      Seorang anak perempuan bila tidak ada anak laki-laki.(Q.S. IV : 11);
2.      Seorang anak perempuan (dari anak laki-laki), bila tidak ada cucu laki-laki, anak perempuan;
3.      Seorang saudara perempuan kandung, bila tidak ada saudara laki-laki (Q.S. IV : 176);
4.      Seorang saudara perempuan seayah, bila tidak ada saudara laki-laki (Q.S. IV : 176);
5.      Suami bila isteri yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu (Q.S. IV: 12).
b.      Mereka yang mendapat ¼ bagian dari harta peninggalan terdapat dua golongan:
1.      Suami, bila isteri yang meninggal mempunyai anak atau cucu (Q.S. IV : 12);
2.      Isteri, bila suami yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu. (Q.S. IV : 12).
c.       Ahli waris yang mendapat ¼ dari harta peninggalan hanya satu golongan, yaitu:
Isteri, bila suami yang meninggal dengan meninggalkan anak atau cucu. (Q.S. IV : 12)
d.      Ahli waris yang mendapat bagian dari harta peninggalan,hanya isteri (zaujah),[16] baik seorang ataupun lebih. Bagian ini akan diperoleh isteri apabila suaminya yang meninggal dunia meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan (Q.S. IV :12). Demikian pula jika suaminya itu meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
e.       Ahli waris yang mendapat bagian dari harta peninggalan ada dua golongan, yaitu:
1.      Ibu, bila yang meninggal tidak meninggalkan anak ataucucu, atau dua orang saudara atau lebih. (Q.S. IV: 11);
2.      Dua orang atau lebih saudara seibu baik laki-lakimaupun perempuan, dengan pembagian yang sama.
f.       Ahli waris yang memperoleh bagian dari harta peninggalan terdapat 4 (empat) golongan:
1.      Dua orang atau lebih anak perempuan, bila tidak adaanak laki-laki (Q.S. IV :11);
2.      Dua orang cucu perempuan atau lebih, dari anak laki-laki bila tidak ada cucu laki-laki, anak perempuan;
3.      Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih, bilatidak ada saudara laki-laki. (Q.S. IV :176);
4.      Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, bilaada saudara laki-laki. (Q.S. IV :176)
g.      Para ahli waris yang meninggal memperoleh 1/6 dari harta peninggalan, terdapat tujuh golongan :
1.      Ibu, jika yang meninggal dunia meninggalkan anak, cucu, dua atau lebih saudara. (Q.S. IV :11);
2.      Ayah, jika yang meninggal dunia mempunyai anak ataucucu ( Q.S. IV : 11);
3.      Nenek, ibu dari ibu-bapak;
4.      Seorang cucu perempuan, dari anak laki-laki,bersamaan dengan anak perempuan (H.R. Buchari);
5.      Kakek, bapak dari bapak, bersamaan dengan anak atau cucu, bila ayah tidak ada;
6.      Seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan. (Q.S.IV :12);
7.      Saudara perempuan, seorang atau lebih bersamaan dengan saudara kandung.
Selain dzul faraa’idh  juga terdapat ahli dari waris ashabah dan ahli waris dzul arhaam. Kedua macam ahli waris tersebut memperoleh bagian sisa dari harta peninggalan setelah dikurangi hutang-hutang pewaris termasuk ongkos-ongkos biaya kematian, wasiat, dan bagian para ahli waris dzul faraa’idh. Di samping itu semua, dikenal pula kelompok keutamaan para ahli waris, yaitu “ahli waris yang didahulukan untuk mewaris” dari kelompok ahli waris lainnya. Mereka yang menurut Al-Qur’an termasuk kelompok yang didahulukan untuk mewaris atau disebut dengan “kelompok keutamaan”[17] terdiri atas empat macam, yaitu:
a.       Keutamaan pertama, yaitu:
1.      Anak, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan anak yang meninggal dunia;
2.      Ayah, ibu, dan duda atau janda, bila tidak terdapat anak.
b.      Keutamaan kedua:
1.      Saudara, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahliwaris pengganti kedudukan saudara;
2.      Ayah, ibu, dan janda atau duda, bila tidak ada saudara.
c.       Keutamaan ketiga:
1.      Ibu dan ayah, bila ada keluarga, ibu dan ayah, bila salahsatu, bila tidak ada anak dan tidak ada saudara;
2.      Janda atau duda.
d.      Keutamaan keempat:
1.      Janda atau duda;
2.      Ahli waris pengganti kedudukan ibu dan ahli waris pengganti kedudukan ayah.

2. Pembagian Harta Untuk Ahli Waris Menurut KUHPerdata (BW).
Sementara dalam hukum waris BW, Di atas telah dikemukakan bahwa BW mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya, apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula jika golongan pertama tidak ada sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan golongan ketiga dan keempat tidak berhak. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW adalah sebagai berikut:
1.      Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai empat orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 di bagi di antara anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu (plaatsvervulling), sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/20 bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak memperoleh warisan selama anak pewaris masih ada, baru apabila anak pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya digantikan oleh anak-anaknya atau cucu pewaris.
2.      Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang mewaris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
·         ½ (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika iamewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan, sama saja;
·         bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewarisbersama-sama dengan dua orang saudara pewaris;
·         ¼ (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika iamewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebihsaudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu disamping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari dua bagian yang dipisahkan tadi.
3.      Bagian golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving). Selanjutnya separoh yang satu merupakan bagian anak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separoh hasil dari kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan kepada nenek.
4.      Bagian golongan keempat yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang separoh dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada saudara-saudara sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau saudara senenek dengan pewaris. Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahliwaris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuhkepada para ahli waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: ”Apabila ahliwaris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara. Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutangpeninggal warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi”.
Bagian warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain diatur sebagai berikut :
·         dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan anak yang sah serta janda atau duda yang hidup paling lama;
·         ½ dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan golongan ketiga;
·         ¾ dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama ahli waris golongan keempat, yaitu sanak keluarga pewaris sampai derajat keenam;
·         ½ dari bagian anak sah, apabila ia mewaris hanya bersama-sama dengan kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi kloving.
Jadi dalam hal demikian, bagian anak yang lahir diluar nikah bukan ¾, sebab untuk ahli waris golongan keempat ini sebelum warisan dibuka terlebih dahulu diadakan kloving atau dibagi dua, sehingga anak yang lahir di luar pernikahakan memperoleh ¼ dari bagian anak sah dari separoh warisan pancer ayah dan ¼ dari bagian anak sah dari separoh warisan pacer ibu, sehingga menjadi ½ bagian. Apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris sampai derajat keenam sedang yang ada hanya anak yang lahir diluar nikah, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada tangan anak yang lahir di luar pernikahan, sebagai ahli waris satu-satunya. Anak yang lahir dari zina dan anak yang lahir dari orang tua yang tidak boleh menikah karena keduanya sangat erat hubungan kekeluargaannya, menurut sistem BW sama sekali tidak berhak atas harta warisan dari orang tuanya, anak-anak tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekedar nafkah untuk hidup seperlunya, (lihat Pasal 867 BW).

3.      Pembagian Harta Untuk Ahli Waris Menurut Hukum Adat.
Sedangkan menurut hukum waris adat, seperti yang dijelaskan diatas bahwa dalam hukum waris adat terdapat tiga sistem pewarisan, yaitu patrilineal, matrilineal, dan parental. Dari ketiga sistem tersebut pun memiliki pembagian warisan yang berbeda. Proses penyerahan barang-barang harta benda kekayaan seseorang kepada turunannya, seringkali sudah dilakukan ketika orangtua (pewaris) masih hidup. Pembagian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan anak beru, senina, dan kalimbubu. Kadang-kadang pembagian itu juga dihadiri oleh penghulu (Kepala Desa) untuk menambah terangnya pembagian tersebut. Apabila pembagian dilakukan setelah pewaris meninggal dunia, maka perlu diperhatikan, bahwa walaupun pada dasarnya semua anak laki-laki mempunyai hak yang sama terhadap harta peninggalan orang tuanya, namun pembagian itu harus dilakukan dengan sangat bijaksana sesuai dengan kehendak atau pesan pewaris sebelum meninggal dunia. Apabila dalam pembagian itu terjadi sengketa, maka anak beru dan senina mencoba menyelesaikannya melalui musyawarah. Apabila seorang ayah sebagai pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan isteri lebih dari satu, misalnya mempunyai dua orang anak dari isteri pertama dan tiga orang anak dari isteri kedua, maka pembagiannya ada dua cara, yaitu :
1.      Dahulu cara pembagian harta peninggalan dalam keadaan semacam ini didasarkan pada banyaknya isteri, sehingga dalam contoh di atas cara pembagiannya adalah menjadi ½ bagian untuk dua orang anak dari isteri pertama dan ½ bagian lagi untuk tiga orang anak dari isteri kedua;
2.      Setelah adanya musyawarah kepala-kepala adat Tanah Karo, cara pembagian semacam di atas berubah menjadi atas dasar jumlah anak laki-laki yang masing-masing akan memperoleh bagian yang sama besar, sehingga dalam contoh di atas masing-masing akan memperoleh 1/5 bagian.
Sementara dalam sistem pewarisan matrilineal, hak mewaris dari masing-masing ahli waris yang disebutkan di atas satu sama lain berbeda-beda tergantung pada jenis harta peninggalan yang akan ia warisi dan hak mewarisinya diatur menurut urutan prioritasnya. Hal tersebut akan dapat terlihat dalam paparan di bawah ini
1.      Mengenai harta pusaka tinggi
Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi,cara pembagiannya berlaku sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tinggi diwarisi oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi pemilikannya dan dimungkinkan dilakukan “ganggam bauntuek". Walaupun tidak boleh dibagi-bagi, pemilikannya di antara para ahli waris, harta pusaka tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang anggota kaum oleh mamak kepala waris untuk selanjutnya dijual atau digadaikan guna keperluan modal berdagang atau merantau, asal saja dengan sepengetahuan dan seizin seluruh ahli waris. Disamping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau digadaikan, guna keperluan:
·         untuk membayar hutang kehormatan;
·         untuk membayar ongkos memperbaiki bandar sawah kepunyaan kaum;
·         untuk membayar hutang darah;
·         untuk menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal di pantai;
·         untuk ongkos naik haji ke Mekkah;
·         untuk membayar hutang yang dibuat oleh kaum secarabersama-sama.
2.      Mengenai harta pusaka rendah
     Semula harta pusaka rendah adalah harta pencaharian. Harta pencaharian mungkin milik seorang laki-laki atau mungkin juga milik seorang perempuan. Pada mulanya harta pencaharianseseorang diwarisi oleh jurai atau setidak-tidaknya kaum masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya karena hubungan seorang ayah dengan anaknya bertambah erat dan juga sebagai pengaruh agama Islam, maka seorang ayah dengan harta pencahariannya dapat membuatkan sebuah rumah untuk anak-anaknya atau menanami tanah pusaka isterinya dengan tanaman keras, misalnya pohon kelapa, pohon durian, pohon cengkeh, dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan untuk membekali isteri dan anak-anak manakala ayah telah meninggal dunia.
3.      Mengenai harta suarang Harta suarang
Berbeda sama sekali dengan harta pencaharian sebab harta suarang adalah seluruh harta yang diperoleh suami-isteri secara bersama-sama selama dalam perkawinan. Kriteria untuk menentukan adanya kerja sama dalam memperoleh harta suarang, dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketika suami masih merupakan anggota keluarganya, ia berusaha bukan untuk anak-isterinya melainkan untuk orang tua dan para kemenakannya, sehingga ketika itu sedikit sekali kemungkinannya terbentuk harta suarang sebab yang mengurus dan membiayai anak-anak dan isterinya adalah saudara atau mamak isterinya. Sedangkan pada dewasa ini adanya kerja sama yang nyata antara suami-isteri untuk memperoleh harta suarang sudah jelas nampak, terutama masyarakat Minangkabau yang telah merantau jauh ke luar tanah asalnya, telah menunjukkan perkembangan ke arah pembentukan hidup keluarga (somah), yaitu antara suami, isteri dan anak-anak merupakan satu kesatuan dalam ikatan yang kompak. Dalam hal demikian suami telah bekerja dan berusaha untuk kepentingan isteri dan anak-anaknya, sehingga dalam kondisi yang demikian keluarga tadi akan mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta keluarga yang disebut harta suarang. Harta suarang dapat dibagi-bagi apabila perkawinan bubar, baik bercerai hidup atau salah seorang meninggal dunia. Harta suarang dibagi-bagi setelah hutang suami-isteri dilunasi terlebih dahulu. Ketentuan pembagiannya sebagai berikut:
·         bila suami-isteri bercerai dan tidak mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri;
·         bila salah seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, maka sebagai berikut:
Ø  jika yang meninggal suami, harta suarang dibagidua, separoh merupakan bagian jurai si suami dan separoh lagi merupakan bagian janda;
Ø  Jika yang meninggal isteri, harta suarang dibagi dua, sebagian untuk jurai suami dan sebagian lagi untuk duda.
·         Apabila suami-isteri bercerai hidup dan mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri, anak-anak akan menikmati bagian ibunya;
·         Apabila salah seorang meninggal dunia dan mempunyaianak, bagian masing-masing sebagai berikut:
Ø  jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua antara jurai suami dengan janda beserta anak;
Ø  jika yang meninggal isteri, harta suarang seperdua untuk suami dan seperdua lagi untuk anak sebagai harta pusaka sendiri dari bagian ibunya. Berkaitan dengan pembahasan harta suarang, di bawah ini akan ditunjukkan beberapa putusan pengadilan mengenai harta suarang sebagai bukti, bahwa antara suami-isteri orang Minangkabau dalam perkembangan selanjutnya telah terjalin kerja sama dalam satu kesatuan unit yang disebut somah (gezin), sehingga terbentuk harta keluarga.
(i)                 Putusan Landraad Talu tanggal 23 Januari 1937 No.5 tahun 1937 yang dikuatkan oleh Raad van Justitie Padang tanggal 13 Mei 1937 (T.148/508) menentukan bangunan yang didirikan atau tanaman yang ditanami di atas tanah harta kaum isteri bukanlah harta suarang;
(ii)               Putusan Landraad Payakumbuh tanggal 13 Juni 1938 No. 63 perdata 11 tahun 1938, yang dikuatkan oleh Raad van Justitie Padangtahun 1938 mengatakan: Bila suami meninggalkan beberapa orang janda, maka pembagian harta suarang menjadi pusaka rendah jurai si suami dan separoh lagi merupakan bagian para janda yang masih hidup;
(iii)             Putusan Pengadilan Bukittinggi No. 46/1953 tanggal 26 September 1953 yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan tanggal 13 Maret 1956 Nomor 23/1954, yang menetapkan, bahwa harta suarang bertanggung jawab atas hutang suami. Kemudian adanya rumah di atas tanah kaum tidak dengan sendirinya membuktikan, bahwa rumah itu kepunyaan kaum, mungkin saja rumah itu kepunyaan suami isteri bersama sebagai harta suarang.
Lalu dalam sistem parental, pembagian warisannya adalah sebagai berikut:

1.      Tata cara membagi harta warisan
Pelaksanaan pembagian warisan tergantung pada hubungan dan sikap para ahli waris. Pembagian warisan mungkin terjadi dalam suasana tanpa sengketa atau sebaliknya dalam suasana persengketaan di antara para ahli waris. Dalam suasana tanpa persengketaan, suasana persaudaraan dengan penuh kesepakatan, pelaksanaan pembagian waris dilakukan dengan cara:
1.1    Musyawarah antara sesama ahli waris/keluarga; atau
1.2    Musyawarah antara sesama ahli waris dengan disaksikan oleh sesepuh desa. Sebaliknya, apabila suasana persengketaan mengiringipembagian itu, maka pelaksanaan pembagian dilakukandengan cara:
1.2.1        Musyawarah sesama ahli waris dengan disaksikan olehsesepuh desa (Leuwiliang);
1.2.2        Musyawarah sesama ahli waris dengan disaksikan olehpamong desa. Apabila usaha-usaha permusyawaratan ini gagal, baru diajukan ke pengadilan. Sepanjang mengenai tanah/sawah, akan selalu menghubungi desa untuk keperluan balik nama. Di daerah Banjar, Kawali, Cikoneng, dan Cianjur selainbantuan pamong desa, permusyawaratan tersebut mungkindipimpin seorang sesepuh desa.

2.      Saat Pembagian Warisan.
Tidak ada kepastian waktu mengenai harta warisan harus dibagikan. Di beberapa daerah, dijumpai praktik, saat pembagian warisan tersebut ditentukan berdasarkan lamanya pewaris meninggal. Pembagian harta warisan biasanya dilakukan pada hari ke 40 (empat puluh) atau hari ke100(seratus) sejak pewaris meninggal dunia.

3.      Besarnya bagian yang diterima ahli waris.
3.1    Anak/anak-anak 
3.1.1     Anak Kandung, biasanya baik anak laki-laki maupun anak perempuan akan menerima jumlah yang sama besar dalam setiap pembagian warisan.
3.2    Anak-anak angkat, tiri, dan anak tidak sah
 Anak angkat  di daerah-daerah tertentu anak angkat tidak dipandang sebagai ahli waris yang mempunyai hak penuh atas warisan orang tua angkatnya. Dalam hubungan hak anak angkat atas harta peninggalan orang tua angkatnya, terdapat beberapa yurisprudensi berikut ini:[18]
3.2.1     “Menurut Hukum Adat Jawa Barat seorang anak angkat (anak kukut) hanya berhak atas harta gunakaya kedua orang tua angkatnya”.(PT. Bandung tanggal 6 Mei 1971 No. 80/Perd/PTB, MA tanggal 30 Oktober 1971, No. 637 K/Sip/1971).
3.2.2     “Anak angkat berhak atas barang gono-gini orang tua angkatnya”. (PN. Ciamis tanggal 22 Februari 1968,No.16/1967/Sip/Cms. PT. Bandung tanggal 9Oktober 1970, No. 252/1969/Perd/PTB, MA tanggal 30 Oktober 1971 No.637 K/Sip/1971).
3.2.3     “Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, yang bukan barang asal ataubarang warisan”. (PN Indramayu tanggal 8September 1969 No. 24/1969/Perd. PT. Bandungtanggal 14 Mei 1970 No.511 /1969/Perd/ PTB).
3.2.4     “Apabila baik anak angkat maupun janda telah pernah mendapat hibah dari pewaris, maka lebih adil apabila bagian janda adalah sama banyaknya dengan bagian anak angkat, jika pewaris tak meninggalkan anak kandung”. (PT Bandung tanggal 14 Mei 1970,No.215 /1969/Perd. MA tanggal 24 Maret 1971 No.60 K/Sip/1970).
c.       Anak tiri
Sama halnya dengan anak angkat, seorang anak tiri akan menerima bagian dari harta peninggalan orang tua tirinya sapamerena / saasihna.
d.      Anak tidak sah
Di daerah-daerah dalam Kabupaten Bandung, Karawang, Indramayu, anak tidak sah adalah ahli waris ibu kandungnya dan tidak dari bapak pembangkitnya. Tetapi di sini tidak dijumpai penjelasan bagaimanakah kedudukan seorang anak tidak sah tersebut terhadap bapak pembangkitnya, apabila kemudian ibunya menikah secara sah dengan bapak pembangkitnya. Di daerah Kabupaten Cianjur dalam hal ibu seorang anak tidak sah kemudian menikah secara sah dengan bapak pembangkitnya, maka hak untuk mendapat bagian tergantung kepada kebijaksanaan anak/anak-anak sah (saudara anak tidak sah tersebut).Tetapi satu pertanyaan perlu dijawab, bagaimanakah seandainya dari perkawinan ibu anak tidak sah tersebut dengan bapak pembangkitnya tidak lahir (tidak ada) anak sah? Di Kecamatan Banjar, Ciamis, Cikoneng, danKawali, anak tidak sah tidak mewarisi bersama-samaanak sah, baik bapak pembangkitnya menikah denganibunya maupun tidak.
e.        Hak Janda atau Duda.
Di daerah-daerah dalam lingkungan seorang janda/duda diatur sebagai berikut;
(1)   Harta asal.
Kalau ada anak, seluruh harta asal jatuh kepadaanak/ anaknya. Kalau tidak ada anak/anak-anaknya, harta asal kembali ke asal. Janda/duda tidak berhak menerima bagian harta asal.
(2) Harta bersama.
Janda/duda berhak mendapat ½ dari harta bersama.Dalam hal harta bersama tidak mencukupi, janda dapatmenguasai harta asal suaminya sampai ia menikah lagiatau meninggal. Apakah hak janda untuk menahan hartaasal suami berlaku juga untuk duda? (Artinya, apakahduda juga dapat menguasai harta asal isteri?).Di Kecamatan Banjar, terdapat praktik yang sama sepertidi daerah Kabupaten Bandung. Di Banjar, seorang janda/duda berhak atas ½ dari harta bersama. Di Ciamisdan Cikoneng, seorang janda/duda akan menerima sapamerena / saasihna. Sedangkan kalau tidak ada anak, janda/duda berhak atas ½ dari harta bersama. Pada semua daerah penelitian terdapat persamaan bahwa lamanya perkawinan tidak berpengaruh atas bagian yang harus diterima janda/ duda.Dalam hubungan dengan hak janda atas harta peninggalan suaminya, dapat dijumpai beberapayurisprudensi, antara lain :[19]
a.       Hak waris janda dan anak “Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Juli1962 No. 26 K/SIP/1963, barang asal dari peninggalanwarisan harus dibagi sama rata antara anak-anak dan janda-janda pewaris".(PN Cianjur tanggal 29 Januari 1971 No. 218 /1969/Perd/PTB)
b.      Hak seorang janda atas harta asal suaminya"Menurut yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung seorang janda berhak atas harta asal dari suaminya sebagai nafkah untuk kelangsungan hidupnya dan apabila diadakan pembagian waris, bagian seorang janda setidak-tidaknya adalah disamakan dengan bagian seorang anak".(PT Bandung tanggal 6 Mei 1971 No.80/1970/Perd/PTB.MA tanggal 1 Desember 1971 No.941 K/Sip/1971).
c.       Hak waris janda setengah diberi hibah"Apakah baik anak angkat maupun janda telah pernah mendapat hibah dari pewaris, maka lebih adil apabila bagian janda adalah sama banyaknya dengan bagian anak angkat, jika pewaris tak meninggalkan anak kandung".(PT Bandung tanggal 14 Mei 1970 No.215/1969/Perd/PTB. MA tanggal 24 Maret 1971 No. 60K/Sip/1970).
d.      Hak waris janda atas harta campur kaya"Barang-barang campur kaya hanya diwaris oleh jandadan anak si pewaris". (PN Indramayu tanggal 15September 1969 No.23/1969/Pdt, PT Bandung tanggal 29Januari 1971 No. 218/1969/Perd/PTB). Dari berbagai putusan Pengadilan di atas, selain menampakkan adanya keserasian antara perkembangan hukum adat dalam proses pewarisan dengan hukum adat yang hidup dalam masyarakat, dirasa masih perlu untuk memperoleh ketegasan atas hal-hal berikut :
1) Hak Janda atas harta campur kaya
Harta campur kaya atau gono-gini adalah harta bersama atau milik bersama (community property). Jadi, seorang isteri atau suami merupakan pemilik dari sebagian (misalnya separo) dari keseluruhan harta tersebut. Berakhirnya suatu perkawinan baik karena meninggal, perceraian maupun putusan hakim akan membawa konsekuensi pecahnya harta bersama. Masing-masing pihak akan menerima bagian menurut kesepakatan atau hukum yang berlaku. Dalam Hukum Adat di Jawa Barat pada umumnya, masing-masing akan menerima separo dari harta campur kaya (50 : 50). Apabila salah satu pasangan meninggal, ia tidak meninggalkan seluruh harta campur kaya (100%). Sebab harta peninggalan pewaris hanya sebagian saja (misalnya50%) dari seluruh harta campur kaya. Sedangkan sebagian lagi, adalah hak pasangan yang masih hidup dalam kedudukan sebagai pemegang sebagian hak atas harta campur kaya. Jadi, dalam hal ini sebenarnya pasangan yang masih hidup tidak atau belum menerima warisan dari suami/isteri yang meninggal itu. Kalau pasangan yang masih hidup itu dipandang sebagai ahli waris suami/isteri atau setidak-tidaknya berhak atas harta peninggalan suami/isteri, hak itu adalah atas harta guna kaya yang menjadi hak suami (50% ). Secara konkrit, konstruksi di atas akan nampak sebagai berikut :
Ø  Kalau salah satu pasangan meninggal, maka pertama-tama diadakan pembagian harta campur kaya. Pasangan yang masih hidup akan menerima bagian sebagai pemilik atas sebagian harta campurkaya;
Ø  Setelah pasangan yang masih hidup menerima bagian tersebut di atas, sisa pembagian itu yang merupakan hak pasangan yang meninggal adalah harta peninggalan (warisan) dari yang meninggal;
Ø  Dalam bagian yang menjadi hak yang meninggal baru dapat dikatakan isteri/ suami yang masih hidup mempunyai hak/ tidak atas harta peninggalan suami/isteri;
Ø  Kalau suami/ isteri yang masih hidup menyatakan berhak atas harta peninggalan harta guna kaya yang menjadi bagian dari pasangan yang meninggal, berarti pasangan yang masih hidup akan menerima lebih besar dari para ahli waris lain atas keseluruhan harta campur kaya itu. Oleh karena selain menerima bagian yang menjadi haknya sebagai pemilik bersama harta campur kaya, akan menerima juga bagian harta guna kaya yang menjadi hak pasangan yang meninggal (pewaris). Dan dalam proses inilah kedudukan janda sebagai ahli waris atau bukan ahli waris.
Ø  Kalau suami/isteri yang masih hidup menyatakan hanya berhak atas sebagian dari seluruh harta campur kaya (misalnya 50%), maka sesungguhnya dia bukan ahli waris atau dia sesunguhnya tidak berhak atas harta campur kaya peninggalan suami/isteri yang meninggal. Karena apa yang diterima dari harta campur kaya itu bukan karena kedudukannya sebagai janda atau ahliwaris, tetapi semata-mata karena dia adalah pemilik atau pemegang hak atas sebagian dari harta campur kaya.
2) Dari yurisprudensi di atas, seyogianya pengertian janda tidak terbatas pada janda perempuan melainkan juga berlaku pula bagi janda/laki-laki atau lazim dikenal dengan sebutan duda. Hal ini didasarkan kepada salah satu asas pokok dalam hukum kekeluargaan adat yaitu kesederajatan antara suami dan isteri.

4. Hutang Pewaris
Para ahli waris bertanggung jawab untuk melunasi hutang-hutang pewaris. Pada tahap pertama, hutang-hutang pewaris dilunasi dengan harta peninggalannya. Karena itu, harta peninggalan pewaris baru akan dibagi setelah semua hutang-hutang tersebut dilunasi. Biaya penguburan merupakan salah satu hutang yang harus diutamakan pelunasannya.

5. Mengesampingkan ahli waris
Kecuali dalam kehilangan hak untuk mewaris (lihat tentang ahli waris), baik oleh pewaris maupun oleh sebagian ahli waris. Apabila hal ini terjadi, ahli waris yang bersangkutan dapat menuntut dipulihkan hak-haknya sebagai ahli waris (lihat yurisprudensi tentang ahli waris).





BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Hukum Waris menduduki posisi yang sangat penting dalam masyarakat karena mengatur kelangsungan hidup secara tertib. Dikatakan sangat penting karena hukum waris mengatur kepada siapa harta pewaris tersebut dibagi dan bagaimana memperlakukan harta pewaris tersebut. Permasalahan yang sering terjadi yakni Adapun hukum waris positif di Indonesia menurut hukum Islam, hukum adat, dan KUHPerdata. Adapuun prinsip-prinsip mengenai ahli waris menurut hukum positif Indonesia apabila digambarkan secara singkat dalam sebuah table sebagai berikut :

No
Prinsip-Prinsip Hukum Waris
KUHPerdata (BW)
Hukum Adat
Hukum Islam
1.
Ahli Waris
·    Aktiva dan Pasiva

·    Ab-Intestato dan testamen


·    Garis keatas dan garis kebawah


·      Dikenal penggolongan ahli waris
·      Dikenal konsep penghalang penerima warisan
·     Aktiva

·     Genealogis dan perbuatan hukum (anak angkat)
·     Garis kebawah dan muncul janda

·      Dikenal penggolongan ahli waris
·      Dikenal konsep penghalang penerima warisan
·     Aktiva dan Pasiva
·     Genealogis (nasab) dank arena perkawinan
·     Garis kebawah, garis ke atas, garis menyimpang
·      Dikenal penggolongan ahli waris
·     Dikenal konsep penghalang penerima warisan
2.
Penggantian tempat ahli waris
Dikenal lembaga ini
Dikenal lembaga ini
Tidak dikenal lembaga ini, penyelesaiannya dengan wasiat wajibah
3.
Hal ahli waris
Hak dan bagian sama
Hak dan bagian sama dalam pembagian individual
Hak dan bagian tidak sama antara laki-laki dan perempuan
4.
Bagian ahli waris
Ditentkan secara matematis
Ditentukan seimbang
Ditentukan dengan menetapkan besar bagian yang akan diterima oleh ahli waris sesuai penggolongan
5.
Hak menolak warisan
Dikenal lembaga ini
Tidak mengenal lembaga ini
Tidak mengenal lembaga ini
6.
Perhitungan harta warisan oleh ahli waris
Dikenal lembaga inbreng yang merupakan kewajiban dari para ahli waris
Terdapat asas harta warisan merupakan kesatuan bagi para ahli warisnya
Prinsipnya harta warisan adalah harta peninggalan
7.
Anak angkat
Tidak dikenal anak angkat tetapi bila ada anak angkat dianggap sama dengan anak kandung
Mengenal anak angkat, harta warisnya terbatas pada harta bersama
Tidak mengenal anak angkat, bila ada diselesaikan dengan wasiat
8.
Anak luar kawin
Harus melaui pengakuan ibu maupun ayahnya
Memiliki hubungan hukum dengan ibunya dan ayahnya yang mengakuinya
Memiliki hubungan hukum dengan ibunya
9.
Pencabutan hak mewaris
·   Ab-intestanto dan testamen



·   Pembunuhan dan perbuatan lain yang tidak patut dilakukan oleh ahli waris terhadap pewaris (838 BW)
·   Semasa hidup pewaris dan setelah meningganya pewaris
·   Pembunuhan
·   Setelah meninggalnya pewaris dan dengan wasiat

·   Perbudakan pembunuhan berlainan agama berlainan negara

Dengan demikian terlihat perbedaan prinsip-prinsip perihal ahli waris menurut Hukum Islam, Hukum Adat dan KUHPerdata.


DAFTAR PUSTAKA


I.    Literatur
Hadikusumua, Hilman, 1983, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Satrio, J, 1990, Hukum Waris, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Lubis, Suhrawardi, 2007, Hukum Waris Islam (lengkap dan praktis), Sinar Grafika: Jakarta.

Hazairin, 1968, Hukum Keluarga Nasional, Tintamas: Jakarta.

Hasan, M. Ali, 1973, Hukum Warisan dalam Islam, Bulan Bintang: Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1978, Kamus Hukum Adat, Alumni: Bandung.

Rasjid, Sulaiman, 1976, Fiqh Islam, Penerbit Attahiriyyah: Jakarta.

Munir, Shohibul, 1984, Ilmu Faraidh (TanatunNawaidh), PT. Alma’arif: Bandung.


II. Yurisprudensi

Yurisprudensi Jawa Barat, 1969-1972, Buku I-Hukum Perdata, LPHKFH-UNPAD, Bandung.


III. Internet





[1] W.J.S. Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud,Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia, 1982, hal. 1148.
[2] Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat. Bandung : Alumni, 1980, hal. 23
[3] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia. Bandung, Vorkink vanHoeve, 's-Gravenhage , h.al. 17.
[4] J. Satrio, Hukum Waris, Bandung: PT Citra Aditya, 1990, hal. 8.
[5] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983, hal.18.
[6] Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1968, hal. 38
[7] M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hal. 26
[8] Hazairin, Op. cit., hal. 15
[9] M. Ali Hasan, Op., Cit., hal. 27.
[10] Hazairin, Op. Cit., hal. 15.
[11] M.Ali Hasan. Op., Cit., hal. 27
[12] Akibat terpenting dari menerima warisan secara beneficiaire adalah bahwa kewajibansi waris untuk melunasi hutang-hutangnya dan beban-beban lainnya dibatasi sedemikian rupa bahwa pelunasan itu hanyalah dilakukan kekuatan warisan,sehingga si waris itu tidak usah menanggung pembayaran hutang-hutang itu dengan kekayaan sendiri.

[13] Soerjono Soekanto, Kamus Hukum Adat. Bandung : Alumni, 1978, hal. 121.
[15] Yurisprudensi Jawa Barat (1969-1972) Buku I-Hukum Perdata, LPHKFH-UNPAD;Bandung, 1974, hal. 36,37
[16] H.Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. Jakarta: Penerbit Attahiryah, Cetakan Ketujuhbelas. 1976. hal. 338; Bdgk. A. Shohibul Munir, Ilmu Faraidh (Tanatun Nawahidh).Bandung : PT. Alma’arif. Cetakan kedua 1984, hal. 18
[17] Hazairin, Op. Cit., hal. 33
[18] Yurisprudensi Jawa Barat;  Loc . Cit.,hal. 40.
[19] Yurisprudensi Jawa Barat;  Loc . Cit.,hal. 40.

No comments:

Post a Comment