PERAN
PAJAK DALAM PEMBANGUNAN NEGARA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pembangunan nasional adalah
kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan.
Pembangunan tersebut bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
kesejahteraan rakyat Indonesia secara adil, makmur dan merata. Agar tujuan
tersebut dapat terwujud maka dibutuhkan dana, yang salah satunya berasal dari
penerimaan pajak. Pajak merupakan pendapatan negara yang cukup potensial, untuk
mencapai tujuan pembangunan nasional. Penerimaan dari sektor pajak ternyata
salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Negara akan maju kalau pajak
tetap ada dan negara akan hancur kalau tidak ada pajak. Buktinya, kontribusi
pajak dalam APBN sejak tahun 2006 sampai tahun 2010 terus meningkat. Pada tahun
2006 saja kontribusi pajak sudah 56,5%, lalu tahun 2007 naik jadi 61,7%, tahun
2008 menjadi 70,3%, tahun 2009 menjadi 72,5% dan tahun 2010 hampir mencapai
80%, artinya bahwa kelangsungan hidup bernegara didominasi dan ditentukan dari
besarnya penerimaan pajak. Dari tahun ke
tahun terlihat bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil besar
dalam penerimaan negara, oleh sebab itu penerimaan dari sektor pajak selalu
dikatakan primadona dalam membiayai pembangunan nasional.
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang
digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak
dipungut dari warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang
dapat dipaksakan penagihannya. Pembangunan nasional Indonesia pada dasarnya
dilakukan oleh masyarakat bersama-sama pemerintah. Oleh karena itu peran
masyarakat dalam pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajibannya membayar pajak. Pajak
merupakan alternatif yang sangat potensial. Sebagai salah satu sumber
penerimaan Negara yang sangat potensial, sektor pajak merupakan pilihan yang
sangat tepat, selain karena jumlahnya yang relatif stabil juga merupakan
cerminan partisipasi aktif masyarakat dalam membiayai pembangunan. Jenis
pungutan di Indonesia terdiri dari pajak Negara (pajak pusat), pajak daerah,
retribusi daerah, bea dan cukai dan penerimaan Negara bukan pajak. Salah satu
pos Penerimaan Asli Daerah (PAD) dalam anggaran pendapatan belanja daerah
(APBD) adalah pajak daerah.
Untuk mengamankan penerimaan
negara dan meminimalisir wajib pajak menunggak dalam pembayaran pajaknya,
pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak melakukan tindakan penagihan
pajak yang dilindungi oleh payung hukum berupa Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Pelunasan utang pajak merupakan salah satu
tujuan penting dari pemberlakuan undang-undang ini. Penagihan pajak yang
efektif merupakan sarana yang tepat untuk mencapai target penerimaan pajak yang
maksimal. Apabila kekurangan pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan
Pajak dan Surat Tagihan Pajak tersebut sampai dengan jatuh tempo, maka
penagihan pajak dianggap perlu untuk dilaksanakan sebagai salah satu upaya
pencapaian penerimaan pajak. Adapun dalam pelaksanaan penagihan pajak tersebut
turut melibatkan peran aktif dari aparatur pajak yang biasa disebut fiskus.
B.
Perumusan Masalah
1. Apa yang menjadi dasar hukum pemerintah
dalam memungut pajak?
2. Bagaimana peran pajak dalam pembangunan
Negara?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar
Hukum Pemerintah dalam Pemungutan Pajak
Pada dasarnya pajak
merupakan salah satu perwujudan dan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana
peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Dalam
hal ini pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk menjalankan roda
pemerintahan demi menjamin kelangsungan hidup serta meningkatkan mutu kehidupan
bangsa Indonesia yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang 1945 yang
bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
turut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia. Oleh karena itu sangat penting kita simak
beberapa pengertian pajak di bawah ini yang dikemukakan oleh para ahli dalam
bidang perpajakan yang memberikan pengertian yang berbeda namun pada inti dan
tujuannya sama.
1. Menurut undang-undang No. 6 tahun 1983 sebagaimana diubah dengan
undang-undang No. 6 tahun 2007: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
“Pajak
adalah iuran kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi), yang
langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Dasar hukum melakukan
tindakan penagihan pajak adalah antara lain:
1.
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah berulang kali diubah dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 selanjutnya disebut UU KUP.
2.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2000 selanjutnya disebut UU PPSP.
3.
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 23/PMK/.03.2008 sebagaimana yang telah diubah dengan
Nomor 83/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak.
4.
Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penagihan Seketika Dan Sekaligus Dan Pelaksanaan Surat Paksa.
5.
Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 562/KMK.04/2000 Tentang
Syarat-Syarat, Tata Cara Pengangkatan Dan Pemberhentian Juru Sita Pajak.
6.
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 sebagaimana yang telah diubah dengan
Nomor 84/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak.
7.
Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 24/PMK.03/2008 sebagaimana yang telah
diubah dengan Nomor 85/PMK.03/2010 Tentang Perubahan Atas Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa Dan Pelaksanaan Penagihan Seketika Dan
Sekaligus.
8.
Peraturan
Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 Tentang Prosedur Penerbitan Kembali Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Dan
Atau Surat Tagihan Pajak.
9.
Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-82/PJ/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-36/PJ/2010 Tentang Prosedur
Penerbitan Kembali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Dan Atau Surat Tagihan Pajak.
Menurut pendapat para ahli penagihan
pajak dapat didefinisikan menurut Muhammad
Rusjdi[2]:
”Penagihan pajak adalah perbuatan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak
karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-undang pajak, khususnya
mengenai pembayaran pajak yang terutang.” Definisi lain menurut Mardiasmo[3]:
“Penagihan pajak adalah kegiatan yang dilakukan oleh fiskus karena Wajib Pajak
tidak mematuhi ketentuan Undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran
pajak yang terutang, penagihan pajak meliputi kegiatan, perbuatan dan
pengiriman surat peringatan, surat teguran, surat paksa, penyitaan, lelang,
pencegahan dan penyanderaan.”
Berdasarkan definisi di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa penagihan pajak adalah perbuatan yang
dilakukan Direktorat Jenderal Pajak atau fiskus karena Wajib Pajak tidak
mematuhi ketentuan Undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak
dengan melaksanakan pengiriman surat peringatan, surat teguran, surat paksa,
penyitaan dan pelelangan.
Dasar penagihan pajak,
antara lain:
1.
Surat
Tagihan Pajak (STP)
STP diterbitkan apabila
pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, Wajib Pajak
dikenakan sanksi administrasi berupa denda administrasi dan/atau bunga. Dari
hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak
sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung. Surat Tagihan Pajak mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
SKPKB diterbitkan terhadap wajib pajak yang nyata-nyata atau berdasarkan
hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan kewajiban material Perpajakan.
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
SKPKBT dapat diterbitkan Dirjen Pajak dalam jangka waktu 10 tahun
sesudah saat terutang pajak, apabila ditemukan data baru dan atau data yang
semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
4.
Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Apabila utang pajak yang tercantum dalam Surat Ketetapan di atas
tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, maka
dapat segera dilaksanakan tindakan penagihan aktif.
Istilah-istilah yang
berhubungan dengan Penagihan Pajak :
a. “ Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan oleh juru sita agar
Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur
atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,
melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. (UU PPSP Pasal 1
ayat ( 9) ).
b. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung
jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. (UU PPSP Pasal 1 ayat (3) ).
c. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat
ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. (UU PPSP Pasal 1 ayat (8) ).
d. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa
Penilai dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak. (UU PPSP Pasal 1
ayat (13) ).
e. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak
yang dilaksanakan oleh Juru sita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal
jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis
pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak. (UU PPSP Pasal 1 ayat (11) ).
f. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak. (UU PPSP Pasal 1 ayat (12) ).
g. Pencegahan adalah larangan bersifat sementara terhadap Penanggung
Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasar
alasan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (UU PPSP Pasal 1
ayat (20) ).
h. Penyitaan adalah tindakan Juru sita Pajak untuk menguasai barang
Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan
perundang-undangan.(UU PPSP Pasal 1 ayat (14) ).
i.
Penyanderaan
adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya
di tempat tertentu. (UU PPSP Pasal 1 ayat (21) ).
j.
Lelang
adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara
lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.
(UU PPSP Pasal 1 ayat (17) ).”
Tindakan penagihan pajak
dilakukan apabila pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan
Pajak (STP), SKPKB, SKPKBT, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan
pajak yang harus dibayar bertambah, tidak atau kurang bayar setelah lewat
tanggal jatuh tempo pembayaran pajak yang bersangkutan. Dalam bidang
administrasi perpajakan dikenal beberapa bentuk tindakan penagihan yaitu
penagihan pasif, penagihan aktif dan penagihan dengan surat paksa.
1) Penagihan Pasif
Penagihan pasif adalah
tindakan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan cara memberikan
himbauan kepada Wajib Pajak agar melakukan pembayaran pajak sebelum tanggal
jatuh tempo. Penagihan pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak
(STP), SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak terutang menjadi lebih besar.
Penagihan pasif merupakan tugas pengawasan fiskus atau kepatuhan Wajib Pajak
dalam melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
2) Penagihan
Aktif
Penagihan aktif adalah
penagihan yang didasarkan pada STP, SKPKB, SKPKBT yang jatuh temponya telah
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yaitu 1 bulan
terhitung mulai dari STP, SKPKB, SKPKBT diterbitkan. Penagihan aktif ini
merupakan kelanjutan dari penagihan pasif, oleh sebab itu dalam upaya penagihan
ini fiskus berperan aktif, dalam arti tidak hanya mengirim STP atau SKP tetapi
juga akan diikuti dengan tindakan dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.
B. Peran
Pajak dalam Pembangunan Negara
Pelaksanaan penagihan pajak
yang tegas, konsisten dan konsekuen diharapkan akan dapat membawa pengaruh
positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayarkan hutang pajaknya. Hal
ini merupakan posisi strategis dalam meningkatkan penerimaan negara dari sektor
pajak sehingga tindakan penagihan pajak tersebut dapat menyelamatkan penerimaan
pajak yang tertunda. Kegiatan penagihan pajak merupakan ujung tombak dalam
menyelamatkan penerimaan Negara yang tertunda, oleh sebab itu seksi penagihan
merupakan
seksi produksi yang paling dibanggakan oleh Direktorat Jenderal
Pajak. Dalam pelaksanaannya penagihan pajak haruslah dilandaskan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga mempunyai kekuatan hukum baik bagi
Wajib Pajak maupun aparatur pajaknya.
Fungsi pajak menurut Mardiasmo[4]
adanya 2 fungsi pajak, yaitu:
1.
Fungsi
Penerimaan (Budgeteir)
Pajak berfungsi sebagai
sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran
pemerintah.
2.
Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat
untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.”
Contoh:
a.
Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang
mewah untuk menekan perilaku
konsumtif masyarakat.
b.
Tarif pajak yang tinggi dikenakan terhadap Film
impor (Hollywood) agar masyarakat lebih mencintai Seni dan Budaya Indonesia,
khususnya Film dalam negeri.
Berdasarkan fungsi pajak
tersebut maka dengan adanya pajak yang dipungut oleh pemerintah maka hal ini
akan sangat membantu pembangunan Negara, karena dengan pajak tersebut sumber
dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah
dalam pembangunan Negara terbantu dengan adanya pajak.
Masalah perpajakan tidaklah
sederhana hanya sekedar menyerahkan sebagian penghasilan atau kekayaan
seseorang kepada negara, tetapi coraknya bermacam-macam tergantung pada
pendekatannya. Jenis pajak menurut Wirawan
B. Ilyas[5]
dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu menurut sifat, sasarannya dan lembaga
pemungutnya:
1. Menurut sifat
a.
Pajak
langsung, adalah pajak yang pembebanannya harus dipikul sendiri oleh Wajib
Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain, serta dikenakan secara
berulang-ulang pada waktu tertentu.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
b.
Pajak tidak
langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada orang lain
dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu
saja. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai
(PPN).
2. Menurut Sasarannya
a.
Pajak
subyektif, adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memerhatikan
keadaan pribadi Wajib Pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjeknya
barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat
dikenakan pajak atau tidak. Contoh:
Pajak Penghasilan (PPh).
b.
Pajak
objektif, adalah jenis pajak yang dikenakan pertama-tama memerhatikan/melihat
objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan
timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya barulah dicari
subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
3. Menurut lembaga pemungut
a.
Pajak pusat
(negara), adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh Departemen Keuangan khususnya Dirjen Pajak. Hasil dari
pemungutan pajak pusat dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari
penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Contoh: PPh, PPN, PPn BM dan sebagainya.
b.
Pajak daerah,
adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya
sehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Hasil dari
pemungutan pajak daerah dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).” Sesuai Undang-undang no.18
tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan UU no. 34 tahun 2000. Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak
reklame, dll.
Untuk mencapai tujuan
pemungut pajak perlu memegang teguh asas pemungutan dalam memilih alternatif
pemungutannya. Maka terdapat keserasian pemungut pajak dengan tujuan dan asas
yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu.
Asas-asas pemungut pajak
menurut Waluyo[6]
menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada :
1. Equality Pemungutan
pajak harus bersifat adil dan merata yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi
yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan
sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak
menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan
dan manfaat yang diminta.
2. Certainty Penetapan
pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus
mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar,
serta batas waktu pembayaran.
3. Convenience Kapan
Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang
tidak menyulitkan Wajib Pajak, sebagai contoh pada saat Wajib Pajak memperoleh
penghasilan.
4. Economy Secara
ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak
diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak.
Agar pemungutan pajak tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka menurut Waluyo[7] pemungutan pajak harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1.
Pemungutan
pajak harus adil (syarat keadilan).
Sesuai dengan tujuan hukum,
yakni mencapai keadilan. Undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil.
Adil dalam perundang-undangan di antaranya mengenakan pajak secara umum dan
merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam
pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada
pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang (syarat yuridis).
Di Indonesia, pajak diatur
dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk
menyatakan keadilan, baik Negara maupun warganya.
3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi).
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan
produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian
masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial).
Sesuai fungsi budgeteir,
biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil
pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
Sistem pemungutan sederhana
akan memudahkan dalam mendorong masyarakat untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang
baru.
Contoh:
a. Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif,
yaitu 10%.
b. Bea meterai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam
tarif, yaitu Rp 6000 dan Rp 3000.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Dasar hukum melakukan
tindakan penagihan pajak adalah Undang-undang No. 19 tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Undang-undang ini mulai berlaku tanggal 23
Mei 1997. Undang-undang ini kemudian diubah dengan Undang-undang No. 19 tahun
2000 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Pelaksanaan penagihan pajak
yang tegas merupakan posisi strategis dalam meningkatkan penerimaan negara dari
sektor pajak. Kegiatan penagihan pajak merupakan ujung tombak dalam
menyelamatkan penerimaan Negara yang tertunda. Dalam pelaksanaannya penagihan
pajak haruslah dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sehingga mempunyai kekuatan hukum baik bagi Wajib Pajak maupun aparatur
pajaknya. Berdasarkan fungsi pajak maka dengan adanya pajak yang dipungut oleh
pemerintah maka hal ini akan sangat membantu pembangunan Negara, karena dengan
pajak tersebut sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan
pengeluaran-pengeluaran pemerintah dalam pembangunan Negara terbantu dengan
adanya pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Wirawan B., 2007, Hukum
Pajak, Jakarta: Salemba Empat.
Mardiasmo,2009, Pajak dan
Perpajakan, Yogyakarta: Andi.
Rusjdi, Muhammad, 2007, PPh
Pajak Penghasilan, Jakarta: Indeks.
Waluyo,
2008, Akuntansi Pajak, Jakarta:
Salemba Empat.
Terimakasih
ReplyDelete