Saturday, September 17, 2016

MAKALAH PERTANGGUNGJAWABAN DAN ITIKAD BAIK PENGURUS YAYASAN BERDASARKAN UU NO. 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

PERTANGGUNGJAWABAN DAN ITIKAD BAIK PENGURUS YAYASAN  BERDASARKAN UU NO. 28 TAHUN 2004 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UU NO. 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masyarakat selalu berkembang dengan dinamis dari waktu ke waktu dalam berbagai aktivitas. Interaksi sosial antara anggota masyarakat telah menimbulkan hubungan hukum. Dalam konteks inilah eksistensi hukum sangat signifikan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang tercipta dalam masyarakat, walaupun terkadang hukum cenderung tertinggal oleh perkembangan masyarakat.  Fenomena ini dapat dilihat dalam pengaturan hukum tentang yayasan. Dalam kurun waktu yang cukup lama pasca kemerdekaan Republik
Indonesia, pendirian yayasan di Indonesia hanya berdasarkan atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Yayasan pada dasarnya merupakan suatu badan hukum yang mempunyai
maksud dan tujuan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang. Di Indonesia yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor : 16 Tahun 2001 Jo. UU Nomor : 28 Tahun 2004 tentang Yayasan menyatakan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Menurut Rochmat Soemitro mengemukakan bahwa yayasan merupakan suatu badan usaha yang lazimnya bergerak di bidang sosial dan bukan menjadi tujuannya untuk mencari keuntungan, melainkan tujuannya ialah untuk melakukan usaha yang bersifat sosial.[1] 
Yayasan diwakili oleh Pengurus yang diberikan kewenangan dan tanggung jawab
untuk itu, meskipun maksud dan tujuan dari yayasan itu ditetapkan oleh orang-orang yang
selanjutnya berdiri di luar yayasan tersebut.[2] Ini dikarenakan Yayasan bukanlah milik pendiri maupun pengurus, melainkan keberadaan yayasan ditujukan bagi sekelompok orang yang mendapat manfaat karena diberi bantuan atau sumbangan.[3] Di sisi lain, kelangsungan
hidup yayasan bergantung pada dana. Harta yang dipisahkan oleh pendiri sebagai modal
awal, sering kali jumlahnya sangat kecil bila dibandingkan dengan tujuan sosial yang akan
dicapai, sehingga modal itu tidak selamanya cukup untuk membiayai operasional yayasan.
Secara finansial, kehidupan yayasan akan bergantung pada sumbangan donatur, bantuan dana
dari lembaga lain, maupun fasilitas dari pemerintah. Besarnya dana bantuan yang diperoleh
itu dapat membuka peluang untuk disalahgunakan. Peran pengurus menjadi sangatlah vital,
karena yayasan sebagai badan hukum memerlukan pengurus yang bertindak untuk dan atas
nama yayasan, termasuk mengelola harta kekayaan yayasan dalam mencapai tujuan pendirian
yayasan tersebut.
B.     Perumusan Masalah
1.      Bagaimana pertanggungjawaban pengurus yayasan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan?
2.      Bagaimana UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan mengatur itikad baik pengurus yayasan?



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pertanggungjawaban Pengurus Yayasan Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, istilah Yayasan adalah badan atau organisasi yang bergerak di bidang sosial, keagamaan dan pendidikan yang bertujuan tidak mencari keuntungan. menurut Paul Scholten, yang di maksud dengan Yayasan adalah:  “Suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak. Pernyataan itu harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu, dengan penunjukan bagaimanakah kekayaan itu diurus dan digunakan”.[4]
UU No. 28 Tahun 2004 tidak mengganti UU No. 16 Tahun 2001, Perubahan hanya mengubah sebagian Pasal-Pasal dari UU No. 16 Tahun 2001. Dinamika perkembangan peraturan tentang Yayasan yang cepat ini menunjukkan bahwa masalah Yayasan tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang, di mana undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.  Tujuan dari Undang – Undang ini, memberikan pemisahan antara peran yayasan dan peran suatu badan usaha yang didirikan, dalam hal ini yayasan sebagai pemegang saham dalam suatu badan usaha tersebut karena adanya penyertaan modal maksimal 25% dari kekayaan yayasan, agar tidak terjadi benturan kepentingan dan tumpang tindih kepentingan, terlebih bila terjadi masalah yang timbul jika ada larangan terhadap organ yayasan.[5]
Menurut Scholten,[6] Yayasan adalah badan hukum yang mempunyai harta kekayaan sendiri yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan, mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai organ Yayasan. Menurutnya, yayasan adalah badan hukum yang memenuhi unsur-unsur:
a. Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari perbuatan hukum pemisahan
b. Mempunyai tujuan sendiri (tertentu)
c. Mempunyai alat perlengkapan (organisasi) .
Hukum perdata mensyaratkan beberapa aspek dalam mendirikan yayasan pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain:[7] Aspek materiil (pemisahan kekayaan, tujuan yang jelas, ada organisasi pengurus), dan aspek formil (pendirian dalam akta otentik). Menurut Utrecht seperti dikutip oleh Moh. Soleh Djindang menjelaskan yayasan sebagai tiap kekayaan (vermogen) yang tidak merupakan kekayaanorang melainkan kekayaan badan hukum yang diberi tujuan tertentu. Yayasan menjadi badan hukum tanpa anggota, tetapi memiliki pengurus (bestuur) yang mengurus kekayaan dan penyelenggaraan tujuannya.[8] Tidak dikenalnya anggota dalam yayasan erat hubungannya dengan tujuan dan fungsi sosial yayasan. Menurut Rudhi Prasetya di dalam suatu yayasan tidak perlu ada anggota, hanya harus ada pengurus yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan yayasan.[9]
Yayasan diwakili oleh Pengurus yang diberikan kewenangan dan tanggung jawab
untuk itu, meskipun maksud dan tujuan dari yayasan itu ditetapkan oleh orang-orang yang
selanjutnya berdiri di luar yayasan tersebut.[10] Ini dikarenakan Yayasan bukanlah milik pendiri maupun pengurus, melainkan keberadaan yayasan ditujukan bagi sekelompok orang
yang mendapat manfaat karena diberi bantuan atau sumbangan.[11]Di sisi lain, kelangsungan hidup yayasan bergantung pada dana. Harta yang dipisahkan oleh pendiri sebagai modal
awal, sering kali jumlahnya sangat kecil bila dibandingkan dengan tujuan sosial yang akan
dicapai, sehingga modal itu tidak selamanya cukup untuk membiayai operasional yayasan.
Secara finansial, kehidupan yayasan akan bergantung pada sumbangan donatur, bantuan dana
dari lembaga lain, maupun fasilitas dari pemerintah. Besarnya dana bantuan yang diperoleh
itu dapat membuka peluang untuk disalahgunakan. Peran pengurus menjadi sangatlah vital,
karena yayasan sebagai badan hukum memerlukan pengurus yang bertindak untuk dan atas
nama yayasan, termasuk mengelola harta kekayaan yayasan dalam mencapai tujuan pendirian
yayasan tersebut.[12]
Oleh karena itu, dalam rangka menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat, maka pada tanggal 6 Agustus Tahun 2001 dibentuklah undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang mulai berlaku 1(satu) tahun kemudian terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 6 Agustus 2002, dan kemudian pada tanggal 4 Oktober 2004 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 disahkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan. 
2.      Itikad Baik Pengurus Yayasan Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
Tolak ukur itikad baik Pengurus ini penulis simpulkan berdasarkan kajian terhadap
pasal-pasal dalam UU Yayasan, khususnya yang berkaitan dengan Pengurus Yayasan. Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik bila sesuai dengan fiduciaryduty, Anggaran Dasar dan UU Yayasan, serta tidak bertentangan dengan ketertiban umumdan kesusilaan.
UU Yayasan pada Pasal 35 ayat (2) menekankan adanya itikad baik Pengurus dalam kepengurusan Yayasan, yaitu : “Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan
penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa di antara Yayasan dan Pengurus terdapat hubungan kepercayaan (fiduciary relationship) yang menjadi dasar timbulnya fiduciary duty bagi Pengurus tersebut.Hubungan fidusia (fiduciary relationship) melandasi terjadinya hubungan hukum dengan standar perilaku yang mendasarkan dirinya pada nilai-nilai etika masyarakat. Pemberian kepercayaan untuk mengemban fiduciary duty itu didasarkan pada fiduciary capacity dariPengurus tersebut. Hal ini menjadikan fiduciary duty sebagai tolak ukur pertama. Pengurus harus bona fideuntuk kepentingan yayasan secara keseluruhan, sesuai dengan tujuan dan maksud yayasan, serta bukan untuk kepentingan pribadi pengurus. Pengurus harus memiliki kualifikasi itikad baik yang ditekankan pada substantive specity standar perilaku. Hubungan kepercayaan (fiduciary relationship) antara Yayasan dan Pengurus merupakan hubungan dimana Pengurus berkewajiban bertindak untuk kepentingan Yayasan sebatas lingkup hubungan kepercayaan tersebut. Batasan ini dituangkan dalam Anggaran Dasar Yayasan dan menjadikan tanggung jawab pengurus juga terbatas padaAnggaran Dasar tersebut.[13]
Inilah yang disebut dengan limited liability and duties (kewajiban dan tanggung jawab yang terbatas). Berdasarkan UU Yayasan, Pengurus dilarang mengikat Yayasan sebagai penjamin utang, mengalihkan Yayasan tanpa persetujuan Pembina, dan membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain.
Guna menjaga fiduciary duty dan fiduciary relatonship dan menghindari conflict of interest, maka UU Yayasan melarang Pengurus untuk rangkap jabatan dan menerima kompensasi yang dapat dinilai dengan uang. Mengenai rangkap jabatan, pengurus dilarang :
1)  merangkap sebagai Anggota Direksi (Pengurus), Anggota Dewan Komisaris (Pengawas)
dari badan usaha yayasan (Pasal 7 ayat (3) UU Yayasan);
2)Merangkap sebagai Pembina atau Pengawas. Ini dimaksudkan untuk menghindari konflik internal Yayasan (Pasal 31 ayat (3) UU Yayasan).
Mengenai larangan rangkap jabatan tersebut, hal berbeda berlaku bagi Pendiri
Yayasan. UU Yayasan tidak melarang diangkatnya Pengurus dari Pendiri. Hal ini didasarkan
pada klausul Pendiri dapat diangkat sebagai Pembina, Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan : Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan : Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan bahwa Pendiri Yayasan tidak dengan sendirinya harus menjadi Pembina. Anggota Pembina dapat dicalonkan oleh Pengurusatau Pengawas, sehingga dimungkinkan ada pendiriyang tidak diangkat sebagai Pembina. Pendiri yang tidak diangkat sebagai Pembina ini justru dapat diangkat sebagai Pengurus. Keadaan ini bisa menimbulkan conflict of interest, khususnya mengenai harta kekayaan Pendiri yang dipisahkan di awal pendirian yayasan. Bila kemudian hari Pendiri yang menjadi Pengurus itu, atau ahli warisnya menghendaki untuk mengambil kembali kekayaan yang dipisahkan tersebut, maka akan terjadi benturan antara kepentingan pribadi Pengurus tersebut dan Yayasan.
Selanjutnya mengenai larangan menerima kompensasi yang dapat dinilai dengan
uang, Pengurus dilarang: (Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan)
1) Menerima hasil kegiatan usaha yang diperoleh dari pendirian badan usaha Yayasan;
2) Menerima gaji, upah, honorarium, maupun bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang.
Kegiatan Yayasan adalah untuk sosial, kemanusiaan dan keagamaan, sehingga kekayaan yayasan tidak boleh dipindah tangankan pada siapa pun juga selain untuk tujuan
idiil dan sosial (tenzij de uit keringen een idieele of sociale strecking hebben). Bahwa untuk
mencapai tujuan yayasan itu pengelolaannya dapat diserahkan pada suatu badan hukum yang
telah ada maupun badan hukum baru guna keperluan pencapaian tujuan yayasan tersebut.[14] Oleh karena itu kegiatan usaha Yayasan haruslah menunjang tercapainya maksud dan tujuan
Yayasan tersebut, bukan sebaliknya.
Tolak ukur kedua adalah Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik bila tidak
bertentangan dengan Undang-undang Yayasan dan Anggaran Dasar. Di samping UU Yayasan, kewenangan bertindak Pengurus dibatasi pula oleh maksud dan tujuan Yayasan di
dalam Anggaran Dasar. Anggaran Dasar hanya dapat diubah sesuai dengan aturan dalam
Anggaran Dasar itu sendiri. Jika ketentuan mengenai perubahan tersebut tidak diatur dalam
Anggaran Dasar, maka Undang-undang Yayasan mengatur mengenai perubahan Anggaran
Dasar ini.[15]
Berdasarkan Pasal 71 UU Yayasan, Yayasan yang telah ada sebelum UU Yayasan,
harus menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan UU Yayasan. Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia, atau telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait, tetap diakui sebagai badan hukum dengan syarat bahwa Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan UU Yayasan paling lambat tanggal 6 Oktober 2008. Penyesuaian ini wajib diberitahukan kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian. Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu
yang telah ditetapkan, tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya dan dapat
dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan / pihak yang berkepentingan. Pada saat UU Yayasan mulai berlaku, Anggaran Dasar Yayasan yang belum
disesuaikan dengan UU Yayasan, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Yayasan.
Bila Anggaran Dasar Yayasan telah sesuai atau tidak bertentangan dengan UU Yayasan, maka pengurus harus menjalankan tugas sesuai dengan Anggaran Dasar dan UU
Yayasan tersebut. Pelaksanaan tugas tersebut terkait dengan kewajiban dan hak pengurus,
sanksi terhadap pengurus, dan perkecualian-perkecualian yang membebaskan pengurus dari
tanggung jawab. Di satu sisi, pengurus berhak mendapatkan kembali biaya atau ongkos yang
dikeluarkannya dalam rangka menjalankan tugas Yayasan (Pasal 6 UU Yayasan). Di sisi lain kewajiban-kewajiban pengurus yang termaktub di dalam UU Yayasan adalah:
a) Pengurus bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap perbuatan hukum yang
dilakukan oleh Pengurus atas nama Yayasan sebelum Yayasan memperoleh status badan
hukum menurut Undang-undang Yayasan.
b) Pengurus dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu pendirian kepada Menteri paling
lambat 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu pendirian Yayasan yang didirikan untuk jangka waktu tertentu.
c) Pengurus menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai penggantian Pengurus kepada
Menteri paling lambat 30 (tiga) puluh hari sejak tanggal penggantian tersebut.
d) Pengurus mengemban asas persona standi in judicio.
e) Pengurus dan anggota Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat Pembina, bila Yayasan tidak lagi mempunyai Pembina.
f) Pengurus bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kepailitan yang diakibatkan kesalahan / kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut.
Terhadap pasal ini terbuka interpretasi bahwa tanggung jawab secara tanggung renteng dilakukan oleh Pengurus hanya bila kekayaan yayasan tidak cukup untuk menutup
kerugian akibat kepailitan tersebut. Seharusnya klausul “dan kekayaan yayasan tidak cukup
untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut” dalam Pasal 39 ayat (1) dihapus sehingga
pasal ini mendukung ketentuan dalam pasal 35 ayat (5).
Berdasarkan pasal 35 ayat (5) ini, maka anggota Pengurus yang terbukti bersalah atau
lalai mengakibatkan kepailitan yayasan, dibebani tanggung jawab secara tanggung renteng.
Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kepailitan yayasan tersebut adalah suatu keadaan
dimana yayasan tersebut tidak mampu lagi untuk membayar hutang-hutangnya (bangkrut)
berdasarkan putusan hakim. Dengan demikian, bila yayasan telah dinyatakan pailit berarti
kekayaan yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan, sehingga klausul
“dan kekayaan … kepailitan tersebut” dalam Pasal 39 ayat (1) tidak diperlukan.
UU Yayasan juga memberikan beberapa perkecualian bagi Pengurus :
a) Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium bila Pengurus Yayasan tersebut bukan
pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas serta melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh. Penentuan mengenai gaji, upah, atau honorarium ini ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan kemampuan kekayaan Yayasan dan dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar.
b) Anggota Pengurus tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian
Yayasan, bila yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya.
c) Organisasi yang terafiliasi dengan Pengurus dapat mengadakan perjanjian dengan Yayasan
dengan syarat perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan Yayasan.
Sebuah yayasan tidak dapat begitu saja dibubarkan bila pengurus melakukan kesalahan atau kelalaian. Sangsi diberikan hanya karena pengurus terbukti menerima kontra
prestasi dari yayasan. Sangsi dalam UU Yayasan meliputi :
a) Anggota Pengurus yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan, tidak dapat
diangkat menjadi Pengurus Yayasan manapun dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
b) Anggota Pengurus yang menerima gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang
dapat dinilai dengan uang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan Yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Tolak ukur ketiga adalah Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik bila tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini dikarenakan tujuan yayasan
adalah sosial dan kemanusiaan, serta keberadaan yayasan ditujukan bagi sekelompok orang di
luar yayasan yang mendapat manfaat karena diberi bantuan atau sumbangan. Adanya manfaat
dalam kegiatan yayasan merupakan suatu keharusan, karena yayasan bersifat sosial dan idiil
dan kegiatannya ditujukan untuk tujuan sosial dan idiil itu sendiri. Pemilihan nama yayasan
harus dilakukan dengan cermat, karena Yayasan tidak boleh memakai nama yang bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Yayasan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hubungan kepercayaan (fiduciary relationship) antara Yayasan dan Pengurus menjadi dasar timbulnya fiduciary duty bagi Pengurus tersebut. Secara teoritis, fiduciary capacity untuk mengemban fiduciary duty itu dapat dilihat dari fakta bahwa kekayaan yang diurus tersebut bukanlah miliknya, namun suatu tanggungjawab yang dipercayakan kepadanya.



BAB III
PENUTUP
Simpulan

Yayasan diwakili oleh Pengurus yang diberikan kewenangan dan tanggung jawab
untuk itu, meskipun maksud dan tujuan dari yayasan itu ditetapkan oleh orang-orang yang
selanjutnya berdiri di luar yayasan tersebut.  Ini dikarenakan Yayasan bukanlah milik pendiri maupun pengurus, melainkan keberadaan yayasan ditujukan bagi sekelompok orang yang mendapat manfaat karena diberi bantuan atau sumbangan. Jadi batas pertanggungjawaban pengurus hanya sebatas pada apa yang menjadi kewenangannya.
Pengurus dapat dikatakan menjalankan tugas dengan itikad baik bila sesuai dengan fiduciary duty, Anggaran Dasar dan UU Yayasan, serta ketertiban umum dan kesusilaan. Tetapi larangan rangkap jabatan dan pemberian kontra prestasi ternyata tidak dapat dijadikan cerminan terlaksananya fiduciary duty. Berdasarkan fakta empirik, pengurus yayasan telah
terikat dengan limited liability and duties di dalam Anggaran Dasar dan UU Yayasan, sehingga walau terjadi rangkap jabatan dan pengurus menerima kontra prestasi, namun pengurus tetap mengemban fiduciary duty dan terbukti berhasil mencapai maksud dan tujuan
yayasan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan teori harta kekayaan bertujuan.



DAFTAR PUSTAKA
Soemitro. Rochmat. 1989. Yayasan, Status Hukum dan Sifat Usaha. Jakarta.
Ali, Chidir.1999. Badan Hukum. Penerbit Alumni. Bandung.
Soemitro, Rochmat. 1993. Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf. PT. Eresco. Bandung.
Wahyono, Boedi dan Suyud Margono. 2001. Hukum Yayasan Antara Fungsi Kariatif atau Fungsi Sosial. Novindo Pustaka Mandiri. Jakarta.
Raharjo, Hendri. 2009. Hukum Perusahaan, Pustaka Yustisia. Yogyakarta.
Untung, Budi. 2002. Reformasi Yayasan, Perspektif Hukum dan Manajemen. Penerbit ANDI. Yagyakarta.
Prasetya, Rudhi. 1996. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Rido, Ali. 2001. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperas i, Yayasan, Wakaf. Alumni. Bandung.
Chatamarrasjid-1. 2000. Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.




[1] Rochmat Soemitro, Yayasan, Status Hukum dan Sifat Usaha, Jakarta, 15 Desember 1989, hal. 9.
[2] Chidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal.65.
[3] Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, PT. Eresco, Bandung, 1993, hal. 162
[4] Op. Cit, Chidir Ali, Badan Hukum,....,hlm. 86.
[5] L. Boedi Wahyono dan Suyud Margono, Hukum Yayasan Antara Fungsi Kariatif atau Fungsi Sosial, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001, hlm. 8.
[6] Hendri Raharjo, Hukum Perusahaan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hlm. 18.
[7] Budi Untung et. al, Reformasi Yayasan, Perspektif Hukum dan Manajemen, Penerbit ANDI, Yagyakarta, 2002, hal. 17-19
[8] Op. Cit, Chidir Ali, Badan Hukum,....,hlm. 64.
[9] Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 35
[10] Op. Cit, Chidir Ali, Badan Hukum,....,hlm. 65.
[11] Op. Cit, Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas....., hal. 162
[12] Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperas i, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, 2001, hal. 2.

[13] Chatamarrasjid-1, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
[14] Op. Cit, Chidir Ali, Badan Hukum,....,hlm. 88-89.
[15] Op. cit, Chatamarasjid-3, hal. 194