Saturday, September 17, 2016

MAKALAH DAN JURNAL HUKUM PENAFSIRAN SISTEMATIS TERHADAP KONSEP “ ANAK BERHAK UNTUK MENGETAHUI ORANG TUANYA” DALAM PASAL 7 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

PENAFSIRAN SISTEMATIS TERHADAP KONSEP “ ANAK BERHAK UNTUK MENGETAHUI ORANG TUANYA” DALAM PASAL 7 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang dimiliki manusia sejak ia lahir yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Hak Asasi merupakan sebuah bentuk anugerah yang diturunkan oleh tuhan sebagai sesuatu karunia yang paling mendasar dalam hidup manusia yang paling berharga. Hak Asasi dilandasi dengan sebuah kebebasan setiap individu dalam menentukan jalan hidupnya, tentunya Hak asasi juga tidak lepas dari kontrol bentuk norma-norma yang ada. Hak-hak ini berisi tentang kesamaan atau keselarasan tanpa membeda-bedakan suku,golongan, keturunan, jabatan, agama dan lainnya antara setiap manusia yang hakikatnya adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan.
Hak anak adalah termasuk hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Konvensi Hak Anak yang merupakan bagian dari hukum internasional yang tertuang dalam Resolusi PBB 44/25 tanggal 20 November 1989, yang di mana konvensi ini memberikan kewajiban kepada negara pesertanya untuk  memberikan pemenuhan hak-hak bagi setiap anak, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak anak melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 yang diundangkan pada 5 Oktober 1990. Salah satu wujud pelaksanaannya adalah dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Di dalam UU No. 23 Tahun 2002 pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Ketentuan dalam UU No. 23 Tahun  2002 tidak mengatur lebih lanjut mengenai apa interpretasi kata “ setiap anak “ dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tersebut. Sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenai anak dan kedudukannya dalam keluarga diatur dalam pasal 42 sampai dengan pasal 44, dan mengenai anak ini di kualifikasi menjadi dua, yaitu anak sah dan anak tidak sah yang terdiri dari anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang.
Pemahaman secara partial mengenai anak dan hak-haknya menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 23 Tahun 2002, justru akan membingungkan. Apabila konsep “ setiap anak” berhak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri dihubungkan dengan konsep anak tidak sah dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka akan timbul permasalahan apakah seorang anak tidak sah dalam kualifikasi anak zinah, dapat ditafsirkan termasuk dalam kualifikasi “ setiap anak” yang dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dengan berdasarkan atas UU No. 23 Tahun 2002, padahal bapak biologisnya telah terikat perkawinan dengan perempuan lain. Untuk itu perlu diadakan studi yang mendalam agar dalam penerapan hukumnya telah didasarkan atas pemahaman yang jelas, dengan harapan dapat memberikan kontribusi positif baik bagi pengambilan kebijakan maupun bagi para praktisi dan warga masyarakat pada umumnya.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penafsiran “ setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya” dalam UU No. 23 Tahun 2002 jika dikaitkan dengan konsep UU No. 1 Tahun 1974?
2.      Bagaimana jika UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 1 Tahun 1974 dikaitkan dengan kasus machica mochtar?


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Penafsiran “Setiap Anak Berhak Mengetahui Orang Tuanya” dalam UU No. 23 Tahun 2002 Jika Dikaitkan dengan Konsep UU No. 1 Tahun 1974.

a.       Makna Penafsiran Sistematis
Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Salah satu dari metode penafsiran hukum adalah penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau perundang-undangan lain atau membaca penjelasan undang-undang sehingga mengerti maksudnya.
Kaidah-kaidah yang bersifat abstrak, peraturan-peraturan yang tidak tertujukan pada seorang atau orang-orang yang tertentu berkenaan dengan suatu hal yang konkrit, tetapi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak dan ditujukan kepada kumpulan hal yang tidak tertentu. Dalam hal ini kita dapat memahami bahwa salah satu masalah yang terpenting dari hukum adalah mengenai cara bagaimana peraturan-peraturan hidup yang abstrak itu harus dilaksanakan dalam hal-hal yang konkrit, yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Masalah itu adalah masalah tafsiran, pemecahan masalah ini tidak demikian sukarnya, apabila dalam suatu hal yang konkrit pelaksanaan dari hukum itu dengan suatu keharusan yang logis menunjukkan ke arah suatu hasil yang tertentu.[2] Namun kenyataanya tidak semudah itu, di mana terdapat kaidah-kaidah hukum yang menggunakan istilah-istilah yang kabur, sebagai itikad baik, menurut keadilan dan kepatutan, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat, bertentangan dengan kepentingan umum, semua istilah-istilah itu membutuhkan pemahaman lebih lanjut. Namun bahasan yang merupakan suatu yang hidup, karena senantiasa berubah, baik dipersempit maupun diperluas. Sehingga untuk memahami makna dari hukum atau undang-undang tersebut perlu dilakukan penafsiran hukum. Sehingga tujuan hukum dapat tercapai.



b.      Kualifikasi Anak dan Kedudukan Hukumnya
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur mengenai kedudukan anak ini dalam tiga pasal saja, yaitu pasal 42- pasal 44 UU No. 1 Tahun 1974. Kedudukan dalam aspek bahasa memiliki arti sebagai letak atau tempat seseorang, dan dalam aspek hukum kedudukan anak berarti suatu posisi (status) anak dalam keluarga, dalam aspek hubungannya dengan orang tua atau sebaliknya, sebagai akibat adanya perkawinan.[3]
Pengertian anak dapat  dijelaskan sebagai berikut:
1.      Pengertian dan kedudukan anak sah.
Seorang anak yang sah adalah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.[4] Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.  Pasal 42 Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan adanya suatu tenggang waktu untuk dapat menentukan kesahan seorang anak, seperti halnya dalam hukum adat, tetapi dalam hukum Islam maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada tenggang waktu kehamilan seorang ibu untuk dapat menyatakan kesahan seorang anak, antara lain:
1)      Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa berdasarkan pasal 255 KUH Perdata seorang anak yang lahir setelah lampau 300 hari sesudah perkawinan terputus, adalah tidak sah (unwettig), dengan kata lain anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari sesudah perkawinan putus adalah anak sah.
2)      Kemudian menurut Yuyunboll dalam Wirdjono Prodjodikoro dikatakan bahwa menurut Hukum Islam, si anak supaya dapat dikatakan anak dari suami ibunya, harus dilahirkan sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang iddah sesudah perkawinan putus.
3)       Seorang anak yang lahir sesudah perkawinan putus tetapi dalam tenggang yang sama dengan tenggang hamil yang biasa (8 atau 9 bulan), tetap dianggap anak dari bekas ibunya.[5]
Hukum adat tidak mengenal tenggang waktu sesudah perkawinan dengan dilahirkannya seorang anak artinya meskipun seorang anak lahir dalam waktu yang amat singkat sesudah pernikahan ibunya, maka suami tersebut tetap dianggap bapaknya.

Pembuktian anak sah berdasarkan keturunan dapat dibuktikan dengan akta kelahiran. Akta kelahiran membuktikan bahwa seorang anak yang namanya disebutkan di sana adalah keturunan dari orang-orang yang disebutkan di dalamnya.[6]
Dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2) Undang-undang Perkawinan dijelaskan  bahwa :
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Disebutkan bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Sementara itu mengenai kedudukan anak didasarkan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa anak sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa:
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetapan Pengadilan agama tersebut ayat (2), maka instansi pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.  
Pencatatan ini dibutuhkan pula sebagai bukti apabila terjadi masalah di kemudian hari, oleh karenanya setiap anak yang dilahirkan sebaiknya secepatnya didaftarkan sehingga mendapatkan akta kelahiran, yang dibuat di kantor catatan sipil, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan dan
Penyelenggaraan Catatan Sipil.
2.  Pengertian dan kedudukan anak tidak sah.
Mengenai anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, yang meliputi anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang. Dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” Pasal 43 Undang-undang Perkawinan yang menyebutkan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata ibunya dan keluarga ibunya, ini sesuai dengan dasar pemikiran Hukum Adat yang memberikan hak dan kewajiban anak terhadap ibunya dan keluarga ibu. Hal ini merupakan ketentuan nasional berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia baik asli maupun keturunan. Undang-undang Perkawinan dengan demikian memberikan status yang jelas dan pasti bagi seseorang anak luar kawin. 
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku prinsip bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa :  “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”.
Tentang pembuktian anak sah berdasarkan keturunan, hal ini diatur dalam Pasal 261 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa: “Keturunan anak-anak yang sah dapat dibuktikan dengan akta-akta kelahiran mereka, sekedar telah dibuktikan dalam register Catatan Sipil” Seorang anak yang lahir sebelum hari keseratus enam puluh (6 bulan) dari perkawinan, dapat diingkari oleh suami, sebagai anak luar kawin. Kecuali sebelum melakukan perkawinan suami istri tersebut telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu. Maka dengan pengakuan terhadap anak luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak dengan ayah atau ibunya.[7] Jadi menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata anak yang lahir atau dibesarkan selama perkawinan, walaupun anak itu benih orang lain adalah anak dari suami ibunya yang terikat perkawinan.
Anak yang lahir di luar perkawinan, misalnya seorang wanita yang mengandung kemudian melahirkan anak tanpa diketahui siapa bapak anak tersebut, maka anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya dan atau keluarga ibunya saja, dan tidak ada hubungan perdata dengan bapak biologisnya. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dilarang untuk menyelidiki siapa bapak anak tersebut sedangkan terhadap ibunya diperbolehkan.[8] Maka dapatlah dijelaskan bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang kedudukan anak hanyalah ditentukan tentang anak sah dan anak tidak
sah sebagaimana hal ini terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan.
Menurut Hilman Hadikusuma, masyarakat Hukum Adat berbeda dari masyarakat yang modern, di mana keluarga/rumah tangga dari suatu ikatan perkawinan tidak saja terdapat anak kandung, tetapi juga terdapat anak tiri, anak angkat, anak asuh, anak akuan dan sebagainya. Kesemua anak-anak itu ada sangkut pautnya dengan hak dan kewajiban orang tua yang mengurus dan memeliharanya, begitu pula sebaliknya. Kedudukan anak-anak tersebut pengaturannya juga berlatar belakang pada susunan masyarakat adat yang bersangkutan dan bentuk perkawinan orang tua yang berlaku. Bukan tidak jadi masalah tentang sah atau tidaknya anak. Hal mana dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat bersangkutan tetapi yang juga penting adalah menyangkut keturunan dan perwarisan.[9]
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan bahwa: 
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Agar seorang anak dianggap anak sah dari suami ibunya, maka harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang masa iddah (4 bulan 10 hari) sesudah perkawinan terputus.[10]
Seseorang anak yang lahir dalam tenggang waktu 6 bulan setelah pernikahan atau setelah perkawinannya terputus adalah anak tidak sah artinya anak tersebut tidak mempunyai hubungan dengan ayahnya, tetapi anak tersebut tetap mempunyai hubungan dengan ibu yang melahirkannya. Sedangkan kedudukan anak di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di atur dalam Pasal 27, di mana disebutkan bahwa:
(1)   Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada suatu keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui keberadaanya,  pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.
Di dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan juga bahwa:
(1) Pembuatan Akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.
(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukan permohonan.
(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Surat/akta lahir membuktikan bahwa seorang anak yang namanya disebutkan di sana adalah anak dari orang yang disebutkan dalam akta kelahiran yang bersangkutan paling tidak dari perempuan yang melahirkan anak itu, yang namanya disebutkan di sana. Akta kelahiran juga menyebutkan bahwa anak yang bersangkutan lahir pada hari dan tanggal tertentu. Saat kelahiran dihubungkan dengan status perkawinan dari perempuan yang melahirkan anak itu, menentukan hubungan anak itu dengan suami dari ibu anak itu.[11]
c.       Penafsiran Sistematis Terhadap Konsep “Setiap Anak Berhak Untuk Mengetahui Orang Tuanya” dalam UU No. 23 Tahun 2002 dengan UU No. 1 Tahun 1974.
Berdasarkan pada Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan”. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh orang tuanya sendiri. Hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya dalam arti asal usulnya, dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya. [12] Yang dimaksud dari “berhak mengetahui” yaitu:
1.      Berhak mengetahui siapa orang tuanya, siapa ayah dan/atau ibunya, beserta asal usulnya. Maka dari itu dapat disimpulkan arti orang tua adalah orang tua biologisnya yang secara hukum mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap anak kandungnya.
2.      Kata “berhak” dalam hal ini merupakan hak anak yang diberikan oleh undang-undang untuk mengajukan /menuntut gugatan ke Pengadilan.
Jadi dapat dilihat di sini bahwa ada hubungan timbal balik antara anak dengan orang tua, yaitu anak berhak mengetahui orang tuanya yaitu untuk memenuhi hak-haknya, sedangkan dengan mengetahui anaknya, undang-undang ini berharap agar anak patuh dan menghormati orang tuanya. Selanjutnya diatur bahwa anak berhak diasuh dan dibesarkan oleh orang tuanya sendiri sehingga undang-undang membebankan tanggung jawab tersebut kepada orang tuanya, adapun yang dimaksud dengan orang tua menurut Pasal 1 ayat (4) UU No. 23 tahun 2002 adalah ayah/ibu kandung, atau ayah/ibu tiri, atau ayah/ibu angkat.
Implementasi dari hak anak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri atas dasar pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tersebut di atas, dengan mengingat pengertian hak adalah sesuatu yang dapat dituntutkan atau dipertahankan terhadap orang lain, kemudian mekanismenya dengan menggunakan lembaga Pengadilan dan tujuannya agar ada kejelasan status hukum anak. Selanjutnya lembaga hukum yang dapat digunakan adalah pengakuan anak. Peristiwa pengakuan, pengesahan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam tetapi harus dilakukan di muka pegawai pencatatan, dengan percatatan dalam akta kelahiran, atau dalam akta perkawinan orang tuanya (yang berakibat pengesahan) atau dalam akta tersendiri dari pegawai pencatatan sipil.
Konsep setiap anak berarti mengandung pengertian ada  dua kualifikasi anak, yaitu anak sah dan anak tidak sah, anak tidak sah menurut KUH Perdata dibagi tiga yaitu anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang. Anak luar kawin adalah merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di luar perkawinan yang sah, dan dalam hal ini lembaga pengakuan anak dapat dipergunakan jika orang tuanya yang kandung itu atau ayahnya tidak sedang terikat dalam suatu ikatan perkawinan. Anak Zinah adalah Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah, antara laki-laki dan perempuan di mana salah satunya atau kedua-duanya terikat pernikahan dengan orang lain, sehingga lembaga pengakuan anak tidak dapat digunakan karena salah satu atau keduanya (orang tuanya) terikat dalam perkawinan. Sementara Anak Sumbang adalah Anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi. Dalam hal ini anak zinah dan anak sumbang sama sekali tidak dapat diakui, hal ini diatur dalam pasal 283 KUH Perdata, dengan demikian menurut versi KUH Perdata terhadap mereka tidak dapat dipergunakan lembaga pengakuan anak. Hal ini ditujukan untuk ketertiban hukum dalam masyarakat. Jadi ada kontradiksi antara UU No. 23 Tahun 2002 dengan konsepsi yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata, yang satu mengutamakan hak asasi manusia dalam hal ini hak anak, dan yang satu berdasar pada ketertiban hukum masyarakat. Menurut hemat penulis terkait masalah yang harus diutamakan adalah hak asasi manusia anak tidak sah atau prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam hukum keluarga dan perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan hakim yang mengadili kasus tersebut yang melihat dalam  keadaan mana anak dan orang tuanya tersebut.



2. Penafsiran sistematis terhadap konsep “setiap anak” berhak untuk mengetahui orang tuanya dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  jika dikaitkan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang diajukan Machica Mochtar.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.[13] Jika dikaitkan dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri” maka dengan demikian telah ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang dengan telah membebankan tanggung jawab tersebut kepada orang tua dari anak tersebut.[14] Adapun yang dimaksud dengan orang tua yang harus bertanggung jawab untuk itu adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat (Pasal 1 ayat (4) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Pengertian “setiap anak” yang dimaksud Pasal 7 ayat (1) akan menimbulkan multi tafsir karena dalam pengertian “setiap anak” tidak di jelaskan pengertian setiap anak tersebut adalah anak sah atau anak tidak sah yang terdiri dari anak luar kawin, anak zinah dan anak sumbang.
Jika pengertian “setiap anak” yang dimaksud menurut Pasal 7 ayat (1) adalah anak sah maka akan mudah dalam pelaksanaanya. Namun jika pengertian “setiap anak” yang dimaksud Pasal 7 ayat (1) juga termasuk anak tidak sah yang terdiri dari anak luar kawin, anak zinah dan anak sumbang maka akan sulit dalam pelaksanaannya karena bagi anak tidak sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan  ibu kandungnya dan keluarga ibu kandungnya saja (Pasal 43 ayat (1) uu no.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) sehingga sulit bagi anak tidak sah untuk menuntut kepada ayah biologisnya agar ia dibesarkan dan diasuh oleh ayah biologisnya, apalagi jika ayah biologisnya sudah terikat perkawinan dengan perempuan lain yang sah. Pasti akan menimbulkan kekacauan dan merusak perkawinan si ayah biologisnya.
Apabila yang diutamakan adalah perkawinan sah ayah biologisnya dengan perempuan lain maka hak asasi manusia anak tidak sah tersebut akan dilanggar. Namun jika yang diutamakan adalah hak asasi manusia anak tidak sah tersebut maka akan menimbulkan kekacauan dan ketidak-tertiban dalam masyarakat dan akan melanggar prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam hukum keluarga dan perkawinan. Sebagai contoh kasus dengan adanya judicil review terhadap Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi yang dilakukan oleh Machica Mochtar sebagai pemohon dan permohonannya dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi yang mana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa :
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.[15]
Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka anak tidak sah dapat menuntut kepada ayah biologisnya agar ia dibesarkan dan diasuh oleh ayah biologisnya meskipun akan merusak pekawinan ayah biologisnya dengan perempuan lain yang sah dan juga akan menimbulkan kekacauan dan ketidak-tertiban dalam masyarakat dan akan melanggar prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam hukum keluarga dan perkawinan. Terkait masalah yang harus diutamakan adalah hak asasi manusia anak tidak sah atau prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam hukum keluarga dan perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan hakim yang mengadili kasus tersebut.






















BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Maksud dari “berhak mengetahui” yaitu berhak mengetahui siapa orang tuanya, siapa ayah dan/atau ibunya, beserta asal usulnya. Maka dari itu dapat disimpulkan arti orang tua adalah orang tua biologisnya yang secara hukum mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap anak kandungnya. Kata “berhak” dalam hal ini merupakan hak anak yang diberikan oleh undang-undang untuk mengajukan /menuntut gugatan ke Pengadilan.
Implementasi dari hak anak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri atas dasar pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tersebut di atas, dengan mengingat pengertian hak adalah sesuatu yang dapat dituntutkan atau dipertahankan terhadap orang lain, kemudian mekanismenya dengan menggunakan lembaga Pengadilan dan tujuannya agar ada kejelasan status hukum anak. Selanjutnya lembaga hukum yang dapat digunakan adalah pengakuan anak.
Konsep setiap anak berarti mengandung pengertian ada  dua kualifikasi anak, yaitu anak sah dan anak tidak sah, anak tidak sah menurut KUH Perdata dibagi tiga yaitu anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang. Anak zinah dan anak sumbang sama sekali tidak dapat diakui, hal ini diatur dalam pasal 283 KUH Perdata, dengan demikian menurut versi KUH Perdata terhadap mereka tidak dapat dipergunakan lembaga pengakuan anak. Jadi ada kontradiksi antara UU No. 23 Tahun 2002 dengan konsepsi yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata, yang satu mengutamakan hak asasi manusia dalam hal ini hak anak, dan yang satu berdasar pada ketertiban hukum masyarakat.
Apabila yang diutamakan adalah perkawinan sah ayah biologisnya dengan perempuan lain maka hak asasi manusia anak tidak sah tersebut akan dilanggar. Namun jika yang diutamakan adalah hak asasi manusia anak tidak sah tersebut maka akan menimbulkan kekacauan dan ketidak tertiban dalam masyarakat dan akan melanggar prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam hukum keluarga dan perkawinan. Terkait masalah yang harus diutamakan adalah hak asasi manusia anak tidak sah atau prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam hukum keluarga dan perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan hakim yang mengadili kasus tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Trusto Subekti, 2012, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian hukum, Universitas Jenderal Soedirman
Prof. MR.J.Van Kan dan Prof. Mr. J.H.Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum. ((PT Pembangunan:1965).
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarrta,1994
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam UU, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju , Bandung, 1990
Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1981
Darwan Prinst, Hukum anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003




[1] Trusto Subekti, 2012, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian hukum, Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 31
[2]  Prof. MR.J.Van Kan dan Prof. Mr. J.H.Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum. ((PT Pembangunan:1965).hlm. 161
[3] Opcit, Trusto Subekti, 2012, Kumpulan......., Hlm. 33
[4] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarrta,1994, hlm. 48.
[5] Opcit, Trusto Subekti, 2012, Kumpulan......., Hlm. 33
[6] J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam UU, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 , hlm. 87.

[7] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan
Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju , Bandung, 1990, hlm. 133.

[8] Ibid, hlm. 134.
[9] Ibid, hlm. 135.
[10] Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung,
Bandung, 1981, hlm. 60.
[11] J. Satroi Op-cit, hlm. 86.
[12]  Darwan Prinst, Hukum anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 150.
[13] Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
[14] Subekti, Trusto, 2012, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum, Purwokerto, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 36.

No comments:

Post a Comment