PENAFSIRAN SISTEMATIS TERHADAP KONSEP “
ANAK BERHAK UNTUK MENGETAHUI ORANG TUANYA” DALAM PASAL 7 AYAT (1) UNDANG-UNDANG
NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang dimiliki manusia
sejak ia lahir yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa
pun. Hak Asasi merupakan sebuah bentuk anugerah yang diturunkan oleh tuhan
sebagai sesuatu karunia yang paling mendasar dalam hidup manusia yang paling
berharga. Hak Asasi dilandasi dengan sebuah kebebasan setiap individu dalam
menentukan jalan hidupnya, tentunya Hak asasi juga tidak lepas dari kontrol
bentuk norma-norma yang ada. Hak-hak ini berisi tentang kesamaan atau
keselarasan tanpa membeda-bedakan suku,golongan, keturunan, jabatan, agama dan
lainnya antara setiap manusia yang hakikatnya adalah sama-sama makhluk ciptaan
Tuhan.
Hak anak adalah
termasuk hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Konvensi Hak Anak yang
merupakan bagian dari hukum internasional yang tertuang dalam Resolusi PBB
44/25 tanggal 20 November 1989, yang di mana konvensi ini memberikan kewajiban
kepada negara pesertanya untuk
memberikan pemenuhan hak-hak bagi setiap anak, Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Hak-hak anak melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 yang
diundangkan pada 5 Oktober 1990. Salah satu wujud pelaksanaannya adalah dengan
diundangkannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Di dalam UU No. 23
Tahun 2002 pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui
orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Ketentuan dalam
UU No. 23 Tahun 2002 tidak mengatur
lebih lanjut mengenai apa interpretasi kata “ setiap anak “ dalam pasal 7 ayat
(1) UU No. 23 Tahun 2002 tersebut. Sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan mengenai anak dan kedudukannya dalam keluarga diatur dalam pasal 42
sampai dengan pasal 44, dan mengenai anak ini di kualifikasi menjadi dua, yaitu
anak sah dan anak tidak sah yang terdiri dari anak luar kawin, anak zinah, dan
anak sumbang.
Pemahaman secara
partial mengenai anak dan hak-haknya menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 23
Tahun 2002, justru akan membingungkan. Apabila konsep “ setiap anak” berhak
mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri
dihubungkan dengan konsep anak tidak sah dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka akan
timbul permasalahan apakah seorang anak tidak sah dalam kualifikasi anak zinah,
dapat ditafsirkan termasuk dalam kualifikasi “ setiap anak” yang dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan dengan berdasarkan atas UU No. 23 Tahun 2002,
padahal bapak biologisnya telah terikat perkawinan dengan perempuan lain. Untuk
itu perlu diadakan studi yang mendalam agar dalam penerapan hukumnya telah
didasarkan atas pemahaman yang jelas, dengan harapan dapat memberikan
kontribusi positif baik bagi pengambilan kebijakan maupun bagi para praktisi
dan warga masyarakat pada umumnya.[1]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
penafsiran “ setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya” dalam UU No. 23
Tahun 2002 jika dikaitkan dengan konsep UU No. 1 Tahun 1974?
2.
Bagaimana
jika UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 1 Tahun 1974 dikaitkan dengan kasus machica
mochtar?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Penafsiran
“Setiap Anak Berhak Mengetahui Orang Tuanya” dalam UU No. 23 Tahun 2002 Jika
Dikaitkan dengan Konsep UU No. 1 Tahun 1974.
a.
Makna Penafsiran Sistematis
Penafsiran
atau interpretasi hukum ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil
yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang dikehendaki serta
yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Salah satu dari
metode penafsiran hukum adalah penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan
pasal satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan
atau perundang-undangan lain atau membaca penjelasan undang-undang sehingga
mengerti maksudnya.
Kaidah-kaidah
yang bersifat abstrak, peraturan-peraturan yang tidak tertujukan pada seorang
atau orang-orang yang tertentu berkenaan dengan suatu hal yang konkrit, tetapi
peraturan-peraturan yang bersifat abstrak dan ditujukan kepada kumpulan hal
yang tidak tertentu. Dalam hal ini kita dapat memahami bahwa salah satu masalah
yang terpenting dari hukum adalah mengenai cara bagaimana peraturan-peraturan
hidup yang abstrak itu harus dilaksanakan dalam hal-hal yang konkrit, yang
timbul dalam kehidupan masyarakat. Masalah itu adalah masalah tafsiran,
pemecahan masalah ini tidak demikian sukarnya, apabila dalam suatu hal yang
konkrit pelaksanaan dari hukum itu dengan suatu keharusan yang logis menunjukkan
ke arah suatu hasil yang tertentu.[2]
Namun kenyataanya tidak semudah itu, di mana terdapat kaidah-kaidah hukum yang
menggunakan istilah-istilah yang kabur, sebagai itikad baik, menurut keadilan
dan kepatutan, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan
dalam masyarakat, bertentangan dengan kepentingan umum, semua istilah-istilah
itu membutuhkan pemahaman lebih lanjut. Namun bahasan yang merupakan suatu yang
hidup, karena senantiasa berubah, baik dipersempit maupun diperluas. Sehingga
untuk memahami makna dari hukum atau undang-undang tersebut perlu dilakukan
penafsiran hukum. Sehingga tujuan hukum dapat tercapai.
b. Kualifikasi Anak dan Kedudukan
Hukumnya
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur
mengenai kedudukan anak ini dalam tiga pasal saja, yaitu pasal 42- pasal 44 UU
No. 1 Tahun 1974. Kedudukan dalam aspek bahasa memiliki arti sebagai letak atau
tempat seseorang, dan dalam aspek hukum kedudukan anak berarti suatu posisi
(status) anak dalam keluarga, dalam aspek hubungannya dengan orang tua atau
sebaliknya, sebagai akibat adanya perkawinan.[3]
Pengertian anak dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengertian dan kedudukan anak sah.
Seorang anak
yang sah adalah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan
ibunya.[4] Pasal
42 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: “Anak sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Pasal 42 Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan adanya suatu
tenggang waktu untuk dapat menentukan kesahan seorang anak, seperti halnya
dalam hukum adat, tetapi dalam hukum Islam maupun Kitab Undang-undang Hukum
Perdata ada tenggang waktu kehamilan seorang ibu untuk dapat menyatakan kesahan
seorang anak, antara lain:
1)
Menurut
Wirjono Prodjodikoro bahwa berdasarkan pasal 255 KUH Perdata seorang anak yang
lahir setelah lampau 300 hari sesudah perkawinan terputus, adalah tidak sah
(unwettig), dengan kata lain anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari
sesudah perkawinan putus adalah anak sah.
2)
Kemudian
menurut Yuyunboll dalam Wirdjono Prodjodikoro dikatakan bahwa menurut Hukum
Islam, si anak supaya dapat dikatakan anak dari suami ibunya, harus dilahirkan
sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang iddah
sesudah perkawinan putus.
3)
Seorang anak yang lahir sesudah perkawinan
putus tetapi dalam tenggang yang sama dengan tenggang hamil yang biasa (8 atau
9 bulan), tetap dianggap anak dari bekas ibunya.[5]
Hukum adat tidak mengenal tenggang waktu
sesudah perkawinan dengan dilahirkannya seorang anak artinya meskipun seorang
anak lahir dalam waktu yang amat singkat sesudah pernikahan ibunya, maka suami
tersebut tetap dianggap bapaknya.
Pembuktian anak
sah berdasarkan keturunan dapat dibuktikan dengan akta kelahiran. Akta
kelahiran membuktikan bahwa seorang anak yang namanya disebutkan di sana adalah
keturunan dari orang-orang yang disebutkan di dalamnya.[6]
Dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2)
Undang-undang Perkawinan dijelaskan
bahwa :
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan
dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang.
(2) Disebutkan bila akta kelahiran
tersebut dalam ayat (1) Pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang
teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Sementara itu mengenai kedudukan anak
didasarkan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa anak sah adalah:
a.
Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b.
Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut.
Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan bahwa:
(1)
Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat
bukti lainnya.
(2)
Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada,
maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang
anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
sah.
(3)
Atas dasar ketetapan Pengadilan agama tersebut ayat (2), maka instansi pencatat
Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan
akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Pencatatan ini dibutuhkan pula sebagai
bukti apabila terjadi masalah di kemudian hari, oleh karenanya setiap anak yang
dilahirkan sebaiknya secepatnya didaftarkan sehingga mendapatkan akta
kelahiran, yang dibuat di kantor catatan sipil, sesuai dengan Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan dan
Penyelenggaraan
Catatan Sipil.
2. Pengertian
dan kedudukan anak tidak sah.
Mengenai anak tidak sah adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan yang sah, yang meliputi anak luar kawin, anak
zinah, dan anak sumbang. Dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyebutkan
bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” Pasal 43 Undang-undang Perkawinan
yang menyebutkan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata ibunya dan
keluarga ibunya, ini sesuai dengan dasar pemikiran Hukum Adat yang memberikan
hak dan kewajiban anak terhadap ibunya dan keluarga ibu. Hal ini merupakan
ketentuan nasional berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia baik asli maupun
keturunan. Undang-undang Perkawinan dengan demikian memberikan status yang
jelas dan pasti bagi seseorang anak luar kawin.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
berlaku prinsip bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang
sah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
bahwa : “Tiap-tiap anak yang dilahirkan
atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”.
Tentang pembuktian anak sah berdasarkan
keturunan, hal ini diatur dalam Pasal 261 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
yang menyatakan bahwa: “Keturunan anak-anak yang sah dapat dibuktikan dengan
akta-akta kelahiran mereka, sekedar telah dibuktikan dalam register Catatan
Sipil” Seorang anak yang lahir sebelum hari keseratus enam puluh (6 bulan) dari
perkawinan, dapat diingkari oleh suami, sebagai anak luar kawin. Kecuali
sebelum melakukan perkawinan suami istri tersebut telah melakukan pengakuan
secara sah terhadap anak itu. Maka dengan pengakuan terhadap anak luar kawin,
terlahirlah hubungan perdata antara anak dengan ayah atau ibunya.[7] Jadi
menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata anak yang lahir atau dibesarkan
selama perkawinan, walaupun anak itu benih orang lain adalah anak dari suami
ibunya yang terikat perkawinan.
Anak yang lahir di luar perkawinan,
misalnya seorang wanita yang mengandung kemudian melahirkan anak tanpa
diketahui siapa bapak anak tersebut, maka anak itu hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu yang melahirkannya dan atau keluarga ibunya saja, dan tidak
ada hubungan perdata dengan bapak biologisnya. Di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dilarang untuk menyelidiki siapa bapak anak tersebut sedangkan
terhadap ibunya diperbolehkan.[8] Maka
dapatlah dijelaskan bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang
kedudukan anak hanyalah ditentukan tentang anak sah dan anak tidak
sah
sebagaimana hal ini terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan.
Menurut Hilman Hadikusuma, masyarakat
Hukum Adat berbeda dari masyarakat yang modern, di mana keluarga/rumah tangga
dari suatu ikatan perkawinan tidak saja terdapat anak kandung, tetapi juga
terdapat anak tiri, anak angkat, anak asuh, anak akuan dan sebagainya. Kesemua
anak-anak itu ada sangkut pautnya dengan hak dan kewajiban orang tua yang
mengurus dan memeliharanya, begitu pula sebaliknya. Kedudukan anak-anak
tersebut pengaturannya juga berlatar belakang pada susunan masyarakat adat yang
bersangkutan dan bentuk perkawinan orang tua yang berlaku. Bukan tidak jadi
masalah tentang sah atau tidaknya anak. Hal mana dipengaruhi oleh agama yang
dianut masyarakat bersangkutan tetapi yang juga penting adalah menyangkut
keturunan dan perwarisan.[9]
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam,
menyebutkan bahwa:
“Anak
yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Agar seorang anak dianggap anak sah dari
suami ibunya, maka harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan
atau di dalam tenggang masa iddah (4 bulan 10 hari) sesudah perkawinan
terputus.[10]
Seseorang anak yang lahir dalam tenggang
waktu 6 bulan setelah pernikahan atau setelah perkawinannya terputus adalah
anak tidak sah artinya anak tersebut tidak mempunyai hubungan dengan ayahnya,
tetapi anak tersebut tetap mempunyai hubungan dengan ibu yang melahirkannya. Sedangkan
kedudukan anak di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak di atur dalam Pasal 27, di mana disebutkan bahwa:
(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan
sejak kelahirannya.
(2)
Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
(3)
Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada suatu keterangan dari orang yang
menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
(4)
Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui keberadaanya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut
didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.
Di dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan juga bahwa:
(1)
Pembuatan Akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam
pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.
(2)
Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukan permohonan.
(3)
Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai
biaya.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
Surat/akta lahir membuktikan bahwa
seorang anak yang namanya disebutkan di sana adalah anak dari orang yang
disebutkan dalam akta kelahiran yang bersangkutan paling tidak dari perempuan
yang melahirkan anak itu, yang namanya disebutkan di sana. Akta kelahiran juga
menyebutkan bahwa anak yang bersangkutan lahir pada hari dan tanggal tertentu.
Saat kelahiran dihubungkan dengan status perkawinan dari perempuan yang
melahirkan anak itu, menentukan hubungan anak itu dengan suami dari ibu anak
itu.[11]
c. Penafsiran
Sistematis Terhadap Konsep “Setiap Anak Berhak Untuk Mengetahui Orang Tuanya”
dalam UU No. 23 Tahun 2002 dengan UU No. 1 Tahun 1974.
Berdasarkan pada
Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, disebutkan
bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih di dalam kandungan”. Setiap anak berhak untuk
mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh orang tuanya sendiri. Hak anak
untuk mengetahui siapa orang tuanya dalam arti asal usulnya, dimaksudkan untuk
menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang
tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya
dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya. [12] Yang
dimaksud dari “berhak mengetahui” yaitu:
1.
Berhak
mengetahui siapa orang tuanya, siapa ayah dan/atau ibunya, beserta asal
usulnya. Maka dari itu dapat disimpulkan arti orang tua adalah orang tua
biologisnya yang secara hukum mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap anak
kandungnya.
2.
Kata
“berhak” dalam hal ini merupakan hak anak yang diberikan oleh undang-undang
untuk mengajukan /menuntut gugatan ke Pengadilan.
Jadi dapat
dilihat di sini bahwa ada hubungan timbal balik antara anak dengan orang tua,
yaitu anak berhak mengetahui orang tuanya yaitu untuk memenuhi hak-haknya,
sedangkan dengan mengetahui anaknya, undang-undang ini berharap agar anak patuh
dan menghormati orang tuanya. Selanjutnya diatur bahwa anak berhak diasuh dan
dibesarkan oleh orang tuanya sendiri sehingga undang-undang membebankan
tanggung jawab tersebut kepada orang tuanya,
adapun yang dimaksud dengan orang tua menurut Pasal 1 ayat (4) UU No. 23 tahun
2002 adalah ayah/ibu kandung, atau ayah/ibu tiri, atau ayah/ibu angkat.
Implementasi
dari hak anak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri atas dasar pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tersebut di
atas, dengan mengingat pengertian hak adalah sesuatu yang dapat dituntutkan
atau dipertahankan terhadap orang lain, kemudian mekanismenya dengan
menggunakan lembaga Pengadilan dan tujuannya agar ada kejelasan status hukum
anak. Selanjutnya lembaga hukum yang dapat digunakan adalah pengakuan anak.
Peristiwa pengakuan, pengesahan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam
tetapi harus dilakukan di muka pegawai pencatatan, dengan percatatan dalam akta
kelahiran, atau dalam akta perkawinan orang tuanya (yang berakibat pengesahan)
atau dalam akta tersendiri dari pegawai pencatatan sipil.
Konsep setiap anak berarti mengandung pengertian
ada dua kualifikasi anak, yaitu anak sah
dan anak tidak sah, anak tidak sah menurut KUH Perdata dibagi tiga yaitu anak
luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang. Anak
luar kawin adalah merupakan
anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan di luar perkawinan yang sah, dan dalam hal ini lembaga pengakuan anak
dapat dipergunakan jika orang tuanya yang kandung itu atau ayahnya tidak sedang
terikat dalam suatu ikatan perkawinan. Anak Zinah adalah Anak-anak yang
dilahirkan dari hubungan luar nikah, antara laki-laki dan perempuan di mana
salah satunya atau kedua-duanya terikat pernikahan dengan orang lain, sehingga
lembaga pengakuan anak tidak dapat digunakan karena salah satu atau keduanya
(orang tuanya) terikat dalam perkawinan. Sementara Anak Sumbang adalah Anak
yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang perempuan yang
antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling
menikahi. Dalam hal ini anak zinah dan anak sumbang sama sekali tidak dapat
diakui, hal ini diatur dalam pasal 283 KUH Perdata, dengan demikian menurut
versi KUH Perdata terhadap mereka tidak dapat dipergunakan lembaga pengakuan
anak. Hal ini ditujukan untuk ketertiban hukum dalam masyarakat. Jadi ada
kontradiksi antara UU No. 23 Tahun 2002 dengan konsepsi yang ada dalam UU No. 1
Tahun 1974 dan KUH Perdata, yang satu mengutamakan hak asasi manusia dalam hal
ini hak anak, dan yang satu berdasar pada ketertiban hukum masyarakat. Menurut
hemat penulis terkait masalah yang harus diutamakan adalah hak
asasi manusia anak tidak sah atau prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam
hukum keluarga dan perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan hakim yang
mengadili kasus tersebut yang melihat dalam
keadaan mana anak dan orang tuanya tersebut.
2.
Penafsiran
sistematis terhadap konsep “setiap anak” berhak untuk mengetahui orang tuanya
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak jika dikaitkan dengan Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 yang diajukan Machica Mochtar.
Menurut Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan”.[13]
Jika dikaitkan dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang berbunyi “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri” maka dengan demikian
telah ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang dengan telah membebankan tanggung
jawab tersebut kepada orang tua dari anak tersebut.[14]
Adapun yang dimaksud dengan orang tua yang harus bertanggung jawab untuk itu
adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah
dan/atau ibu angkat (Pasal 1 ayat (4) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak). Pengertian “setiap anak” yang dimaksud Pasal 7 ayat (1) akan menimbulkan
multi tafsir karena dalam pengertian “setiap anak” tidak di jelaskan pengertian
setiap anak tersebut adalah anak sah atau anak tidak sah yang terdiri dari anak
luar kawin, anak zinah dan anak sumbang.
Jika
pengertian “setiap anak” yang dimaksud menurut Pasal 7 ayat (1) adalah anak sah
maka akan mudah dalam pelaksanaanya. Namun jika pengertian “setiap anak” yang
dimaksud Pasal 7 ayat (1) juga termasuk anak tidak sah yang terdiri dari anak
luar kawin, anak zinah dan anak sumbang maka akan sulit dalam pelaksanaannya
karena bagi anak tidak sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu kandungnya dan keluarga ibu kandungnya
saja (Pasal 43 ayat (1) uu no.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) sehingga sulit
bagi anak tidak sah untuk menuntut kepada ayah biologisnya agar ia dibesarkan
dan diasuh oleh ayah biologisnya, apalagi jika ayah biologisnya sudah terikat
perkawinan dengan perempuan lain yang sah. Pasti akan menimbulkan kekacauan dan
merusak perkawinan si ayah biologisnya.
Apabila
yang diutamakan adalah perkawinan sah ayah biologisnya dengan perempuan lain
maka hak asasi manusia anak tidak sah tersebut akan dilanggar. Namun jika yang
diutamakan adalah hak asasi manusia anak tidak sah tersebut maka akan
menimbulkan kekacauan dan ketidak-tertiban dalam masyarakat dan akan melanggar
prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam hukum keluarga dan perkawinan.
Sebagai contoh kasus dengan adanya judicil review terhadap Undang-Undang No.1
Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi yang dilakukan oleh Machica Mochtar sebagai
pemohon dan permohonannya dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi yang
mana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa :
“Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus
dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.[15]
Dengan
adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka anak tidak sah dapat
menuntut kepada ayah biologisnya agar ia dibesarkan dan diasuh oleh ayah
biologisnya meskipun akan merusak pekawinan ayah biologisnya dengan perempuan
lain yang sah dan juga akan menimbulkan kekacauan dan ketidak-tertiban dalam
masyarakat dan akan melanggar prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam hukum
keluarga dan perkawinan. Terkait masalah yang harus diutamakan adalah hak asasi
manusia anak tidak sah atau prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam hukum
keluarga dan perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan hakim yang
mengadili kasus tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Maksud dari
“berhak mengetahui” yaitu berhak mengetahui siapa orang tuanya, siapa ayah
dan/atau ibunya, beserta asal usulnya. Maka dari itu dapat disimpulkan arti
orang tua adalah orang tua biologisnya yang secara hukum mempunyai kewajiban-kewajiban
terhadap anak kandungnya. Kata “berhak” dalam hal ini merupakan hak anak yang
diberikan oleh undang-undang untuk mengajukan /menuntut gugatan ke Pengadilan.
Implementasi
dari hak anak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri atas dasar pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tersebut di
atas, dengan mengingat pengertian hak adalah sesuatu yang dapat dituntutkan
atau dipertahankan terhadap orang lain, kemudian mekanismenya dengan
menggunakan lembaga Pengadilan dan tujuannya agar ada kejelasan status hukum
anak. Selanjutnya lembaga hukum yang dapat digunakan adalah pengakuan anak.
Konsep setiap
anak berarti mengandung pengertian ada
dua kualifikasi anak, yaitu anak sah dan anak tidak sah, anak tidak sah menurut
KUH Perdata dibagi tiga yaitu anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang.
Anak zinah
dan anak sumbang sama sekali tidak dapat diakui, hal ini diatur dalam pasal 283
KUH Perdata, dengan demikian menurut versi KUH Perdata terhadap mereka tidak
dapat dipergunakan lembaga pengakuan anak. Jadi ada kontradiksi antara UU No.
23 Tahun 2002 dengan konsepsi yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH
Perdata, yang satu mengutamakan hak asasi manusia dalam hal ini hak anak, dan
yang satu berdasar pada ketertiban hukum masyarakat.
Apabila yang diutamakan adalah
perkawinan sah ayah biologisnya dengan perempuan lain maka hak asasi manusia
anak tidak sah tersebut akan dilanggar. Namun jika yang diutamakan adalah hak
asasi manusia anak tidak sah tersebut maka akan menimbulkan kekacauan dan
ketidak tertiban dalam masyarakat dan akan melanggar prinsip-prinsip dan
asas-asas hukum dalam hukum keluarga dan perkawinan. Terkait masalah yang harus
diutamakan adalah hak asasi manusia anak tidak sah atau prinsip-prinsip dan
asas-asas hukum dalam hukum keluarga dan perkawinan diserahkan sepenuhnya
kepada kebijakan hakim yang mengadili kasus tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Trusto
Subekti, 2012, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian hukum, Universitas
Jenderal Soedirman
Prof. MR.J.Van Kan dan
Prof. Mr. J.H.Beekhuis, Pengantar
Ilmu Hukum. ((PT Pembangunan:1965).
Subekti,
Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa,
Jakarrta,1994
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam UU,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut
Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju , Bandung, 1990
Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung, 1981
Darwan Prinst, Hukum
anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_46%20PUU%202010-TELAH%20BACA.pdf
diunduh 20 Maret 2014
[1] Trusto
Subekti, 2012, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian hukum, Universitas
Jenderal Soedirman, hlm. 31
[2] Prof. MR.J.Van Kan dan Prof. Mr. J.H.Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum. ((PT Pembangunan:1965).hlm. 161
[6] J. Satrio, Hukum Keluarga
Tentang Kedudukan Anak Dalam UU, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 , hlm.
87.
Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju , Bandung, 1990, hlm. 133.
Bandung, 1981, hlm. 60.
[13] Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
[14] Subekti, Trusto, 2012, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum,
Purwokerto, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 36.
No comments:
Post a Comment