Saturday, September 17, 2016

MAKALAH DAN JURNAL HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH DIUNDANGKANNYA UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH DIUNDANGKANNYA UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Persoalan perkawinan dalam kehidupan manusia bukan hanya sekedar menyangkut masalah biologis sebagai wujud hubungan dua anak manusia antara seorang laki-laki dan perempuan, tetapi juga mengandung aspek sosial, hukum dan agama sehingga perlu untuk dilihat dari banyak aspek terutama dari aspek hukum dan agama. Ditinjau dari sudut hukum, perkawinan adalah merupakan sebuah perbuatan hukum di mana seorang laki-laki mengikatkan diri “ dengan seorang perempuan untuk hidup bersama” karena itu harus diperhatikan yang ditentukan dalam berbagai ketentuan hukum yang berlaku yang berlaku di negara yang bersangkutan.
Perkawinan beda agama sekarang ini sering terjadi dan tidak mungkin dapat dihindari, mengingat penduduk Indonesia terdiri dari berbagai agama. Masalah perkawinan merupakan masalah yang kompleks, hal ini tidak hanya terjadi antar agama yang berbeda, tetapi juga pada agama yang sama kalau dikaitkan pada hukum yang berlaku baik hukum agama maupun hukum formal di negara kita. Salah satu permasalahan perkawinan adalah masalah perkawinan beda agama. 
Tahun 1974 merupakan awal terbentuknya unifikasi tentang perkawinan yang ditandai diundangnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan UU Perkawinan). Sebelum berlakunya UU Perkawinan ini, di Indonesia terdapat bermacam-macam peraturan yang mengatur perkawinan bagi bermacam-macam golongan masyarakat. Bagi orang-orang Indonesia asli, berlaku hukum adat mereka ditambah sekadar mengenai orang-orang Kristen dengan Staatsblad  1933-74. Bagi orang-orang Arab dan bangsa Timur Asing lain yang bukan Tionghoa, berlaku hukum adat mereka sendiri. Bagi orang-orang Eropa dan Tionghoa berlaku Burgerlijk Wetboek (BW) dengan sedikit pengecualian bagi orang Tionghoa mengenai pencatatan jiwa dan acara sebelum perkawinan dilakukan, sedangkan dalam perkawinan campuran pada umumnya berlaku hukum pihak suami.[1]
Berdasarkan hal tersebut tentunya akan ada perbedaan pengaturan mengenai perkawinan beda agama sebelum dan sesudah diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

B.     Perumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pengaturan perkawinan beda agama sebelum diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
2.      Bagaimanakah pengaturan perkawinan beda agama setelah diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Perkawinan Beda Agama Sebelum Diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974

Berdasarkan ketentuan pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Definisi atau pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan dapat dimengerti bahwa dengan melakukan perkawinan pada masing-masing pihak telah terkandung maksud untuk hidup bersama secara abadi, dengan memenuhi hak-hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara, untuk mencapai keluarga bahagia.[2]
Perkawinan adalah ikatan, ikatan dalam arti nyata atau tidak nyata antara pria dan wanita sebagai suami istri untuk tujuan membentuk keluarga. Jadi perkawinan bukan sekedar untuk campur tidur antara pria dan wanita, apalagi yang hanya bertujuan untuk memenuhi hawa nafsu. Tetapi percampuran tidur (hidup bersama) sebagai suami istri yang berbentuk keluarga atau rumah tangga tetap, walaupun perkawinannya tidak sah adalah juga perkawinan, yaitu
perkawinan yang tidak sah.[3]
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita sehingga tidak dimungkinkan terjadinya hubungan perkawinan antara pasangan yang sama jenis kelaminnya. Ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita bisa dipandang sebagai suami isteri manakala ikatan mereka tersebut didasarkan pada perkawinan yang sah. Sebuah perkawinan dapat dikatakan sah apabila dipenuhinya syarat-syarat tertentu sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Sebelumnya, Hukum Perkawinan yang berlaku pada awal Kemerdekaan Republik Indonesia Agustus 1945, secara umum dibagi ke dalam lima kategori. Kelima kategori tersebut merupakan sistem hukum yang secara sengaja diciptakan guna memfasilitasi keragaman perkawinan. Kelima sistem tersebut adalah:[4]
1) Hukum perkawinan bagi Golongan Eropa dan orang-orang yang dilaksanakan dengan mereka, dan Golongan Timur Asing Keturunan Cina.
2) Hukum perkawinan bagi Golongan Pribumi dan Golongan Timur Asing pemeluk Agama Islam.
3) Hukum perkawinan bagi golongan bukan pemeluk Agama Islam maupun Kristen.
4) Hukum perkawinan bagi golongan yang hendak melangsungkan perkawinan campuran.
5) Hukum perkawinan bagi golongan pribumi pemeluk agama Kristen berlaku sejak 1933.
Sehingga dalam hal ini tidak ada kesatuan sistem hukum perkawinan karena mengenai perkawinan diserahkan kepada sistem hukum masing-masing agama.
a.       Menurut Sistem Agama Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama. Larangan untuk pria muslim diatur di dalam pasal 40 huruf c KHI yang lengkapnya sebagai berikut:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan basih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam mas iddah dengan pria lain;
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam;
Larangan untuk wanita muslimah diatur dalam pasal 44 KHI yaitu:
“seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam”.
b.      Menurut Sistem Agama Kristen Katolik
Perkawinan antara seorang penganut Katolik dan seorang non-Katolik bukanlah perkawinan yang ideal, karena perkawinan dalam agama Katolik dianggap sebagai sakramen (suatu yang kudus, suci). Pada prinsipnya gama Katolik melarang perkawinan antara penganut Katolik dengan yang bukan Katolik. Tetapi dalam hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi atau pengecualian untuk dilakukan perkawinan antar agama tersebut.
Dispensasi ini akan diberikan jika telah terpenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1)      Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberi janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam gereja katolik;
2)      Mengenai janji-janji yang dibuat oleh pihak katolik itu, pihak yang lain (dari pasangan yang non katolik) hendaknya diberi tahu pada waktunya sedemikian rupa sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
3)      Kedua pihak diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.
c.       Menurut Sistem Agama Kristen Protestan
Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya menikah dengan orang yang seagama, tetapi pada level tertentu, agama Protestan tidak menghalangi kalau terjadi pernikahan beda agama antara penganut Protestan dan penganut agama lain.[5]
Menurut gereja Protestan, suatu perkawinan baru dapat dilangsungkan di gereja apabila telah memenuhi syarat sebagai berikut:[6]
1)  adanya persetujuan dari kedua calon mempelai;
2) kedua calon mempelai tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain;
3) sekurang-kurangnya salah seorang beragama Protestan;
4) sekurang-kurangnya salah seorang merupakan anggota jamaat gereja yang bersangkutan .
Perkawinan antara seorang Protestan dan bukan Protestan dapat dilangsungkan di gereja apabila pihak yang bukan Protestan membuat surat pernyataan bahwa ia tidak berkeberatan perkawinannya dilaksanakan di gereja Protestan.
d.      Menurut Sistem Agama Hindu
Dalam agama Hindu, perkawinan bersifat religious dan obligatoir karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra. Perkawinan menurut Hindu hakikatnya adalah sakral dan hanya sah dilakukan menurut agama tersebut. Hal ini berarti agama Hindu melarang umatnya melakukan perkawinan antar agama.
e.       Menurut Sistem Agama Budha
Perkawinan adalah dharma dan yang paling utama adalah agar perkawinan itu tidak lepas dari ajaran mora1. Dengan demikian diperlukan pemberkatan untuk kedua mempelai, karena pentingnya pemberkatan ini maka sebaiknya agama kedua mempelai sebaiknya sama. Tetapi perkawinan beda agama ini dilihat sebagai suatu yang fleksibel, selama tidak melanggar dharma dan tidak menyimpang dari norma dan moral. Jika terjadi perkawinan beda agama yang salah satunya penganut agama Budha, maka yang terpenting adalah adanya kesepakatan dan persetujuan dari masing-masing keluarga karena biksu hanya memberkati dan yang meresmikan perkawinan tersebut adalah keluarga masing-masing yang diwakilkan kepada seorang dharmaduta (orang yang diangkat oleh biksu untuk meresmikan perkawinan).[7]

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken (RGH) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158.[8]
Pada Pasal 1 RGH dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan”. 
Ada 3 pendapat mengenai apakah RGH berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam RGH; kedua, kelompok yang berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam RGH; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam RGH, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam RGH.[9] 
Hal itu penting bagi kita, karena dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974 telah ada suatu ketentuan perundang-undangan yang dapat memecahkan persoalan yang timbul dari adanya perkawinan antar agama. Peraturan perundang-undangan itu ialah peraturan tentang perkawinan campuran (GHR) sebagai dimaksud di atas. Dengan begitu pasangan yang akan melangsungkan perkawinan antar agama boleh merasa terlindung dan terjamin kepastian hukum daripada perkawinan mereka dalam arti bahwa, walaupun menurut hukum agama mereka masing-masing dianggap tidak sah, setidaknya diakui adanya oleh hukum Negara. Keadaan mana sangat berpengaruh terhadap ketentraman jiwa kedua pihak.
2.      Perkawinan Beda Agama Setelah Diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum ditentukan oleh hukum formal. Hukum formal di bidang perkawinan di Indonesia adalah Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dengan demikian sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut.[10] Perkawinan di Indonesia sekarang diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dengan lahirnya UU Perkawinan, maka telah ada keseragaman pengaturan tentang perkawinan bagi seluruh golongan masyarakat di Indonesia. Melalui UU Perkawinan maka perkawinan tidak hanya sekedar ikatan keperdataan antara seorang pria dan wanita melainkan lebih kepada sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Berbeda dengan hukum perkawinan sebelumnya yang menganut konsepsi hukum perkawinan perdata, Undang-Undang Tahun 1974 justru memberikan peranan yang sangat menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing calon mempelai.[11]
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan pengertian tentang perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 mengatur “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, selanjutnya ayat (2) mengatur “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku”. Apabila diperhatikan UU No. 1 Tahun 1974, tidak terdapat pasal yang mengatur perkawinan beda agama. Sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh hukum agama masing-masing calon mempelai, ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) dan pendeta atau pastur (bagi Umat Kristen) telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agamanya dan kepercayaannya. Sedangkan pencatatan tiap-tiap perkawinan itu merupakan persyaratan formil administratif.
Perkawinan beda agama, tidak diatur secara tegas dalam UU No. 1 Tahun 1974, dengan tidak diaturnya masalah perkawinan beda agama dalam UU No. 1 Tahun 1974 maka tidak jelas pula diperbolehkan atau tidaknya pelaksanaan perkawinan beda agama. Sebagai pedoman untuk mengetahui kejelasan permasalahan perkawinan beda agama seperti tersebut di atas, dengan melihat pasal-pasal dalam UU No. 1 Tahun 1974 yaitu Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, hal ini mengisyaratkan bahwa undang-undang menyerahkan
kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut (di samping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh negara), jadi suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, di samping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No 1 Tahun 1974, juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
Peraturan perkawinan campuran di Indonesia sebelum UU No. 1 Tahun 1974  lebih baik dan mudah dilaksanakan (GHR S. 1898 – 158), karena dimungkinkan berbagai perbedaan dicampur dalam keluarga melalui perkawinan yang sah. Sejak tahun 1974 di Indonesia peraturan perkawinan campuran didasarkan atas ketentuan Pasal 57 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan percampuran hanya dapat dilakukan karena perbedaan kewarganegaraan. Bila yang dicampur dalam keluarga itu berbeda agama, mereka harus melangsungkan perkawinannya ke luar Indonesia, dengan syarat negara yang bersangkutan membenarkan adanya kawin beda agama dan bagi WNI tidak boleh melanggar syarat perkawinan di Indonesia. Syarat pertama mengakibatkan perkawinan membutuhkan biaya tinggi (karena harus ke luar Indonesia), sedangkan syarat kedua yaitu tidak melanggar syarat
kawin di Indonesia. Sedangkan di Indonesia tidak boleh kawin beda agama. Syarat kedua inilah menimbulkan keraguan akan sahnya suatu perkawinan. Selain itu, jika berpegang kepada sahnya suatu perkawinan didasarkan atas adanya pencatatan, juga tidak menghapus keraguan itu, karena sebagai pejabat negara, tentu tidak akan mencatat perkawinan yang melanggar syarat perkawinan menurut undang-undang. Berdasarkan itu menurut kesan penulis, ketentuan perkawinan campuran yang dianut oleh UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bersifat munafik . Karena satu sisi boleh (asal dilakukan di luar Indonesia, sisi lain dengan syarat tidak boleh melanggar syarat perkawinan di Indonesia). Namun demikian, kelihatannya ketentuan Pasal 56 (1) UU No. 1 Tahun 1974  dapat mengatasi kesulitan warga negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan beda agama. Bunyi Pasal tersebut adalah “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang ini“.

Bila memperhatikan unsur syarat (bagi WNI) ditetapkan bahwa “bagi warga negara Indonesia tidak melanggar undang-undang ini”. Undang-undang ini maksudnya UU No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ketentuan Pasal ini dikatakan secara kontradiktif melarang perkawinan beda agama. Karena itu unsur syarat ini akan menjadi penghalang perkawinan WNI beda agama yang diselenggarakan di luar Indonesia. Dalam praktek unsur syarat yang belakangan ini sering diabaikan, seperti yang pernah dilakukan oleh selebritis Yuni Shara dengan pengusaha Hendrik Siahaan di luar Indonesia (Australia), kini yang bersangkutan telah bercerai). Mengingat keabsahan suatu perkawinan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 haruslah dicatat (termasuk perkawinan campuran dan perkawinan yang dilakukan di luar negeri), maka ayat 2 Pasal 56 menyatakan bahwa “Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka”. Mengenai pencatatan ini pun  terdapat masalah bila kita telaah, yaitu yang dicatat tentunya perkawinan yang sah. Menjadi keliru bila Pegawai Pencatat Perkawinan mencatat atau mendaftar perkawinan yang tidak sah. Dengan uraian belakangan ini bila perkawinan yang diselenggarakan di luar Indonesia bertentangan dengan Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, maka jika begitu keadaannya pendaftarannya kelak di Indonesia harusnya ditolak, sehingga tidak dapat memegang surat bukti kawinnya. Perkawinan campuran haruslah tegas dan mudah dilaksanakan serta dengan biaya ringan, seperti yang pernah berlaku di Indonesia dengan sebutan singkat GHR itu. Apabila tidak demikian maka sulit pertanggungjawabannya dari aspek hukum maupun HAM sebagaimana disinggung dalam Bab XA Pasal 28B ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Termasuk dalam hal melalui perkawinan beda agama. Dengan ulasan kedua peraturan tersebut di atas diharapkan dapat diambil hikmahnya dalam pembentukan peraturan untuk waktu yang akan datang di bidang sinkronisasi pasal-pasal dan dapat dijadikan pertimbangan revisi peraturan yang tak mampu memberi solusi dari perbedaan.[12]
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan tentang perkawinan beda agama yang sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1 Tahun 1974. Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan beda agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam proses perkawinan beda agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil.
Jadi Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan beda agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan.



BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Bahwa UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan campuran dalam artian perkawinan beda agama. UU Perkawinan hanya mengenal perkawinan campuran dalam artian perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.  sebagaimana di atur dalam Pasal 57 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dengan demikian UU Perkawinan tidak secara tegas melarang perkawinan beda agama secara eksplisit.
Berbeda dengan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 ini, UU Perkawinan Campuran Tahun
1898 No. 158 (Gemengde Hoowelijken Regeling stbl. 1898 No. 158) menyatakan bahwa perbedaan agama, bangsa atau keturunan sama sekali bukan menjadi penghalang terhadap perkawinan (Pasal 7 GHR) . Sesuai dengan Ketentuan Penutup Pasal 66 UU Perkawinan, maka Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU Perkawinan, dinyatakan tidak berlaku.  
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 yang dapat dijadikan sebagai yurisprudensi yang memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan beda agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan.



DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2011. Kompendium Bidang Hukum Perkawinan (Perkawinan Beda Agama dan Implikasinya). Jakarta; Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Asmin. 1974. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 197. Cet. 1 Jakarta : PT. Dian Rakyat.
Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama. Jakarta; Pt. Dian Rakyat.
Hadikusuma. 1984. Bahasa Hukum Indonesi. Bandung: Penerbit Alumni.
Rusli dan R. Tama. 2000. Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya. Bandung; Pionir Jaya.
Sosroadmodjo, Arso dan H.A. Wasit Aulawi. 1978.  Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta; Bulan Bintang.
Tama, R dan Rusli. 1984. Perkawinan Antar Agama Dan Masalahannya. Bandung; Shantika Dharma.
Trisnaningsih, Murdiarti. 2007. Relevansi Kepastian Hukum Dalam Perkawinan Beda Agama Indonesia. Bandung; CV. Utomo.



[1] Abdurrahman, 2011, Kompendium Bidang Hukum Perkawinan (Perkawinan Beda Agama dan Implikasinya), Jakarta; Badan Pembinaan Hukum Nasional, hlm. 6.
[2] Rusli dan R. Tama, 2000, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya, Bandung; Pionir Jaya, hlm. 11.
[3] Hilman Hadikusuma, 1984, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, hlm. 88.
[4] Mudiarti Trisnaningsih, 2007, Relevansi Kepastian Hukum Dalam Perkawinan Beda Agama Indonesia, Bandung; CV. Utomo, hlm. 4.
[5] R. Tama dan Rusli, 1984, Perkawinan Antar Agama Dan Masalahannya, Bandung; Shantika Dharma, hlm. 25. 
[6] Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama, Jakarta; Pt. Dian Rakyat,  hlm. 41
[7]Arso sosroadmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, 1978,  Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta; Bulan Bintang, hlm. 29.
[8] Op. Cit, Asmin, 1986, Status Perkawinan.............,  hlm. 68.
[9] Loc. Cit, Asmin, 1986, Status Perkawinan........
[10] Asmin, 1974, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 197,. Cet. 1 Jakarta : PT. Dian Rakyat, hlm. 22.
[11] Op. Cit, Asmin, 1986, Status Perkawinan....., hlm. 67.
[12] Op. Cit, Abdurrahman, 2011, Kompendium Bidang............, hlm. 35-36.

No comments:

Post a Comment