PERKAWINAN BEDA AGAMA
DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH DIUNDANGKANNYA UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Persoalan perkawinan dalam
kehidupan manusia bukan hanya sekedar menyangkut masalah biologis sebagai wujud
hubungan dua anak manusia antara seorang laki-laki dan perempuan, tetapi juga
mengandung aspek sosial, hukum dan agama sehingga perlu untuk dilihat dari
banyak aspek terutama dari aspek hukum dan agama. Ditinjau dari sudut hukum,
perkawinan adalah merupakan sebuah perbuatan hukum di mana seorang laki-laki
mengikatkan diri “ dengan seorang perempuan untuk hidup bersama” karena itu
harus diperhatikan yang ditentukan dalam berbagai ketentuan hukum yang berlaku
yang berlaku di negara yang bersangkutan.
Perkawinan beda agama
sekarang ini sering terjadi dan tidak mungkin dapat dihindari, mengingat
penduduk Indonesia terdiri dari berbagai agama. Masalah perkawinan merupakan
masalah yang kompleks, hal ini tidak hanya terjadi antar agama yang berbeda,
tetapi juga pada agama yang sama kalau dikaitkan pada hukum yang berlaku baik
hukum agama maupun hukum formal di negara kita. Salah satu permasalahan
perkawinan adalah masalah perkawinan beda agama.
Tahun 1974 merupakan awal
terbentuknya unifikasi tentang perkawinan yang ditandai diundangnya
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan
UU Perkawinan). Sebelum berlakunya UU Perkawinan ini, di Indonesia terdapat
bermacam-macam peraturan yang mengatur perkawinan bagi bermacam-macam golongan
masyarakat. Bagi orang-orang Indonesia asli, berlaku hukum adat mereka ditambah
sekadar mengenai orang-orang Kristen dengan Staatsblad 1933-74. Bagi orang-orang Arab dan bangsa
Timur Asing lain yang bukan Tionghoa, berlaku hukum adat mereka sendiri. Bagi
orang-orang Eropa dan Tionghoa berlaku Burgerlijk Wetboek (BW) dengan
sedikit pengecualian bagi orang Tionghoa mengenai pencatatan jiwa dan acara sebelum
perkawinan dilakukan, sedangkan dalam perkawinan campuran pada umumnya berlaku
hukum pihak suami.[1]
Berdasarkan hal tersebut
tentunya akan ada perbedaan pengaturan mengenai perkawinan beda agama sebelum
dan sesudah diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
B. Perumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
pengaturan perkawinan beda agama sebelum diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan?
2. Bagaimanakah
pengaturan perkawinan beda agama setelah diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perkawinan
Beda Agama Sebelum Diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974
Berdasarkan ketentuan pasal
1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa pengertian perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Definisi atau pengertian perkawinan
dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan dapat dimengerti bahwa dengan melakukan
perkawinan pada masing-masing pihak telah terkandung maksud untuk hidup bersama
secara abadi, dengan memenuhi hak-hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh
negara, untuk mencapai keluarga bahagia.[2]
Perkawinan adalah ikatan,
ikatan dalam arti nyata atau tidak nyata antara pria dan wanita sebagai suami
istri untuk tujuan membentuk keluarga. Jadi perkawinan bukan sekedar untuk
campur tidur antara pria dan wanita, apalagi yang hanya bertujuan untuk
memenuhi hawa nafsu. Tetapi percampuran tidur (hidup bersama) sebagai suami istri
yang berbentuk keluarga atau rumah tangga tetap, walaupun perkawinannya tidak
sah adalah juga perkawinan, yaitu
perkawinan yang tidak sah.[3]
Ikatan perkawinan hanya
boleh terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita sehingga tidak
dimungkinkan terjadinya hubungan perkawinan antara pasangan yang sama jenis
kelaminnya. Ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita bisa dipandang
sebagai suami isteri manakala ikatan mereka tersebut didasarkan pada perkawinan
yang sah. Sebuah perkawinan dapat dikatakan sah apabila dipenuhinya
syarat-syarat tertentu sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh
undang-undang.
Sebelumnya, Hukum Perkawinan
yang berlaku pada awal Kemerdekaan Republik Indonesia Agustus 1945, secara umum
dibagi ke dalam lima kategori. Kelima kategori tersebut merupakan sistem hukum
yang secara sengaja diciptakan guna memfasilitasi keragaman perkawinan. Kelima
sistem tersebut adalah:[4]
1) Hukum perkawinan bagi Golongan Eropa dan orang-orang yang
dilaksanakan dengan mereka, dan Golongan Timur Asing Keturunan Cina.
2) Hukum perkawinan bagi Golongan Pribumi dan Golongan Timur Asing
pemeluk Agama Islam.
3) Hukum perkawinan bagi golongan bukan pemeluk Agama Islam maupun
Kristen.
4) Hukum perkawinan bagi golongan yang hendak melangsungkan
perkawinan campuran.
5) Hukum perkawinan bagi golongan pribumi pemeluk agama Kristen
berlaku sejak 1933.
Sehingga dalam hal ini tidak ada kesatuan sistem hukum perkawinan
karena mengenai perkawinan diserahkan kepada sistem hukum masing-masing agama.
a.
Menurut
Sistem Agama Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang diberlakukan dengan instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, melarang
seorang muslim melakukan perkawinan beda agama. Larangan untuk pria muslim
diatur di dalam pasal 40 huruf c KHI yang lengkapnya sebagai berikut:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan basih terikat satu perkawinan
dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam mas iddah dengan pria
lain;
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam;
Larangan untuk wanita
muslimah diatur dalam pasal 44 KHI yaitu:
“seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria
yang tidak beragama Islam”.
b. Menurut
Sistem Agama Kristen Katolik
Perkawinan antara seorang
penganut Katolik dan seorang non-Katolik bukanlah perkawinan yang ideal, karena
perkawinan dalam agama Katolik dianggap sebagai sakramen (suatu yang kudus,
suci). Pada prinsipnya gama Katolik melarang perkawinan antara penganut Katolik
dengan yang bukan Katolik. Tetapi dalam hal tertentu Uskup dapat memberikan
dispensasi atau pengecualian untuk dilakukan perkawinan antar agama tersebut.
Dispensasi ini akan diberikan jika telah terpenuhi syarat-syarat
sebagai
berikut:
1)
Pihak
Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberi
janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga,
agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam gereja katolik;
2)
Mengenai
janji-janji yang dibuat oleh pihak katolik itu, pihak yang lain (dari pasangan
yang non katolik) hendaknya diberi tahu pada waktunya sedemikian rupa sehingga
jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
3)
Kedua pihak
diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat hakiki perkawinan,
yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.
c. Menurut Sistem Agama Kristen Protestan
Pada prinsipnya agama
Protestan menghendaki agar penganutnya menikah dengan orang yang seagama, tetapi
pada level tertentu, agama Protestan tidak menghalangi kalau terjadi pernikahan
beda agama antara penganut Protestan dan penganut agama lain.[5]
Menurut gereja Protestan,
suatu perkawinan baru dapat dilangsungkan di gereja apabila telah memenuhi
syarat sebagai berikut:[6]
1) adanya
persetujuan dari kedua calon mempelai;
2) kedua calon mempelai tidak terikat tali perkawinan dengan orang
lain;
3) sekurang-kurangnya salah seorang beragama Protestan;
4) sekurang-kurangnya salah seorang merupakan anggota jamaat
gereja yang bersangkutan .
Perkawinan antara seorang
Protestan dan bukan Protestan dapat dilangsungkan di gereja apabila pihak yang
bukan Protestan membuat surat pernyataan bahwa ia tidak berkeberatan
perkawinannya dilaksanakan di gereja Protestan.
d. Menurut
Sistem Agama Hindu
Dalam agama Hindu,
perkawinan bersifat religious dan obligatoir karena dikaitkan dengan kewajiban
seseorang untuk mempunyai keturunan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan
menurunkan seorang putra. Perkawinan menurut Hindu hakikatnya adalah sakral dan
hanya sah dilakukan menurut agama tersebut. Hal ini berarti agama Hindu
melarang umatnya melakukan perkawinan antar agama.
e. Menurut Sistem Agama Budha
Perkawinan adalah dharma dan
yang paling utama adalah agar perkawinan itu tidak lepas dari ajaran mora1.
Dengan demikian diperlukan pemberkatan untuk kedua mempelai, karena pentingnya
pemberkatan ini maka sebaiknya agama kedua mempelai sebaiknya sama. Tetapi
perkawinan beda agama ini dilihat sebagai suatu yang fleksibel, selama tidak
melanggar dharma dan tidak menyimpang dari norma dan moral. Jika terjadi
perkawinan beda agama yang salah satunya penganut agama Budha, maka yang
terpenting adalah adanya kesepakatan dan persetujuan dari masing-masing
keluarga karena biksu hanya memberkati dan yang meresmikan perkawinan tersebut
adalah keluarga masing-masing yang diwakilkan kepada seorang dharmaduta (orang
yang diangkat oleh biksu untuk meresmikan perkawinan).[7]
Sebelum berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu peraturan hukum
antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang
dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken (RGH)
atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad
1898 No. 158.[8]
Pada Pasal 1 RGH dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang
yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan”.
Ada 3 pendapat mengenai
apakah RGH berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama,
kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar
agama dan antar tempat termasuk di dalam RGH; kedua, kelompok yang
berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan
antar tempat tidak termasuk di dalam RGH; dan ketiga, kelompok yang
berpendirian “setengah luas setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya
perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam RGH, sedangkan perkawinan antar
tempat tidak termasuk di dalam RGH.[9]
Hal itu penting bagi kita,
karena dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sebelum berlakunya UU No.1
Tahun 1974 telah ada suatu ketentuan perundang-undangan yang dapat memecahkan
persoalan yang timbul dari adanya perkawinan antar agama. Peraturan
perundang-undangan itu ialah peraturan tentang perkawinan campuran (GHR)
sebagai dimaksud di atas. Dengan begitu pasangan yang akan melangsungkan
perkawinan antar agama boleh merasa terlindung dan terjamin kepastian hukum
daripada perkawinan mereka dalam arti bahwa, walaupun menurut hukum agama
mereka masing-masing dianggap tidak sah, setidaknya diakui adanya oleh hukum
Negara. Keadaan mana sangat berpengaruh terhadap ketentraman jiwa kedua pihak.
2. Perkawinan
Beda Agama Setelah Diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974
Perkawinan adalah suatu
perbuatan hukum yang mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu
perbuatan hukum ditentukan oleh hukum formal. Hukum formal di bidang perkawinan
di Indonesia adalah Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dengan demikian
sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang ada
dalam undang-undang tersebut.[10] Perkawinan
di Indonesia sekarang diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dengan
lahirnya UU Perkawinan, maka telah ada keseragaman pengaturan tentang
perkawinan bagi seluruh golongan masyarakat di Indonesia. Melalui UU Perkawinan
maka perkawinan tidak hanya sekedar ikatan keperdataan antara seorang pria dan
wanita melainkan lebih kepada sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal. Berbeda dengan hukum perkawinan sebelumnya
yang menganut konsepsi hukum perkawinan perdata, Undang-Undang Tahun 1974
justru memberikan peranan yang sangat menentukan sah atau tidaknya suatu
perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing calon mempelai.[11]
Pasal 1 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan pengertian tentang perkawinan
sebagai ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 mengatur
“Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”, selanjutnya ayat (2) mengatur “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku”.
Apabila diperhatikan UU No. 1 Tahun 1974, tidak
terdapat pasal yang mengatur perkawinan beda agama. Sah atau tidaknya
perkawinan ditentukan oleh hukum agama masing-masing calon mempelai, ini
berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau
ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) dan pendeta atau pastur (bagi
Umat Kristen) telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka
perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agamanya dan kepercayaannya.
Sedangkan pencatatan tiap-tiap perkawinan itu merupakan persyaratan formil administratif.
Perkawinan beda agama, tidak
diatur secara tegas dalam UU No. 1 Tahun 1974, dengan tidak diaturnya masalah
perkawinan beda agama dalam UU No. 1 Tahun 1974 maka tidak jelas pula
diperbolehkan atau tidaknya pelaksanaan perkawinan beda agama. Sebagai pedoman
untuk mengetahui kejelasan permasalahan perkawinan beda agama seperti tersebut
di atas, dengan melihat pasal-pasal dalam UU No. 1 Tahun 1974 yaitu Pasal 2
ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, hal ini mengisyaratkan bahwa
undang-undang menyerahkan
kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan
syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut (di samping cara-cara dan
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh negara), jadi suatu perkawinan
dilarang atau tidak, atau apakah calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat
atau belum, di samping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam UU No 1 Tahun 1974, juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
Peraturan perkawinan campuran
di Indonesia sebelum UU No. 1 Tahun 1974
lebih baik dan mudah dilaksanakan (GHR S. 1898 – 158), karena
dimungkinkan berbagai perbedaan dicampur dalam keluarga melalui perkawinan yang
sah. Sejak tahun 1974 di Indonesia peraturan perkawinan campuran didasarkan
atas ketentuan Pasal 57 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan
percampuran hanya dapat dilakukan karena perbedaan kewarganegaraan. Bila yang
dicampur dalam keluarga itu berbeda agama, mereka harus melangsungkan
perkawinannya ke luar Indonesia, dengan syarat negara yang bersangkutan membenarkan
adanya kawin beda agama dan bagi WNI tidak boleh melanggar syarat perkawinan di
Indonesia. Syarat pertama mengakibatkan perkawinan membutuhkan biaya tinggi
(karena harus ke luar Indonesia), sedangkan syarat kedua yaitu tidak melanggar
syarat
kawin di Indonesia. Sedangkan di Indonesia tidak boleh kawin beda
agama. Syarat kedua inilah menimbulkan keraguan akan sahnya suatu perkawinan.
Selain itu, jika berpegang kepada sahnya suatu perkawinan didasarkan atas
adanya pencatatan, juga tidak menghapus keraguan itu, karena sebagai pejabat
negara, tentu tidak akan mencatat perkawinan yang melanggar syarat perkawinan
menurut undang-undang. Berdasarkan itu menurut kesan penulis, ketentuan perkawinan
campuran yang dianut oleh UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bersifat
munafik . Karena satu sisi boleh (asal dilakukan di luar Indonesia, sisi lain
dengan syarat tidak boleh melanggar syarat perkawinan di Indonesia). Namun
demikian, kelihatannya ketentuan Pasal 56 (1) UU No. 1 Tahun 1974 dapat mengatasi kesulitan warga negara
Indonesia yang melaksanakan perkawinan beda agama. Bunyi Pasal tersebut adalah
“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara
Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dan warga negara Asing adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan
undang-undang ini“.
Bila memperhatikan unsur
syarat (bagi WNI) ditetapkan bahwa “bagi warga negara Indonesia tidak melanggar
undang-undang ini”. Undang-undang ini maksudnya UU No.1 Tahun 1974, tentang
Perkawinan, Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Ketentuan Pasal ini dikatakan secara kontradiktif melarang perkawinan beda
agama. Karena itu unsur syarat ini akan menjadi penghalang perkawinan WNI beda
agama yang diselenggarakan di luar Indonesia. Dalam praktek unsur syarat yang
belakangan ini sering diabaikan, seperti yang pernah dilakukan oleh selebritis
Yuni Shara dengan pengusaha Hendrik Siahaan di luar Indonesia (Australia), kini
yang bersangkutan telah bercerai). Mengingat keabsahan suatu perkawinan
berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 haruslah dicatat (termasuk
perkawinan campuran dan perkawinan yang dilakukan di luar negeri), maka ayat 2
Pasal 56 menyatakan bahwa “Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu
kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan
di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka”. Mengenai pencatatan ini
pun terdapat masalah bila kita telaah,
yaitu yang dicatat tentunya perkawinan yang sah. Menjadi keliru bila Pegawai
Pencatat Perkawinan mencatat atau mendaftar perkawinan yang tidak sah. Dengan
uraian belakangan ini bila perkawinan yang diselenggarakan di luar Indonesia
bertentangan dengan Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, maka jika begitu
keadaannya pendaftarannya kelak di Indonesia harusnya
ditolak, sehingga tidak dapat memegang surat bukti kawinnya. Perkawinan
campuran haruslah tegas dan mudah dilaksanakan serta dengan biaya ringan,
seperti yang pernah berlaku di Indonesia dengan sebutan singkat GHR itu.
Apabila tidak demikian maka sulit pertanggungjawabannya dari aspek hukum maupun
HAM sebagaimana disinggung dalam Bab XA Pasal 28B ayat 1 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Termasuk dalam hal melalui perkawinan beda agama. Dengan ulasan kedua peraturan
tersebut di atas diharapkan dapat diambil hikmahnya dalam pembentukan peraturan
untuk waktu yang akan datang di bidang sinkronisasi pasal-pasal dan dapat
dijadikan pertimbangan revisi peraturan yang tak mampu memberi solusi dari
perbedaan.[12]
Mahkamah Agung mengeluarkan
putusan tentang perkawinan beda agama yang sangat kontroversi, namun putusan
tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak
secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1 Tahun 1974. Putusan Mahkamah Agung Reg.
No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam
menyelesaikan perkara perkawinan beda agama dapat menggunakan putusan tersebut
sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam
proses perkawinan beda agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan
antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil.
Jadi Dalam mengisi
kekosongan hukum karena dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur
tentang perkawinan beda agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal
20Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan
solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa
perkawinan beda agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil
sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan
yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima
permohonan perkawinan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Bahwa UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan campuran dalam artian perkawinan beda agama.
UU Perkawinan hanya mengenal perkawinan campuran dalam artian perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. sebagaimana di atur dalam Pasal 57 UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dengan demikian UU Perkawinan tidak secara tegas
melarang perkawinan beda agama secara eksplisit.
Berbeda dengan UU Perkawinan
No. 1 tahun 1974 ini, UU Perkawinan Campuran Tahun
1898 No. 158 (Gemengde Hoowelijken Regeling stbl. 1898 No. 158)
menyatakan bahwa perbedaan agama, bangsa atau keturunan sama sekali bukan menjadi
penghalang terhadap perkawinan (Pasal 7 GHR) . Sesuai dengan Ketentuan Penutup
Pasal 66 UU Perkawinan, maka Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng
de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU Perkawinan, dinyatakan tidak
berlaku.
Mahkamah Agung mengeluarkan
putusan Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 yang dapat dijadikan sebagai yurisprudensi
yang memberikan solusi hukum
bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan beda agama dapat diterima
permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang
berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak
beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman.
2011. Kompendium Bidang Hukum Perkawinan
(Perkawinan Beda Agama dan Implikasinya). Jakarta; Badan Pembinaan Hukum
Nasional.
Asmin. 1974. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 197. Cet. 1 Jakarta : PT. Dian
Rakyat.
Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama. Jakarta; Pt. Dian
Rakyat.
Hadikusuma. 1984. Bahasa Hukum Indonesi. Bandung: Penerbit
Alumni.
Rusli dan R. Tama. 2000. Perkawinan Antar Agama Dan
Permasalahannya. Bandung; Pionir Jaya.
Sosroadmodjo, Arso dan H.A. Wasit Aulawi. 1978. Hukum
Perkawinan di Indonesia. Jakarta; Bulan Bintang.
Tama, R dan Rusli. 1984. Perkawinan Antar Agama Dan Masalahannya.
Bandung; Shantika Dharma.
Trisnaningsih, Murdiarti. 2007. Relevansi Kepastian Hukum Dalam
Perkawinan Beda Agama Indonesia. Bandung; CV. Utomo.
[1] Abdurrahman,
2011, Kompendium Bidang Hukum Perkawinan
(Perkawinan Beda Agama dan Implikasinya), Jakarta; Badan Pembinaan Hukum
Nasional, hlm. 6.
[2] Rusli dan R. Tama, 2000, Perkawinan Antar Agama Dan
Permasalahannya, Bandung; Pionir Jaya, hlm. 11.
[4] Mudiarti Trisnaningsih, 2007, Relevansi Kepastian Hukum Dalam
Perkawinan Beda Agama Indonesia, Bandung; CV. Utomo, hlm. 4.
[5] R. Tama dan Rusli, 1984, Perkawinan Antar Agama Dan
Masalahannya, Bandung; Shantika Dharma, hlm. 25.
[7]Arso
sosroadmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, 1978,
Hukum Perkawinan di Indonesia,
Jakarta; Bulan Bintang, hlm. 29.
[10] Asmin, 1974, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 197,. Cet. 1 Jakarta : PT. Dian
Rakyat, hlm. 22.
No comments:
Post a Comment