EKSISTENSI
HUKUM ADAT DALAM POLITIK PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia adalah
negara bahari yang terhubung oleh lautan yang luas. Selain terdiri dari ribuan
hukum adat, konsekuensi negeri bahari ini juga merupakan tantangan besar bagi
kita untuk tetap berkomitmen dalam hidup berbangsa dan bernegara. Konsekuensi
dari keanekaragaman hukum adat dan kebaharian negara kita mengancam kepunahan
berbagai bahasa suku, hilangnya hukum adat, kaburnya berbagai identitas budaya
dari tengah masyarakat dan lemahnya otoritas lembaga adat dalam kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan.
Di dalam setiap
adat, bahasa, suku dan agama itu, terkandung sistem nilai dan sistem
pengetahuan yang sudah bertumbuh ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Negeri
kita diatur dan dikelola secara turun-temurun dengan ribuan hukum adat, dipandu
oleh ratusan sistem kepercayaan dan agama. Indonesia adalah bangsa yang
dibangun dari ratusan atau bahkan ribuan bangsa-bangsa yang berdaulat, mandiri
dan bermartabat, yang dalam sejarahnya masing-masing mengalami pasang surut.
Ribuan hukum adat ini merupakan konsekuensi dari beragam suku bangsa di
berbagai daerah di Indonesia.
Sejak reformasi bergulir tahun 1998
sudah banyak peraturan perundang-undangan yang lahir untuk mengakui keberadaan
dan hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam dan hak-hak dasar lainnya.
Berbagai produk legislasi tersebut menyentuh semua level mulai dari konstitusi
sampai peraturan desa. Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas
menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Setelah
amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : “ Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Kemudian
sejumlah undang-undang khususnya yang terkait dengan sumber daya alam berisi
pengakuan atas keberadaan hak-hak masyarakat adat. Seakan tidak lengkap sebuah
peraturan bila tidak berisi pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak
masyarakat adat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh advokasi yang dilakukan oleh
masyarakat adat dan para pendukungnya yang sejak kemunculannya memang hendak
mengatur ulang hubungan antara masyarakat adat dengan negara.
Tidak berhenti pada level
nasional, pada level daerah pun terdapat sejumlah inisiatif serupa. Hal sejalan
dengan semangat desentralisasi dan juga diinspirasikan oleh lahirnya Peraturan
Menteri Agraria No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Meskipun Permenag itu mengatur bahwa penyelesaian
hak ulayat masyarakat adat dapat dilakukan dengan Perda, tetapi pada kenyataannya
diterjemahkan bahwa Perda dapat dipakai untuk mengakui keberadaan dan hak-hak
masyarakat adat atas tanah. Politik pengakuan (politic of recognition)
menjadi kata kunci dalam memperlakukan masyarakat adat pada situasi
kontemporer.
Berangkat dari situasi
sosial sebagaimana demikian, lalu muncul suatu pertanyaan mengenai bagaimana
mendudukkan upaya implementasi konsep Negara Hukum di satu sisi, dengan
dorongan mempertahankan dan melindungi keberadaan masyarakat adat di sisi yang
lain dengan sistem hukum adatnya yang berbeda dengan sistem hukum Eropa
kontinental yang memiliki akar historis dan filosofis yang sama dengan konsep
Negara Hukum dan sekaligus sebagai sistem hukum yang secara formal diterapkan
oleh negara. Dengan kata lain, seberapa mungkinkah upaya perlindungan terhadap
entitas masyarakat adat dilakukan linier dengan upaya implementasi konsep
Negara Hukum dalam konteks Indonesia saat ini sedangkan keduanya bisa dikatakan
berangkat dari kutub yang tidak sama? Hal inilah yang akan diulas dan
dipaparkan dalam makalah ini dengan menelaah satu per satu konsep-konsep yang
ada, baik itu konsep Negara Hukum maupun konsep masyarakat adat dan hukum adat
serta perlindungan atas kedua entitas ini dalam kerangka implementasi Negara
Hukum dengan mendasarkan diri pada fakta-fakta yuridis baik itu secara normatif
maupun empiris yang berkembang dalam realitas tata hukum Indonesia saat ini,
dan hal tersebut dimulai dengan telaah atas konsep Negara Hukum.
B.
Perumusan Masalah
1.
Bagaimana
kedudukan hukum adat dalam pembangunan politik hukum nasional?
2.
Apa
yang menjadi kendala eksistensi hukum adat dalam pembangunan politik hukum
nasional?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Kedudukan Hukum Adat Dalam Pembangunan
Politik Hukum Nasional
Hukum Adat adalah hukum yang
berlaku dan berkembang dalam lingkungan masyarakat di suatu daerah. Ada
beberapa pengertian mengenai Hukum Adat. Menurut Hardjito Notopuro Hukum Adat adalah hukum tak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan
pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan
masyarakat dan bersifat kekeluargaan. Soepomo,
Hukum Adat adalah sinonim dari hukum tidak tertulis di dalam peraturan
legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara (parlemen,
dewan Provinsi, dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan
yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.
Menurut Cornelis van Vollennhoven
Hukum Adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku bagi orang pribumi dan
Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena bersifat hukum), dan pada
pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat).[1]
Keanekaragaman hukum (legal pluralism),
secara substantif pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu
situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam
suatu bidang kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua
atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial atau
menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi
dalam satu kehidupan sosial atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem
hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan
hubungan-hubungan dalam satu
kelompok
masyarakat.[2]
Sebagai negara yang menganut tradisi Civil Law System, maka dalam
membaca sistem hukum positif Indonesia haruslah berangkat dari hirarki
perundang-undangan yang paling kuat yakni konstitusi yang diwujudkan dalam UUD
1945. Begitu pula dalam mengelaborasi pengaturan mengenai eksistensi masyarakat
adat dan hukum adat dalam sistem hukum positif Indonesia, hal yang paling mudah
adalah dengan pertama kali mengkaji pengaturannya dalam UUD 1945. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD tahun 1945,
yang diberlakukan kembali menurut Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959) tiada
satu Pasal pun yang memuat dasar (perundang-undangan) berlakunya hukum adat
itu. Menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD maka "Segala badan Negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini". Sebelum berlakunya kembali UUD ini, maka
berlaku Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Dalam Undang-Undang Dasar
sementara itu Pasal 104 ayat 1 mengatakan bahwa "Segala keputusan
pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut
aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.
"Tetapi ketentuan ini, yang jikalau kita mengartikan "hukum
adat" itu seluas-luasnya, memuat suatu grondwettelijke
grondslag (dasar konstitusional) berlakunya hukum adat, sampai sekarang
belum diberikan dasar hukum penyelenggaraannya (Undang-Undang organik).
Dasar perundang-undangan
berlakunya hukum adat, yang berasal dari zaman kolonial dan yang pada zaman
sekarang masih tetap berlaku, adalah Pasal 131 ayat 2 sub b IS. Menurut
ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum
timur asing berlaku hukum adat mereka. Tetapi bilamana keperluan sosial mereka
memerlukannya, maka pembuat ordonansi dapat menentukan bagi mereka:
a. hukum Eropa ;
b. hukum Eropa yang telah
diubah (gewijzigd Europees recht);
c. hukum bagi beberapa golongan bersama-sama
(gemeenschappelijkrecht), dan apabila kepentingan umum memerlukannya.
d. hukum baru (nieuw recht), yaitu hukum yang merupakan syntese antara hukum adat dan hukum
Eropa (fantasierecht van Vollen hoven
atau ambtenarenrecht van Idsinga)
Hukum adat tumbuh dari
cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia. Maka hukum adat dapat dilacak
secara kronologis sejak Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan, yang tersebar
di seluruh nusantara. Realitas sosial budaya dikonstruksikan oleh pujangga yang
satu dikonstruksikan oleh pujangga yang lain, serta dikonstruksikan kembali
pujangga berikutnya. Masa Sriwijaya, Mataram kuno, Masa Majapahit beberapa
inskripsi (prasasti) menggambarkan perkembangan hukum yang berlaku (hukum
asli), yang telah mengatur beberapa bidang, antara lain:[3]
1. Aturan keagamaan, perekonomian dan pertambangan, dimuat dalam
Prasasti Raja Sanjaya tahun 732 di Kedu, Jawa Tengah;
2. Mengatur keagamaan dan kekayaan, dimuat dalam prasasti Raja
Dewasimha tahun 760;
3. Hukum Pertanahan dan Pertanian ditemukan dalam Prasasti Raja
Tulodong, di Kediri., 784 dan prasasti tahun 919 yang memuat jabatan
pemerintahan, hak raja atas tanah, dan ganti rugi;
4. Hukum mengatur tentang peradilan perdata, dimuat dalam prasasti
Bulai Rakai Garung, tahun 860;
5. Perintah Raja untuk menyusun aturan adat, dalam prasasti
Darmawangsa tahun 991;
6. Pada masa Airlangga, adanya penetapan lambang meterai kerajaan
berupa kepala burung Garuda, pembangunan perdikan dengan hak-hak istimewanya,
penetapan pajak penghasilan yang harus dipungut pemerintah pusat;
7. Masa Majapahit, tampak dalam penataan pemerintahan dan
ketatanegaraan kerajaan Majapahit, adanya pembagian lembaga dan badan pemerintahan.
Setelah jatuhnya Majapahit, maka kerajaan Mataram sangat diwarnai oleh pengaruh
Islam, maka dikenal peradilan qhisos, yang memberikan pertimbangan bagi Sultan
untuk memutus perkara. Di pedalaman, penyelesaian perselisihan antara perorangan
oleh peradilan desa,dilakukan secara damai. Bersamaan itu,maka di Cirebon
dikenal: Peradilan Agama memutus perkara yang membahayakan masyarakat
umum,Peradilan Digrama yang memutus pelanggaran adat, dan perkara lain yang tidak
masuk peradilan agama; dan Peradilan Cilaga adalah peradilan dalam bidang
perekonomian, perdagangan, jual beli, hutang piutang.
Beberapa contoh tersebut di
atas menunjukkan bahwa tatanan
hukum asli yang telah berlaku di berbagai daerah, yang sekarang dikenal dengan
nama Indonesia menunjukkan hukum bersumberkan pada masyarakat asli, baik berupa
keputusan penguasa maupun hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat
setempat.
Di dalam UUD 1945, tidak
terdapat peraturan yang secara spesifik mengatur tentang hukum adat, melainkan
hanya peraturan tentang eksistensi masyarakat hukum adat, yakni dalam pasal 18B
ayat 2 dan pasal 28I ayat 3.
Pasal 18B ayat 2 berbunyi:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.”
Sedangkan pasal 28I ayat 3 berbunyi:
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Konstitusi kita sebelum
amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah
hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya
rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum
adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini
mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan
hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal
33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan. Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintrodusir
hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat,
Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat. Dalam konstitusi
RIS pasal 146 ayat 1 disebutkan bahwa segala keputusan kehakiman harus berisi
alasan-alasannya dan dalam perkara harus menyebut aturan-aturan
undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang
dijadikan dasar hukum itu Selanjutnya dalam UUD Sementara, pasal 146 ayat 1
dimuat kembali. Dengan demikian hakim harus menggali dan mengikuti perasaan
hukum dan keadilan rakyat yang senantiasa berkembang. Dalam Pasal 102 dan
dengan memperhatikan ketentuan pasal 25 UUDS 1950 ada perintah bagi penguasa
untuk membuat kodifikasi hukum. Maka hal ini termasuk di dalamnya hukum adat.
Perintah kodifikasi ini pada hematnya juga berlaku pula terhadap hukum adat,
dan perintah kodifikasi ini merupakan pertama kalinya disebutkan di dalam
Peraturan Perundang-Undangan Republik
Indonesia yang mengatur ketentuan terhadap kodifikasi hukum adat, walaupun
dalam kenyataannya belum dapat dilaksanakan.[4]
Adanya konsep pengakuan
terbatas ini lebih terlihat lagi pada pengaturan dalam tingkat legislasi
(undang-undang), yang bisa dimulai dari UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) sebagai
undang-undang yang secara tegas tidak hanya mengatur eksistensi masyarakat adat
tetapi juga hukum adat. Pengaturan UUPA
mengenai masyarakat adat bisa ditemui dalam pasal 2 ayat 4 dan pasal 3,
sedangkan pengaturan mengenai hukum adat bisa ditemui dalam pasal 5.
Pasal 2 ayat 4 UUPA
menyebutkan:
“Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 3 UUPA
menyebutkan:
“Dengan mengingat ketentuan pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.”
Sedangkan pasal 5 UUPA
menyebutkan:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa
adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia,
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Berdasarkan ketentuan
pasal-pasal dalam UUPA di atas, jelas terlihat bahwa eksistensi masyarakat adat
dan hukum adat diakui hanya jika tidak bertentangan dengan perundang-undangan dan
kepentingan nasional, di mana mengenai perihal kepentingan nasional ini harus
dirujuk pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 3
UUPA, yakni kepentingan penguasaan negara dalam level yang tertinggi atas bumi,
air, ruang angkasa beserta segala kekayaan alam yang ada di dalamnya. Khusus mengenai pengaturan tentang hukum adat
sebagaimana disinggung dalam Pasal 5 UUPA, dalam penjelasan pasal tersebut yang
kemudian merujuk pada penjelasan umum poin III butir (1) disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan istilah “hukum adat” di
sini adalah “hukum adat yang telah disempurnakan dan disesuaikan dengan
kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia
internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia” yakni sekedar
bermakna sebagai hukum yang mewujudkan kesadaran masyarakat Indonesia yang
berbeda dari hukum perdata barat (yang sudah tidak dipakai lagi). Sehingga,
istilah hukum adat yang disebut dalam Pasal 5 UUPA ini bukanlah hukum yang
berlaku dalam lingkungan-lingkungan masyarakat adat sebagaimana menjadi makna
hukum adat secara tradisional, tetapi merupakan “hukum adat yang sudah
dihilangkan sifat kedaerahannya dan diganti dengan sifat nasional”.[5]
Pengaturan mengenai
masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya di bawah konsep pengakuan terbatas
sebagaimana linier dengan UUPA juga dapat ditemui pada UU Kehutanan (UU No. 41
Tahun 1999). Beberapa pasal yang mengatur tentang eksistensi masyarakat adat
dalam UU Kehutanan ini antara lain adalah pasal 4 ayat 3, dan pasal 67. Pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan menyebutkan:
“Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat
hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.”
Sedangkan pasal 67 UU ini
menyebutkan:
“(1). Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya berhak:
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat
yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka peningkatan
kesejahteraannya.
(2). Pengukuhan dan hapusnya keberadaan masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3). Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Lebih jauh lagi, penjelasan
pasal 67 menyebutkan:
“Ayat (1): Masyarakat hukum
adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang
masih ditaati; dan
e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.”
Berdasarkan uraian di atas,
maka menurut UU Kehutanan, eksistensi masyarakat adat diakui keberadaannya
hanya jika keberadaannya tersebut telah ditetapkan Perda yang mendasarkan diri
pada kriteria sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan pasal 67 ayat 1 di atas,
dan hal yang paling fundamental di atas itu semua adalah bahwa pengakuan
keberadaan masyarakat adat tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
nasional sebagaimana ditegaskan dalam pasal 4 ayat 3.
Hukum suatu bangsa
sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa bersangkutan,
maka sebenarnya pembentukan hukum suatu negara harus bebas dari pengaruh dan
kepentingan negara lain. Kalau belakangan terdengar nyaring disuarakan, kita
butuh pembentukan hukum yang demokratis, namun pembentukan hukum yang
demokratis tidak sekaligus berarti hukum yang dibentuk akan efektif. Dalam
konteks ini misalnya, misi dari sebuah undang-undang bukan terletak dari seberapa demokratis pembentukan
undang-undang yang dibentuk, tetapi terletak pada sejauh mana apa yang ingin
dituju dari pembentukan undang-undang dapat dicapai atau tercapai. Artinya,
keuntungan dari pembuatan hukum partisipatif lebih merupakan sebagai upaya
meningkatkan karakter demokratis dan legitimasi hukum dari undang-undang yang
dibentuk. Jika hukum suatu bangsa
merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa bersangkutan, maka ia menjadi
paradoks dengan globalisasi hukum. Meskipun dalam beberapa hal tertentu
globalisasi hukum dipahamkan pula globalisasi hukum akan tetap berlangsung
dalam sistem hukum yang berbeda. Betapapun globalisasi hukum sesuatu yang sukar
dihindari, tetapi negara bangsa tidak akan begitu saja menyerahkan fungsi
kedaulatan mereka, dan dalam suatu sistem global tidak akan berlangsung bebas kontrol
dari negara bangsa karena globalisasi bukanlah jalan tol tanpa mekanisme. Mekanisme
bagaimana lalu lintas hubungan masyarakat negara bangsa, justru dibangun atas
suatu perjanjian atau kontrak, konvensi, sehingga bedanya yang tadinya pembatas
itu adalah hukum nasional, kemudian
pembatasan itu adalah kesepakatan antara negara bangsa.[6]
Selagi masih belum dibentuk
suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai keberadaan masyarakat hukum
adat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18B ayat 2 UUD 1945,sesungguhnya masih
banyak undang-undang lain beserta peraturan teknis turunannya yang mengatur
keberadaan masyarakat adat, namun dari sekian banyak perundang-undangan
tersebut terdapat satu kesamaan yakni konsep pengakuan atas keberadaan
masyarakat adat adalah konsep pengakuan terbatas yakni bahwa masyarakat adat
diakui keberadaannya (berikut hak-haknya)sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan negara dan tidak bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan. Konsekuensi dari
adanya konsep pengakuan sebagaimana demikian, sebagai turunan langsung dari
konsep Negara Hukum, adalah bahwa jika ternyata terdapat eksistensi masyarakat
adat berikut hak-hak dan kepentingannya yang bertentangan dengan kepentingan
negara (kepentingan nasional), ataupun jika ada aturan hukum adat yang bertentangan
dengan aturan hukum positif negara dalam perundang-undangan, maka keberadaan
masyarakat adat beserta kepentingan-kepentingan dan hak-hak tradisionalnya yang
diatur dalam hukum adat tersebut bisa diabaikan. Hal inilah yang kemudian
sering kali berujung pada konflik sosial yang pada umumnya melibatkan
masyarakat adat di satu sisi dan negara beserta perusahaan di sisi yang lain
yang berkepentingan hendak melakukan investasi dan “pembangunan” pada area di
lokasi di mana masyarakat adat tersebut tinggal, hidup, dan mendasarkan
kehidupannya, yang mana konflik ini berakar pada kontradiksi kepentingan di
antara para pihak yang masing-masing mendasarkan diri pada tatanan normatif
sistem hukum yang sama sekali berbeda satu sama lain, yakni antara hukum adat
(yang digunakan sebagai dasar berpikir dan bertindak masyarakat adat) dan hukum
positif (yang digunakan sebagai dasar berpikir dan bertindak negara dan
perusahaan yang terlibat).
2.
Kendala Eksistensi Hukum Adat Dalam
Pembangunan Politik Hukum Nasional
Hal yang pertama-tama harus
dipahami dalam menelaah sistem hukum adat adalah bahwa sistem hukum ini adalah
sistem hukum yang sama sekali berbeda dengan sistem hukum barat beserta segala
konsep ikutannya, termasuk konsep mengenai eksistensi negara. Jika sistem hukum negara (dan konsep Negara
Hukum) berdasar penuh pada keberadaan negara dengan akar kesejarahan pada masa
Yunani kuno, maka sistem hukum adat berdiri di atas akar kesejarahan masyarakat
adat itu sendiri yang sudah ada jauh sebelum konsep hukum negara dan Negara
Hukum ditransplantasikan oleh bangsa Eropa melalui kolonialisme di
negara-negara timur dan selatan, termasuk di wilayah Nusantara. Hal ini kiranya sejalan dengan konsep dasar
mengenai Hukum Adat sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum (bagi
masyarakat Indonesia asli) yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan yang
dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda.[7]
Beberapa sarjana Indonesia
kemudian mencoba menjelaskan dan mengembangkan konsep tentang hukum adat ini
secara lebih jauh, yang mana dari sekian banyak konsep tersebut dapat dirangkum
kurang lebih ke dalam beberapa poin sebagai berikut:[8]
1.
Hukum adat
adalah hukum yang (sebagian besar) terbentuk dari adat atau kebiasaan;
2.
Hukum adat
berasal dari nilai-nilai masyarakat Indonesia asli;
3.
Hukum adat
(sebagian besar) berbentuk tidak tertulis;
4.
Hukum adat
adalah adat yang memiliki sanksi;
5.
Hukum adat
memiliki corak khas yang membedakannya dengan sistem hukum yang lain.
Corak khas tersebut antara lain meliputi:[9]
1.
Corak yang
pertama adalah religius magis. Artinya bahwa norma-norma hukum adat senantiasa
berkaitan dengan suatu keyakinan gaib atau metafisik.
2.
Corak yang
kedua adalah komunalistik, yakni bahwa dalam hukum adat terdapat dua prinsip dasar.
Pertama, hukum adat selalu memposisikan kepentingan persekutuan di atas segala
kepentingan yang lain yang ada di masyarakat. Kedua, hukum adat selalu
memandang seorang individu dalam kaitannya yang erat dengan persekutuannya yang
diliputi oleh semangat kekeluargaan yang kuat.
3.
Corak yang
ketiga adalah faktual, yakni bahwa hukum adat selalu menyelesaikan suatu
persoalan berdasarkan konteksnya, sehingga permasalahan-permasalahan yang
serupa tidak akan selalu diselesaikan secara sama.
4.
Corak yang
keempat adalah visual, yakni bahwa menurut hukum adat, suatu perbuatan hukum
hanya dapat dikatakan sah jika dipersaksikan oleh pihak lain.
5.
Corak yang
kelima adalah fleksibel dan dinamis, yakni bahwa hukum adat bukanlah hukum yang
kaku, melainkan senantiasa berubah seiring dengan perkembangan budaya.
6.
Corak yang
keenam, dan sekaligus yang terpenting, adalah tradisional, yakni bahwa hukum
adat adalah hukum yang dipertahankan keberlakuannya secara turun-temurun dari
generasi ke generasi.
Menurut Koesnoe, dikaitkan dengan corak fleksibel dan dinamis, maka corak
tradisional dalam hukum adat ini juga membawa makna bahwa apa yang menjadi
aturan pada hari ini dalam hukum adat tidak akan meninggalkan apa yang ada pada
masa lampau.[10]
Berdasarkan uraian mengenai
konsep dasar tentang hukum adat di atas, jelas terlihat bahwa hukum adat adalah
suatu sistem hukum yang khas dan oleh karenanya berbeda dengan sistem hukum
yang lain, termasuk dengan sistem hukum barat sebagai bagian dari konsep Negara
Hukum. Sehingga, bisa dikatakan bahwa hukum adat adalah sistem hukum yang tidak
sebangun dengan konsep Negara Hukum. Ketidak sebangunan ini antara lain bisa
dilihat dari beberapa perbedaan yang cukup kontras antara karakteristik hukum
adat dengan elemen-elemen umum dalam konsep Negara Hukum. Perbedaan tersebut
antara lain meliputi:
Pertama, bahwa dalam konsep
Negara Hukum, yang menjadi supremasi adalah hukum negara, sedangkan hukum adat
bukan merupakan hukum buatan negara melainkan hukum yang lahir dari kebiasaan
sehari-hari masyarakat.
Kedua, bahwa dalam konsep
Negara Hukum adanya prinsip legalitas yakni hukum haruslah bersifat jelas,
pasti, dan terukur serta tidak berubah-ubah adalah prasyarat mutlak, sedangkan
dalam hukum adat hukumnya justru bersifat tidak tertulis dan bersifat fleksibel
serta dinamis, dan setiap permasalahan yang muncul justru diselesaikan menurut
keadaan yang ada (cenderung bersifat arbitrer).
Ketiga, dalam kategorinya
yang substantif, salah satu elemen dari konsep Negara Hukum yang vital adalah
adanya perlindungan atas hak dan kebebasan individu. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam konsep Negara Hukum, hak-hak individu adalah hak-hak yang dipandang
fundamental, sebagai konsekuensi dari paham liberalisme dalam kultur Eropa sebagai
rahim lahirnya konsep ini, dan sekaligus sebagai perwujudan tujuan Negara Hukum
itu sendiri yakni untuk melindungi (keselamatan dan hak milik pribadi) tiap
warga negara dari tindakan sewenang-wenang baik oleh negara maupun oleh sesama
warga negara. Hal ini berbeda dengan hukum adat di mana hak yang paling utama
bukanlah hak individu, melainkan hak persekutuan. Menurut hukum adat, hak
individu bisa dikesampingkan jika ia bertentangan dengan hak persekutuan.
Uraian dalam makalah ini
bertujuan untuk menunjukkan kepada publik bahwa dengan berlatar belakang
realitas pluralitas hukum di Indonesia, konstruksi Negara Hukum dalam konteks
Indonesia bukanlah suatu hal yang sifatnya telah selesai. Sebaliknya,
konstruksi tersebut masih memiliki problematika yang cukup serius berkaitan
dengan adanya pluralitas struktur sosiopolitik masyarakat Indonesia beserta
tatanan normatif hukumnya, yang walaupun secara yuridis normatif telah tuntas
dikonstruksikan di atas sebuah blue print
bernama UUD 1945, namun dalam tataran yuridis empiriknya masih belum berhasil
terunifikasikan sebagaimana yang terekspektasikan dalam konsep normatif yang
ada. Salah satu penyebab persoalan
tersebut adalah adanya transplantasi konsep dari Negara Hukum itu sendiri yang
dilakukan sebagai bagian dari proses kolonialisme Eropa (Belanda) di Nusantara
yang kemudian diteruskan begitu saja ke dalam dimensi baru bernama Tata Hukum
Indonesia tanpa melalui telaah yang mendalam dan kontekstualisasi berkait
dengan pluralitas hukum yang secara nyata menjadi bagian inheren sosialita
bangsa Indonesia. Persoalan yang ada
justru kian menjadi kronis dengan adanya wacana perlindungan hak-hak komunitas
di bawah konsep Negara Hukum. Sulitnya perwujudan gagasan ini berkaitan dengan
adanya eksistensi hukum adat dan masyarakat adat di Indonesia adalah contoh
nyata bahwa gagasan ini cenderung bersifat simplistis dan reduksionis.
Alih-alih berhasil, uraian di atas telah menunjukkan bahwa pemaksaan gagasan
ini justru berujung pada konflik sosial yang seharusnya bisa dihindari, di mana
adanya konflik tersebut justru memperlemah justifikasi konsep Negara Hukum itu
sendiri. Mendasarkan diri pada semua
permasalahan dan fakta yuridis yang ada, baik secara teoretis maupun secara
empiris, hal yang seharusnya dilakukan adalah dengan merekonstruksi konsep
Negara Hukum Indonesia itu sendiri alih-alih menjalankan hasil transplantasi
dari konsep tersebut secara taking for
granted, yakni dengan membangun konsep tentang Negara Hukum yang
disesuaikan secara substantif dan riil dengan realitas sosiopolitik masyarakat
Indonesia yang bersifat plural ini, sehingga nantinya diharapkan akan terwujud
suatu konsep Negara Hukum Indonesia yang berkeIndonesiaan.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Di Indonesia belum dibentuk
suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai keberadaan masyarakat hukum
adat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18B ayat 2 UUD 1945,baik dalam UUPA, dan UU kehutanan. Sesungguhnya masih
banyak undang-undang lain beserta peraturan teknis turunannya yang mengatur
keberadaan masyarakat adat, namun dari sekian banyak perundang-undangan
tersebut terdapat satu kesamaan yakni konsep pengakuan atas keberadaan
masyarakat adat adalah konsep pengakuan terbatas yakni bahwa masyarakat adat
diakui keberadaannya (berikut hak-haknya)sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan negara dan tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
Yang menjadi kendala dalam menjadi kendala eksistensi hukum adat
dalam pembangunan politik hukum nasional
antara lain:
1.
Dalam
konsep Negara Hukum, yang menjadi supremasi adalah hukum negara, sedangkan
hukum adat bukan merupakan hukum buatan negara melainkan hukum yang lahir dari
kebiasaan sehari-hari masyarakat.
2.
Dalam
konsep Negara Hukum adanya prinsip legalitas yakni hukum haruslah bersifat
jelas, pasti, dan terukur serta tidak berubah-ubah adalah prasyarat mutlak,
sedangkan dalam hukum adat hukumnya justru bersifat tidak tertulis dan bersifat
fleksibel serta dinamis, dan setiap permasalahan yang muncul justru diselesaikan
menurut keadaan yang ada (cenderung bersifat arbitrer).
3.
Dalam
kategorinya yang substantif, salah satu elemen dari konsep Negara Hukum yang
vital adalah adanya perlindungan atas hak dan kebebasan individu. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam konsep Negara Hukum, hak-hak individu adalah hak-hak
yang dipandang fundamental, sebagai konsekuensi dari paham liberalisme dalam
kultur Eropa sebagai rahim lahirnya konsep ini, dan sekaligus sebagai
perwujudan tujuan Negara Hukum itu sendiri yakni untuk melindungi (keselamatan
dan hak milik pribadi) tiap warga negara dari tindakan sewenang-wenang baik
oleh negara maupun oleh sesama warga negara. Hal ini berbeda dengan hukum adat
di mana hak yang paling utama bukanlah hak individu, melainkan hak persekutuan.
Menurut hukum adat, hak individu bisa dikesampingkan jika ia bertentangan
dengan hak persekutuan.
DAFTAR PUSTAKA
Wulansari, Dewi C. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. PT
Refika Aditama. Bandung. 2010.
Rato, Dominikus. Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami
Hukum Adat di Indonesia). Laksbang Pressindo. Yogyakarta. 2011.
Simarmata, Rikardo. 2006. Pengakuan
Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta. Regional Initiative
on Indigenous Peoples’ Rights and Development. UNDP.
Rahardjo, Satjipto. Hukum Dalam Perspektif Sejaradan Perubahan
Sosial, dalam Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum nasional,
Editor Artdjo Alkostar dkk, Rajawali, Jakarta 1986.
Wignjodipuro, Surojo. 1979. Pengantar
dan Azas-Azas Hukum Adat. Bandung. Penerbit
Alumni.
Hadikusuma, Hilman. 1992. Pengantar
Ilmu Hukum Adat. Bandung. Mandar Maju.
F.
Von Benda Beckman, dalam H. Abdurrahman, “Hukum Adat Dalam Perkembangan
Pluralisme Hukum di Indonesia” Makalah yang disampaikan pada seminar
tentang Pluralisme Hukum dan Tantangannya bagi Pembentukan Sistem Hukum
Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Depkumham di Makassar 1-2 Mei 2007.
[1] Dewi C Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, PT
Refika Aditama, Bandung, 2010, hal 34.
Indonesia” Makalah yang disampaikan
pada seminar tentang Pluralisme Hukum dan Tantangannya bagi Pembentukan Sistem
Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Depkumham di Makassar 1-2 Mei
2007.
[3] Dominikus Rato, Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami
Hukum Adat di Indonesia) , Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2011, hal 110.
[4] Dewi C Wulansari., Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar,
PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hal 108.
[5] Rikardo Simarmata, 2006,
“Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia,” Jakarta, Regional
Initiative on Indigenous Peoples’ Rights and Development, UNDP, hlm. 36.
[6] Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sejaradan Perubahan
Sosial, dalam Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum nasional,
Editor Artdjo Alkostar dkk, Rajawali, Jakarta 1986, hal 27.
Alumni, hlm 3.
No comments:
Post a Comment