PERAN
KEPRIBADIAN SEORANG PENEGAK HUKUM DALAM EFEKTIFITAS PENEGAKAN HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Derasnya arus
globalisasi melalui pemanfaatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
merambah keseluruh negara di dunia, dan menjadikan dunia seakan tanpa batas (borderless
world). Seiring dengan perkembangan global tersebut, telah berkembang pula isu
global yang mencakup demokratisasi, HAM, lingkungan hidup dan keterbukaan, yang
disamping membawa dampak positif dalam semangat kebersamaan antar bangsa di
dunia, juga sering dimanfaatkan oleh negara adidaya untuk melakukan intervensi
terhadap negara-negara berkembang yang menurutnya mengabaikan nilai-nilai
demokratisasi, HAM, lingkungan hidup dan nilai-nilai global lainnya.
Menyikapi berbagai
permasalahan bangsa dan krisis multi dimensi yang melanda Indonesia termasuk krisis
di bidang hukum yang sarat dengan penyimpangan dan kepentingan politik. Bahkan
terkesan bahwa penyimpangan-penyimpangan tersebut seolah dilindungi oleh “pembiasan
hukum” yang berlaku saat itu. Karena berbagai undangundang, peraturan didesain
untuk melindungi perbuatan-perbuatan penyimpangan yang pada akhirnya dijadikan
“pembenaran” dan sangat merugikan masyarakat sebagai “pencari keadilan”. Pada
sisi lain telah berkembang fenomena-fenomena yang merupakan kelemahan proses penegakan
hukum, dan sering kali tidak mencerminkan rasa ketidak adilan dan kepastian
hukum, sehingga dapat mengakibatkan kekecewaan dan lunturnya kepercayaan
masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
Dikemukakan lebih
lanjut bahwa hukum sebagai agen kekuasaan maka hukum sebagai instrumen negara,
hukum dapat dipisahkan dari masyarakatnya. Dengan demikian, hukum sebagai alat
mengubah social (law action upon society) maka hukum berpengaruh
terhadap sistem sosial. Kelemahan dari konsep ini, ukurannya bukan didasarkan pada
kesesuaian atas adat istiadat masyarakat namun lebih dikonsentrasikan pada
kekuasaan politik dan sebagai tolok ukurnya ialah efektivitas hukum yang
didasarkan pada hukum yang berkembang di masyarakat. Kondisi ini
memunculkan masalah yang tidak pasti bagi masyarakat di mana hukum
seolah-olah tercabut dari akar masalahnya di mana
aturan-aturan itu hanya bersifat
teknis belaka tanpa dilandasi unsur
moralnya (a purely technical
regulation) maka terjadilah fenomena
hukum sebagai suatu wilayah
pengetahuan estoric yang asing dan
tertinggal dari praktisi hukum (law
becomes an alliance realism of ectoric
knowledge left only to lawyers).
Dalam konsep Negara hukum, Negara berdiri di atas
hukum dan menjamin rasa keadilan kepada warga negaranya. Untuk mewujudkan suatu
Negara hukum, menurut Soerjono Soekanto
sebagaimana dikutip oleh Eddy OS Hiariej,
paling tidak ada lima faktor yang mempengaruhi, pertama, hukum itu
sendiri, baik dalam pengertian substansial dari suatu peraturan perundang-undangan
maupun hukum formal untuk menegakan hukum materil, kedua adalah profesionalisme
aparat penegak hukum, ketiga sarana dan prasarana yang cukup memadai, keempat
adalah presepsi masyarakat terhadap hukum, dan yang kelima adalah budaya hukum
itu sendiri.[1]
Dari ke lima faktor di atas yang penulis akan bahas
adalah faktor penegak hukum, yaitu mengenai pengaruh dari kepribadian aparat
penegak hukum dalam efektivitas penegakkan hukum.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran kepribadian aparat penegak hukum
dalam efektivitas penegakkan hukum?
2. Kepribadian seperti apakah yang dapat meningkatkan
efektivitas penegakkan hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peran Kepribadian Aparat Penegak Hukum dalam
Efektivitas Penegakkan Hukum
Sebagaimana ditegaskan
dalam UUD 1945 hasil perubahan ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat),
apalagi bercirikan negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Sejak awal kemerdekaan,
para bapak bangsa sudah menginginkan negara Indonesia harus dikelola
berdasarkan hukum.
Penegakan hukum sebagai
bagian dari legal sistem, tidak dapat dipisahkan dengan substansi hukum (legal
substance) dan budaya hukum (legal culture). Roger Cotterrell dari
University of London telah mengkaji terhadap hubungan hukum dalam instrumen
perubahan sosial. Hal ini adalah sejalan dengan pendapat William Evan yang
telah mengemukakan teorinya tentang struktur hukum dalam hubungan interaksi
antara lembaga-lembaga hukum dan lembaga-lembaga nonhukum yang saling
mempengaruhi. Sebelum abad ke-20 terdapat suatu pandangan aliran hukum alam
dimana hukum dilihat didalam aspekwujud masyarakat atau disebut sebagai
paradigma positivisme. Orang penganut positivisme melihat hukum dari akar moralnya,
maka di sini kelihatan hukum tidak mempunyai independensi atau otonomi. Permasalahan
mendasar dalam pardigma positivme ini ialah untuk menjawab suatu pertanyaan
dengan cara dan bagaimana hukum itu bias dibebaskan dari akar sosial dan
kulturalnya.[2]
Dalam suatu penegakan
hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan sebagai suatu isi hukum
(content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan
budaya hukum (culture of law). Sehingga penegakan hukum tidak saja
dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat
dan fasilitas hukum. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan
budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum.[3]
Kegiatan penegak hukum merupakan tindakan penerapan
hukum terhadap setiap orang yang perbuatannya menyimpang dan bertentangan dengan
norma hukum. Artinya hukum diberlakukan bagi siapa saja dan pemberlakuannya
sesuai dengan mekanisme dan cara dalam sistem penegakan hukum yang telah ada.
Penegakan hukum sebagai suatu kegiatan untuk menjaga dan mengawal hukum agar tetap
tegak sebagai suatu norma yang mengatur kehidupan manusia demi terwujudnya
ketertiban, keamanan dan ketentraman masyarakat dalam menjalankan kehidupannya.
Perwujudan supremasi hukum juga tidak terlepas dari penyelenggaraan
penegakan hukum secara konsisten dalam rangka menjamin kepastian hukum,
keadilan dan kebenaran serta menghargai hak-hak asasi manusia. Untuk itu kiranya
perlu didukung pula dengan penyelenggaraan proses peradilan secara cepat,
mudah, mudah dan terbuka serta bebas dari korupsi, kolosi dan nepotisme (KKN)
dengan senantiasa menjunjung tinggi asas kebenaran dan keadilan. Hal ini dapat dicapai
apabila disertai dengan upaya meningkatkan integritas moral dan
profesionalisme
aparat penegak hukum, sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Sorotan dan kritik
tajam masyarakat dan pengamat penegakan hukum terhadap perangkat penegak hukum
semakin lama bukannya semakin surut. Merosotnya profesionalisme dikalangan perangkat
penegakan hukum berkaitan dengan keahlian, rasa tanggungjawab serta kinerja
terpadu, bahkan terkesan meninggalkan etika dalamarti kode etiknya. jika
pengemban profesi tersebut tidak memiliki keahlian atau tidak mampu menjalin kerjasama
dengan para pihak untuk kelancaran profesinya, maka sesungguhnya
profesionalisme tersebut sudah mati, apalagi menyangkut etika moral yang sudah
mulai teracuni oleh hal-hal yang irasional. Sebagai perangkat penegakan hukum
dituntut untuk mampu merekonstruksi pikirannya terhadap perkara yang
ditanganinya serta berupaya untuk menyelesaikan dengan sempurna. Sikap ilmiah melakukan
pekerjaan ditandai dengan kesungguhannya menggunakan metodologi modern, sehinga
diharapkan dapat mengurangi kesan subyektif terhadap pekerjaan penegak hukum
yang dilakukannya. Namun dengan alasan serba keterbatasan dan problema yang
dihadapi, maka “keberpihakannya kepada para pencari keadilan semakin jauh”.
Hal yang sangat memprihatinkan adalah “rasa keadilan dan kepastian hukum”
yang tidak dapat dijangkau oleh perangkat hukum yang ada, akhirnya semua
bermuara kepada aparat penegak hukum sendiri untuk mau wawas diri dan
memperbaikinya.
Berdasarkan hal
tersebut maka faktor aparat penegak hukum sangatlah mempengaruhi dalam
penegakkan hukum. Kepribadian dari penegak hukum sangat menentukan seberapa
efektif hukum itu bekerja dalam melindungi masyarakat. Hal tersebut selaras
dengan pendapat Soerjono
Soekanto bahwa keberhasilan penegakan hukum pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa
faktor, dimana faktor-faktor ini mempunyai hubungan yang erat dan saling
mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor tersebut adalah:[4]
1.
Faktor hukumnya sendiri;
2.
Faktor penegak hukum, yang meliputi aparat ataupun lembaga yang membentuk dan
menerapkan hukum;
3.
Faktor sarana pendukung penegakan hukum;
4.
Faktor Masyarakat;
5.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan
pada manusia dan pergaulan hidup.
B.
Kepribadian yang Dapat Meningkatkan Efektivitas
Penegakkan Hukum
Pengertian kepribadian banyak diungkapkan oleh para
pakar dengan definisi berbeda berdasarkan paradigma dan teori yang digunakan.
Beberapa definisi kepribadian:
1.
Kepribadian adalah kehidupan seseorang secara keseluruhan, individual, unik,
kemampuannya bertahan, membuka diri, serta memperoleh pengalaman. (Stern)
2.
Kepribadian adalah pola trait-trait yang unik dari seseorang. (Guilford)
3.
Kepribadian adalah seluruh karakteristik seseorang yang mengakibatkan pola yang
menetap dalam merespon suatu situasi. (Pervin)
4.
Kepribadian adalah pola khas dari pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang
membedakan orang satu dengan yang lain serta tidak berubah lintas waktu dan
situasi. (Phares).[5]
Berdasarkan
uraian berbagai definisi di atas, ada lima persamaan yang
menjadi
ciri definisi kepribadian:
1.
Kepribadian bersifat umum: Kepribadian menunjuk pada sifat umum seseorang (
pikiran, kegiatan, dan perasaan ) yang berpengaruh terhadap keseluruhan tingkah
lakunya.
2.
Kepribadian bersifat khas: kepribadian dipakai untuk menjelaskan sifat individu
yang membedakan dia dengan orang lain.
3.
Kepribadian berjangka lama: kepribadian dipakai untuk menggambarkan sifat yang
individu yang awet, tidak mudah berubah sepanjang hayat. Kalau terjadi
perubahan biasanya bersifat bertahap dan sementara atau akibat merespon suatu
kejadian yang luar biasa.
4.
Kepribadian bersifat kesatuan: kepribadian dipakai untuk memandang diri sebagai
unit tunggal yang membentuk kesatuan dan konsisten.
5.
Kepribadian bisa berfungsi baik atau buruk: kepribadian adalah cara bagaimana
orang berada di dunia dengan penampilan baik atau buruk.[6]
Kepribadian adalah bagian dari jiwa yang membangun
keberadaan manusia menjadi satu kesatuan, tidak terpecah belah dalam
fungsi-fungsi. Memahami kepribadian berarti memahami aku, diri, self atau
memahami manusia seutuhnya. Pemahaman kepribadian sangat dipengaruhi oleh
paradigma yang menjadi acuan dalam pengembangan teori psikologi kepribadian.
Para ahli
kepribadian
memiliki paradigma masing-masing yang dapat mempengaruhi pola pikirnya tentang
kepribadian manusia secara sistemik. Teori-teori kepribadian dapat
dikelompokkan pada empat paradigma yang menjadi acuan dasar. Adapun paradigma
yang paling banyak berkembang di masyarakat adalah paradigm psikoanalisis
dengan teori psikoanalisis klasik yang dicetuskan oleh Sigmund Freud.[7]
Dalam ilmu psikologi kepribadian, terdapat istilah
struktur kepribadian yang dimaknai sebagai aspek atau elemen dalam diri manusia
yang membentuk kepribadian.[8]
Dalam teori Sigmund
Freud, elemen pendukung struktur kepribadian manusia adalah :[9]
a.
The Id (aspek biologis)
Id
adalah
sistem kepribadian yang asli dan dibawa sejak lahir. Dari Id ini kemudian
akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, Id berisi semua aspek psikologik
yang diturunkan seperti insting, impuls dan drives. Id berada dalam daerah unconscious
dan beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle),
yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Id tidak mampu
menilai atau membedakan benar-salah dan tidak
tahu
moral.
b.
The Ego (aspek psikologis)
Ego
berkembang dari Id agar orang mampu menangani realita sehingga ego beroperasi
berdasarkan prinsip realita (reality principle). Ego sebagai eksekutif
kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan Id sekaligus juga memenuhi kebutuhan
moral dan kebutuhan mencapai kesempurnaan dari Superego.
c.
The Superego (aspek sosiologis)
The
Superego atau Das Ueber Ich adalah aspek sosiologis dalam kepribadian
yang merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional dan cita-cita masyarakat yang
diajarkan dalam bentuk perintah atau larangan. The Superego lebih merupakan
kesempurnaan daripada kesenangan, karena itu Das Ueber Ich dapat
pula dianggap sebagai aspek moral dalam kepribadian.
Fungsi pokoknya adalah menentukan apakah sesuatu itu
benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak, sehingga dengan
demikian pribadi dapat bertindak sesuai moral masyarakat.
Dalam ilmu Psikologi, terdapat istilah kepribadian
sehat dan kepribadain tidak sehat. Adapun makna dari kepribadian sehat (psycholgical
wellness) adalah keadaan individu yang mengarah pada perkembangan yang
adekuat dan kemampuan mental yang memiliki kesesuaian fungsi, sehingga individu
mampu mengembangkan kemampuan-kemampuan mentalnya secara lebih baik.[10]
Kepribadian penegak
hukum yang dapat meningkatkan efektivitas penegakkan hukum tentu saja adalah
kepribadian yang sehat, kepribadian yang sehat seringkali
dikenali dengan sifat-sifat berikut:[11]
1.
Dapat terbebas dari gangguan psikologis dan gangguan mental
2.
Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tanpa kehilangan identitas
3.
Mampu mengembangkan potensi dan bakat
4.
Memiliki keimanan pada Tuhan dan berupaya untuk hidup sesuai ajaran-ajaran agama
yang dianutnya.
Kepribadian sehat merupakan proses yang berlangsung
terus-menerus dalam kehidupan manusia, sehingga kualitasnya dapat menurun atau
naik. Hal inilah yang akan mempengaruhi kondisi kesehatan mental individu
tersebut. Berbagai pendekatan dalam Psikologi juga membahas konsep-konsep
kepribadian sehat, di antaranya adalah Teori Psikodinamik. Dalam teori ini,
individu yang memiliki kepribadian sehat adalah individu yang memiliki ciri
berikut:[12]
1.
Mampu untuk mencintai & bekerja (lieben und arbeiten)
Yakni,
individu mampu peduli pada orang lain secara mendalam, terikat dalam suatu
hubungan yang intim dan mengarahkannya dalam kehidupan kerja yang produktif.
(Freud)
2.
Memiliki ego strength
Ego
dari individu yang berkepribadian sehat memiliki kekuatan mengendalikan dan
mengatur Id dan Superego-nya, sehingga ekspresi primitive Id berkurang dan
ekspresi yang sesuai dengan situasi muncul tanpa adanya represi dari ego secara
berlebihan.
3.
Merupakan creative self
Jung
& Adler mengungkapkan bahwa individu yang berkepribadian sehat merupakan self
yang memiliki kekuatan untuk mengarahkan perilaku mengembangkan potensi
yang dimilikinya.
4.
Mampu melakukan kompensasi bagi perasaan inferiornya Adler juga menambahkan bahwa
individu haruslah menyadari ketidaksempurnaan dirinya dan mampu mengembangkan
potensi yang ada untuk mengimbangi kekurangannya tersebut.
5.
Memiliki hasil yang positif dalam setiap tahap interaksinya dengan lingkungan
Social.
Adapun tipe kepribadian tidak sehat, menurut Fromm
adalah kepribadian yang tidak matang dengan orientasi-orientasi tidak
produktif, yakni orientasi reseptif, eksploitatif, dan penimbunan. Orang-orang
dengan orientasi reseptif adalah penerima-penerima yang pasif dalam
hubungannya dengan orang lain. Mereka tidak mampu menghasilkan cinta, atau
memberi cinta. Mereka sangat tergantung pada segala sesuatu dari luar untuk
memenuhi kebutuhan mereka sehingga mereka dapat dilumpuhkan oleh kecemasan dan
ketakutan jika dibiarkan sendirian.[13]
Orang dengan orientasi eksploitatif memiliki
ciri orang-orang yang diatur oleh sumber-sumber dari luar. Mereka terdorong
untuk mengambil apa yang mereka inginkan dan butuhkan dengan kekerasan atau
tipu muslihat. Mereka mendapat cinta, hanya dengan mengambilnya dari orang lain.
Maka dari itu bias dibayangkan bagaimana jika penegak hukum mempunyai
kepribadian yang tidak sehat maka penegakkan hukum pun akan terhambat.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Merosotnya
profesionalisme perangkat penegakan hukum yang berkaitan dengan keahlian, rasa
tanggungjawab serta kinerja terpadu, bahkan terkesan meninggalkan etika dalamarti
kode etiknya membuat penegakkan hukum kurang efektif. Maka dari itu faktor
aparat penegak hukum sangatlah mempengaruhi dalam penegakkan hukum. Kepribadian
dari penegak hukum sangat menentukan seberapa efektif hukum itu bekerja dalam
melindungi masyarakat. Hal tersebut selaras dengan pendapat
Soerjono Soekanto bahwa keberhasilan
penegakan hukum pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, dimana faktor-faktor
ini mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara satu dengan
lainnya. Salah satu faktor tersebut adalah faktor penegak hukum, yang meliputi
aparat ataupun lembaga yang membentuk dan menerapkan hukum.
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan aparat
penegak hukum yang mempunyai kepribadian yang sehat, sehingga penyelenggaraan
penegakan hukum dapat konsisten dalam rangka menjamin kepastian hukum, keadilan
dan kebenaran serta menghargai hak-hak asasi manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
-
OS Hiariej, Eddy , 1999 “Quo Vadis Kepolisian RI? Telaah Kritis Terhadap Konsep
Rancangan Undang-undang Kepolisian Republik Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum,
Fakultas hukum UGM Vol X
-Sunarso,
Siswanto, 2005, Wawasan Penegakan Hukum Di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung
-Hidayat
Nur Wahid, HM, 24/03/2006, Penegakan Hukum yang Menciptakan Keadilan,
Seputar Indonesia,Jakarta
-
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-3, 1993.
-Alwisol,
Psikologi Kepribadian (Malang: UMM Press, 2009)
-Mujib,
Abdul, Kepribadian dalam Psikologi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2006)
-Sari
Dewi, Kartika, Buku Ajar Kesehatan Mental (Semarang: UPT UNDIP Press Semarang,
2012).
-
Sadiah, Dewi, “Pengembangan Model Pendidikan Nilai-Nilai Keberagamaan dalam
Membina Kepribadian Sehat (Studi Deskriptif Analitik di Madrasah Aliyah Darul
Arqam Garut)”, Jurnal Penelitian Pendidikan, Volume XI, 2 (Oktober, 2010)
[1]
Eddy OS
Hiariej, 1999 “Quo Vadis Kepolisian RI? Telaah Kritis Terhadap Konsep Rancangan
Undang-undang Kepolisian Republik Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum, Fakultas
hukum UGM Vol X, hlm.1.
[3]
HM
Hidayat Nur Wahid, 24/03/2006, Penegakan Hukum yang Menciptakan Keadilan,
Seputar Indonesia,
Jakarta, hal. 1
[4]
Soerjono
Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo
Persada,
Jakarta, Cetakan ke-3, 1993, hal. 5.
[8]
Abdul Mujib, Kepribadian
dalam Psikologi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 56.
[10]
Kartika Sari Dewi, Buku
Ajar Kesehatan Mental (Semarang: UPT UNDIP Press Semarang, 2012), hlm. 74
[13]
Dewi
Sadiah, “Pengembangan Model Pendidikan Nilai-Nilai Keberagamaan dalam Membina
Kepribadian Sehat (Studi Deskriptif Analitik di Madrasah Aliyah Darul Arqam
Garut)”, Jurnal Penelitian Pendidikan, Volume XI, 2 (Oktober, 2010), 97.
No comments:
Post a Comment