KEWENANGAN,
FUNGSI DAN CITRA LEMBAGA KEPOLISIAN SEBAGAI LEMBAGA NEGARA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah
negara hukum (Pasal 3 (1) UUD RI tahun 1945). Hal ini berarti bahwa di dalam
Negara Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan
diselenggarakan berdasarkan atas hukum. Maka diperlukan adanya institusi-institusi
yang dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum.
Masalah penegakan hukum
merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan, baik secara
nasional dan internasional. Masalah ini akan selalu ada dan selalu patut dibicarakan,
sepanjang kita masih mengakui adanya negara hukum dan sepanjang kita masih
mempercayai hukum sebagai salah satu sarana untuk mengatur dan menyelesaikan
masalah-masalah kehidupan masyarakat. Terlebih dalam era reformasi saat ini,
masalah “penegakan hukum” sedang mendapat tantangan dan sorotan tajam.
Sejarah
panjang telah membentuk kepolisian Indonesia yang menjadi Polri pada saat ini.
Tanpa mengurangi besarnya keberhasilan yang telah dicapai polisi, telah
terbukti mampu menjadi salah satu pilar penegak keamanan yang mengantar
pembangunan Bangsa dan Negara.
Kepolisian Indonesia
saat ini sudah hampir mendekati sistem Kepolisian ideal yang diharapkan oleh
anggotanya sendiri maupun masyarakat, kemandirian Polri sudah dilaksanakan dan
terpisah dari ABRI, jadi terdapat perbedaan yang
mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertahanan dan keamanan.
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggungjawab di bidang keamanan dan
ketertiban masyarakat, sedangkan bidang pertahanan negara dilakukan oleh Departemen
Pertahanan Keamanan Tentara Nasional Indonesia. Tujuan utamanya, menjaga
keutuhan dan kedaulatan Negara. Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000 tentang
pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan perannya masing-masing (dalam ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000).
Dua Tap MPR
RI di atas merupakan landasan dibentuknya UU Kepolisian Negara Republik
Indonesia (UU RI No.2 Th 2002). Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, memperluas keberadaan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, yang dirumuskan sebagai berikut:
Bahwa
keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat
madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bahwa
pemulihan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian
yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dilakukan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh
masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hal ini tertuang dalam Konsideran
Menimbang Huruf (a) dan (b) UU Nomor 2 Tahun 2002.
Dalam melaksanakan tugas dan
sebagai alat negara memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat, maka eksistensi Kepolisian Negara RI (Polri) selaku bersama dan
menyatu dengan masyarakat. Dalam posisi demikian adalah wajar jika evaluasi
kinerja Polri langsung di berikan oleh masyarakat. Evaluasi kinerja langsung
oleh masyarakat terhadap Polri amat berpengaruh terhadap citra Polri. Saat ini
kualitas citra Polri dinilai para pengamat mengalami kemerosotan. Kemerosotan
citra Polri di mata masyarakat merupakan sebuah persoalan penting yang hingga
saat ini masih terus membelenggu Polri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum,
dan melakukan pengayoman, perlindungan serta menciptakan keamanan, ketertiban
dan kelancaran lalu lintas dalam melayani masyarakat. Fenomena ini tampaknya
tetap akan menjadi siklus yang abadi dalam tubuh Polri (Kepolisian Negara
Republik
Indonesia), andaikata komitmen profesionalisme, transparansi dan
akuntabilitas tidak diwujud nyatakan dalam sikap dan tindakan aparat kepolisian
dalam menjalankan tugas dan wewenang sehari-hari.[1]
Sesepuh
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Koesparmono Irsan, juga secara
terbuka mengakui adanya praktik korupsi yang sistematis dalam lembaga
kepolisian. Tindakan korupsi sedemikian rupa menggerogoti institusi kepolisian
hingga keropos. Keberadaan hak diskresi dengan memberi kewenangan polisi dalam
mengambil keputusan di lapangan, menurut Koesparno, membuka peluang bagi polisi
untuk melakukan korupsi berupa negosiasi atau tawar-menawar dengan pelanggar
lalu lintas atau pelaku kejahatan untuk memberi imbalan kepada oknum petugas.
Berikut ini beberapa contoh praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum
polisi:
Sebagai contoh.... penanganan kasus ecstasy. Seseorang yang
tertangkap memiliki 100 butir ecstasy seharusnya memenuhi kategori sebagai
bandar. Namun, melalui negosiasi dengan petugas yang menangkap, hal itu bisa
diatur dengan tuduhan hanya sebagai pemakai. Caranya mudah saja, barang bukti
yang ditemukan hanya dikatakan sebanyak 10 butir. Satu butir dikonsumsi
tersangka, sisanya menjadi barang bukti.... Sementara sembilan puluh butir
ecstasy raib entah ke mana. Ini merupakan contoh kecil sebuah kebiasaan dalam
penanganan kasus-kasus kejahatan.[2]
Cuplikan tersebut
menunjukkan bahwa kemerosotan citra Polri tersebut hampir merata di semua
bidang tugas dan wewenangnya, termasuk dalam praktik penegakan hukum. Namun,
tidak dapat dipungkiri pula bahwa selain kasus-kasus tersebut terdapat pula
banyak hal positif dari yang dihasilkan dan diperjuangkan oleh korps
kepolisian, dan itu berarti masih banyak aparat kepolisian yang berpredikat
baik dan berkualitas. Namun, semua yang baik dan positif itu seolah tenggelam
beriringan dengan munculnya kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh oknum
polisi tersebut telah mencoreng wajah Polri, dan sekaligus menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap cara-cara kerja yang dimainkan oleh Polri.
B. Perumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah lembaga Kepolisian
Republik Indonesia?
2. Bagaimana kewenangan dan fungsi lembaga
Kepolisian?
3. Bagaimana citra Lembaga Kepolisian dalam
menjalankan fungsi dan kewenangannya?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Lembaga Kepolisian Republik Indonesia
a. Zaman Hindia Belanda
Kedudukan,
tugas, fungsi, organisasi, hubungan dan tata cara kerja kepolisian pada zaman
Hindia Belanda tentu diabdikan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Sampai
jatuhnya Hindia Belanda, kepolisian tidak pernah sepenuhnya di bawah Departemen
Dalam Negeri. Di Departemen Dalam Negeri memang berkantor "Hoofd van de
Dienst der Algemene Politie" yang hanya bertugas di bidang
administrasi/pembinaan, seperti kepegawaian, pendidikan SPN (Sekolah Polisi
Negeri di Sukabumi), dan perlengkapan kepolisian.
b.
Zaman Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan
Jepang 1942-1945, pemerintahan Kepolisian Jepang membagi Indonesia menjadi Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukittinggi, Kepolisian wilayah
Indonesia Timur berpusat di Makassar dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.[3]
Dalam
masa ini banyak anggota kepolisian bangsa Indonesia menggantikan kedudukan dan
kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat kepolisian di Jakarta
dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho. Kepolisian untuk
Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk Sumatera berkedudukan di
Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan
berkedudukan di Banjarmasin.
b.
Zaman
Revolusi Fisik
Tidak lama
setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang
membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu
Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.
d.
Kepolisian Pasca Proklamasi
Setelah
proklamasi, tentunya tidak mungkin mengganti peraturan perundang-undangan,
karena masih diberlakukan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, termasuk
mengenai kepolisian, seperti tercantum dalam peraturan peralihan UUD 1945.
Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang
membubarkan Peta dan Gyu-Gun,
sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian
menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di
Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan Pasukan Polisi Republik
Indonesia sebagai langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan
pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan
semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun satuan-satuan bersenjata
yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang.[4] Sebelumnya pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk
Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto
Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN).[5]
Pada awalnya kepolisian
berada dalam lingkungan Kementerian
Dalam Negeri dengan nama Djawatan
Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan
masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa
Agung.[6]
Tanggal
1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk Djawatan
Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri.[7]
Semua fungsi kepolisian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Negara yang memimpin
kepolisian di seluruh tanah air. Dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional
Indonesia yang sampai hari ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara.
e.
Zaman Republik indonesia Serikat (RIS)
Hasil
Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia
Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian
Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI
berkedudukan di Yogyakarta.
Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi
kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang
diketuai Mr. Sjafrudin
Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 1948).[8]
Hasil Konferensi Meja
Bundar antara Indonesia dan
Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat
sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai
Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan
Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam
kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan
perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan,
dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.
f.
Zaman Demokrasi Parlementer
Dengan
dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950
yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S.
Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri / presiden.
Waktu
kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas
kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam
Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo
3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan
Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai
sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
g.
Zaman Demokrasi Terpimpin
Dengan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali
ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD
1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri
Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya
Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara
diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara). Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:
Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara). Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:
1.
Alat Negara Penegak Hukum.
2.
Koordinator Polsus.
3.
Ikut serta dalam pertahanan.
4.
Pembinaan Kamtibmas.
5.
Kekaryaan.
6.
Sebagai alat revolusi.
h.
Zaman Orde Baru
Karena
pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya
integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun
1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan
Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bindang Pertahanan dan Keamanan yang
menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD,
AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada
Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
i.
Polri
Pada Saat Ini
Kepolisian Indonesia
saat ini sudah hampir mendekati sistem Kepolisian ideal yang diharapkan oleh
anggotanya sendiri maupun masyarakat, kemandirian Polri sudah dilaksanakan dan
terpisah dari ABRI, jadi terdapat perbedaan yang
mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertahanan dan keamanan.
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggungjawab di bidang keamanan dan
ketertiban masyarakat, sedangkan bidang pertahanan negara dilakukan oleh
Departemen Pertahanan Keamanan Tentara Nasional Indonesia. Tujuan utamanya,
menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara. Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000 tentang
pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan perannya masing-masing (dalam ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000). Dua Tap MPR RI tersebut merupakan landasan
dibentuknya UU Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU RI No.2 Th 2002).
Dalam perkembangan
paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya
mengurusi keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan tetapi juga terlibat
dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban regional maupun antara bangsa,
sebagaimana yang ditempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan
polisi, termasuk Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai operasi kepolisian,
misalnya di Namibia (Afrika Selatan) dan di Kamboja (Asia).
2.
Kewenangan dan Fungsi Lembaga Kepolisian
Untuk mengantarkan kepada uraian tentang tugas polisi, perlu kiranya
diketahui terlebih dahulu mengenai arti tugas dan fungsi, di dalam kamus besar
bahasa Indonesia dikatakan, tugas berarti[9]:
“Kewajiban, arahan, sesuatu yang wajib dikerjakan, suruhan
(PRIORITAS), untuk melakukan sesuatu yang tentu, fungsi (pekerjaan atau
jabatan)”.
Sedangkan fungsi dalam arti:
a. Fungsi menurut ilmu pasti
b. Tugas (taak)
c. Hubungan timbal balik
d. Pengaruh
Apabila
dikaitkan dengan suatu negara, maka negara adalah suatu organisasi dari pada
fungsi-fungsi yang dimaksud dengan “fungsi” tersebut menurut Logeman, dikatakan
sebagai suatu lingkungan pekerjaan tertentu (tetap) yang diadakan dan dilakukan
guna kepentingan negara. Jadi tiap fungsi adalah lingkungan pekerjaan tertentu
(tetap) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara. Lingkungan
pekerjaan tentu (tetap) adalah: “suatu lingkungan yang sebanyak-banyaknya dapat
dinyatakan dengan tepat teliti (zoveel
mogelijk neukeurig omschereven) dan yang bersifat duurzaam (tidak dapat
diubah begitu saja).
Fungsi-fungsi tersebut dijalankan oleh organ atau badan yang untuk
memenuhi fungsinya badan tersebut mengadakan pula pembagian tugas atau fungsi
dan pejabatnya di tujuk. Jadi fungsi adalah “lingkaran tugas dalam hubungan
kesatuan dengan keseluruhan”. Dengan demikian, jelaslah bahwa pada dasarnya
istilah “tugas mempunyai pengertian yang sama dengan fungsi”.
Secara yuridis tugas dan
wewenang Polri telah diatur dalam konstitusi dan berbagai produk peraturan
perundang-undangan. Arahan yuridis sebagaimana termuat dalam Pasal 30 Ayat (4)
UUD 1945, misalnya, secara tegas mengatur bahwa “ Polri sebagai alat Negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum”. Hal senada diatur pula dalam Pasal 6
Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, “ Polri merupakan
alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat”. Arahan yuridis tentang peran Polri yang demikian itu, kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, terutama dalam
Pasal 5, Pasal 13 dan 14.
Dari arahan yuridis tersebut tampak, bahwa lembaga
kepolisian di Indonesia tidak hanya berperang sebagai bagian dari penegakan
hukum yang terpola dalam sistem peradilan pidana (SPP), melainkan lebih jauh
dari itu berperan juga sebagai lembaga penjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Karakteristik peran yang
dimainkan oleh lembaga kepolisian itu ternyata jauh lebih luas dalam melakukan
kontrol sosial bagi masyarakat, baik yang bersifat preventif maupun represif.[10]
Ketika lembaga kepolisian menjadi bagian dari sistem
peradilan pidana maka tindakannya pun harus dapat dikembalikan ke dalam konteks sistem besar
tersebut. Apa yang dapat dilakukan dan seberapa jauh aparat kepolisian dapat
bertindak selalu ditentukan oleh tempatnya di dalam sistem tersebut. Singkat
kata, aparat kepolisian harus bertanggung jawab terhadap proses bekerjanya
hukum melalui sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981).
Pada dasarnya tugas dan wewenang Polri sebagaimana
ditetapkan secara yuridis dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 itu
bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah pernah diatur dalam produk hukum
sebelumnya yang sudah tidak berlaku lagi, terutama Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1997.
Tugas POLRI yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:
1) Tugas POLRI sebagai penjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat antara lain : Melaksanakan
pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan
pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin
keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan; membina masyarakat
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta
ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
2) Tugas POLRI sebagai penegak
hukum antara lain : Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; melakukan koordinasi,
pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai
negeri sipil dan bentuk-bentuk keamanan swakarsa; melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang-undangan lainnya; menyelenggarakan identifikasi kepolisian,
kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk
kepentingan untuk kepentingan tugas kepolisian.
3) Tugas POLRI sebagai pengayom
dan pelayan masyarakat antara lain : Melindungi keselamatan jiwa
raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban
dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia; melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara
sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; memberikan
pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas
kepolisian.
Untuk dapat melaksanakan
tugas sebagaimana diuraikan di atas (baik sebagai penjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, maupun perlindungan, pengayom dan
pelayan masyarakat), POLRI diberi wewenang
sebagai berikut :
(a) menerima laporan dan/atau pengaduan;
(b) membantu menyelesaikan perselisihan warga
masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
(c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya
penyakit-penyakit masyarakat;
(d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
(e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup
kewenangan administratif kepolisian;
(f) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;
(g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
(h) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang;
(i) mencari keterangan dan barang bukti;
(j) menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional;
(k) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang
diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
(l) memberikan batuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; dan
(m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Secara khusus untuk
menjalankan tugas dalam bidang proses
pidana atau proses
penegakan hukum, POLRI diberi wewenang sebagai berikut:
(1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan; melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
(2) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
(3) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri; melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
(4) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
(5) mengadakan penghentian penyidikan;
(6) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; mengajukan
permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat
pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau
menangkal orang yang disangka melakukan tindakan pidana;
(7) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil
untuk
diserahkan kepada penuntut umum; dan
(8) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Sedangkan untuk dapat melaksanakan tugas-tugas lain menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku, POLRI diberi wewenang sebagai
berikut:
(1) Memberi izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan
kegiatan masyarakat lainnya;
(2) menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor;
(3) memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
(4) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
(5) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan
peledak, dan senjata tajam;
(6) memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap
badan usaha di bidang jasa pengamanan;
(7) memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian
khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
(8) melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam
menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
(9) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang
asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
(10) mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi
kepolisian internasional;
(11) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup
tugas kepolisian.
Sekalipun sudah ada arahan
yuridis yang mengatur secara tegas tentang peran-peran yang harus dimainkan
oleh kepolisian, namun tidak tertutup kemungkinan bagi mereka untuk bertindak
di luar arahan yuridis tersebut. Bahkan, Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang
Kepolisian justru memberikan peluang bagi aparat kepolisian untuk bertindak
seperti itu. Penegasan Pasal 18 Ayat (1) undang-undang Kepolisian sebagai
berikut: “Untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri”. seperti itu
“hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia” (kf. Pasal 18 Ayat 2 Undang-Undang Kepolisian).
Penegasan yang demikian itu
hendak mengisyaratkan bahwa secara yuridis polisi diperbolehkan untuk melakukan
diskresi. Diskresi di
sini dimaknakan sebagai “ kemerdekaan dan/atau kewenangan dalam membuat
keputusan untuk mengambil tindakan yang dianggap tepat atau sesuai dengan
situasi dan kondisi
yang dihadapi secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala
pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan”.[11]
Namun, peluang Secara lebih spesifik, Thomas J. Aaron mendefinisikan “diskresi
kepolisian” sebagai “suatu wewenang bertindak yang diberikan kepada polisi
untuk mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan sendiri dan dalam situasi
tertentu mengenai masalah moral, serta terletak dalam garis batas antara hukum
dan moral”.[12]
Harus diakui bahwa sebenarnya diskresi terjadi pada
ketiga peran yang dimainkan oleh kepolisian, baik dalam pemeliharaan ketertiban
dan keamanan, penegakan hukum maupun dalam tugas pengayoman, perlindungan dan
pelayanan masyarakat.
3. Citra
Lembaga Kepolisian dalam Menjalankan Fungsi dan Kewenangannya.
Gambaran tentang
keterpurukan citra Polisi sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, seakan membuka
peluang terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya sehari-hari. Sebuah analisis dari seorang pakar kriminologi Amerika
Serikat, Sutherland, dalam bukunya berjudul “Criminal Homicide, A Study of
Culture and Conflict” yang
diterbitkan tahun1960 di California, membahas berbagai kasus perilaku
menyimpang yang dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi. Menurut
Suttherland, tugas dan pekerjaan polisi sehari-hari terlampau sering bergaul
dengan dunia kejahatan dan penjahat, sehingga secara tidak disadari polisi
menjadi sangat akrab dan tak asing lagi dengan kejahatan. Dampak negatif yang
sering tak mengerti adalah polisi telah berada dalam lintasan kritis,
seakan-akan ia tengah berdiri pada sebuah perbatasan yang sangat rawan antara
tugasnya sebagai penegak hukum dan terhadap kejahatan yang tengah ditanganinya.[13]
Perilaku menyimpang yang demikian itu secara tidak
langsung menggambarkan bahwa administrasi peradilan pidana serta perilaku para
penyelenggaranya belum menunjukkan hasil yang maksimal yang diharapkan. Bahkan,
sebaliknya penyelenggaraan peradilan pidana secara potensial menampakkan
aspek-aspek yang bersifat kriminogen. Steven Box dalam tulisannya yang berjudul
Power, Crime and Mystication mengidentifikasi bermacam-macam bentuk
kebrutalan (kejahatan) polisi dalam proses penyelesaian perkara pidana antara
lain:
(1) membunuh atau menyiksa tersangka;
(2) mengancam, menahan, mengintimidasi dan membuat “catatan hitam”
bagi orang-orang yang tidak bersalah, dan
(3) melakukan korupsi, antara lain dengan cara menerima suap
supaya tidak melakukan atau menjalankan hukum, dan memalsukan data atau fakta
atau keterangan dan menghentikan pengusutan perkara pidana baik secara langsung
atau tidak langsung guna mendapatkan sesuatu keuntungan.[14]
Senada dengan Steven Box, dalam buku pedoman pelatihan untuk
anggota Polri disebutkan pula, bahwa tindakan menutup-nutupi kejahatan dan
melakukan korupsi dan menerima suap, tidak saja merupakan pelanggaran hak asasi
manusia yang sangat serius, tetapi juga berarti melakukan tindakan melanggar
hukum. Dengan demikian, ketika warga masyarakat mengetahui tindakan polisi yang
melanggar hukum tersebut akan melihat polisi sebagai pelanggar hukum dan bukan
sebagai penegak hukum.[15]
Perilaku polisi yang mengarah kepada perbuatan jahat dalam
menjalankan tugasnya itu setidak-tidaknya merupakan tindakan pelanggaran etika
jabatan. Menurut Abdul Wahid, tindakan yang demikian itu sebagai akibat dari
kondisi psikologis atau kepribadian yang sedang dikolonisasi oleh ideologi
Machiavelis yang dipopulerkan melalui prinsip “serba menghalalkan segala cara”.
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa kebenaran yang berada di depan mata dan
sebagai manifestasi kewajiban untuk ditegakkan, direkayasa dan dianggap sebagai
penghalang cita-cita. Sementara itu, kenaifan, kebejatan dan kejahatan dianggap
sebagai terobosan logis untuk memperkaya diri, membangun kejayaan atau menarik
kedudukan yang terhormat di mata publik.[16]
Orientasi penegakan hukum
yang demikian itu, menurut Satjipto Rahardjo, dapat saja didorong masuk jalur
lambat, dan dalam keadaan yang serba lambat seperti itu memberikan ruang yang
luas untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelompok dan sekaligus
menjadi lahan bisnis yang subur bagi kalangan tertentu. Keadaan seperti itu tak
mustahil memunculkan pertanyaan dari masyarakat, bahwa apakah hukum kita ini
memang diarahkan untuk menghasilkan keadilan ataukah sedang bekerja untuk
menutup-nutupi sesuatu (cover-up)?.
Gambaran yang dikemukakan di
atas bukan mau menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan yang dijalankan oleh polisi
adalah buruk, melainkan hanyalah sekedar mengingatkan bahwa praktik-praktik
“kotor” seperti itu selalu saja ada dalam lingkaran
pekerjaan polisi. Oleh sebab itu, adalah suatu kebohongan
belaka bila Polri kemudian menilai dirinya sebagai institusi yang tak bercacat
dan selalu
berhasil dalam segala gerak langkahnya. Begitu pula adalah tidak
terlalu benar apabila kita menilai bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dan
diandalkan oleh Polri, karena seakan-akan Polri selama ini hanya berdiam diri
saja.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mengenai
sejarah Kepolisian di Indonesia dari mulai zaman penjajahan Belanda sampai
Jepang memang belum sepenuhnya Lembaga Kepolisian di bawah Depertemen Dalam Negeri karena masih
juga ada tekanan dari penjajah
sampai kemudian tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu,
pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap
bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia
yang merdeka. Pada awalnya kepolisian berada dalam
lingkungan Kementerian Dalam
Negeri dengan nama Djawatan
Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan
masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa
Agung.
Tanggal
1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk Djawatan
Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri. Namun
setelah masa Indonesia menjadi Negara RIS dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950
dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional
berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam
hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.
Dan pada saat negara Indonesia menjadi Parlementer maka Kepolisian di bawah
Perdana Menteri/Presiden. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan
Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya
kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri diganti
dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama
sampai keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala
Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada
tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai
Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959
dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala
Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin
Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Karena pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI
yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk
meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal
24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bindang
Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi
Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh
Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya
kepada Menhankam/Pangab.
Dan yang untuk
sekarang kemandirian Polri sudah dilaksanakan dan terpisah dari ABRI, jadi terdapat perbedaan yang mendasar dalam penyelenggaraan
pemerintahan di bidang pertahanan dan keamanan. Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertanggungjawab di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat,
sedangkan bidang pertahanan negara dilakukan oleh Departemen Pertahanan
Keamanan Tentara Nasional Indonesia.
Secara yuridis tugas dan
wewenang Polri telah diatur dalam konstitusi dan berbagai produk peraturan
perundang-undangan. Arahan yuridis sebagaimana termuat dalam Pasal 30 Ayat (4)
UUD 1945, Pasal 6 Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri,
dan Arahan yuridis tentang peran Polri yang demikian itu, kemudian dijabarkan
lebih lanjut dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, terutama dalam Pasal 5,
Pasal 13 dan 14. Pada dasarnya tugas dan wewenang Polri sebagaimana ditetapkan
secara yuridis dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 itu bukan
sesuatu yang baru, melainkan sudah pernah diatur dalam produk hukum sebelumnya yang
sudah tidak berlaku lagi, terutama Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997. Sekalipun
sudah ada arahan yuridis yang mengatur secara tegas tentang peran-peran yang
harus dimainkan oleh kepolisian, namun tidak tertutup kemungkinan bagi mereka
untuk bertindak di luar arahan yuridis tersebut. Bahkan, Pasal 18 Ayat (1)
Undang-Undang Kepolisian justru memberikan peluang bagi aparat kepolisian untuk
bertindak seperti itu. Penegasan Pasal 18 Ayat (1) undang-undang Kepolisian
sebagai berikut: “Untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri”. seperti
itu “hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia”.
Mengenai
citra Lembaga Kepolisian sebagaimana menurut Suttherland, tugas dan pekerjaan polisi sehari-hari terlampau
sering bergaul dengan dunia kejahatan dan penjahat, sehingga secara tidak
disadari polisi menjadi sangat akrab dan tak asing lagi dengan kejahatan.
Dampak negatif yang sering tak mengerti adalah polisi telah berada dalam
lintasan kritis, seakan-akan ia tengah berdiri pada sebuah perbatasan yang
sangat rawan antara tugasnya sebagai penegak hukum dan terhadap kejahatan yang
tengah ditanganinya. Oleh sebab itu, adalah suatu
kebohongan belaka bila Polri kemudian menilai dirinya
sebagai institusi yang tak bercacat dan selalu berhasil
dalam segala gerak langkahnya. Begitu pula adalah tidak terlalu benar apabila
kita menilai bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dan diandalkan oleh Polri,
karena seakan-akan Polri selama ini hanya berdiam diri saja.
Dan sekarang yang perlu
dilakukan Polri adalah melakukan peningkatan sumber daya manusianya serta
melakukan pembenahan secara maksimal. Program-program yang dilaksanakan dalam
tugas kepolisian di kewilayahan sudah dapat dilihat hasilnya, sementara yang
perlu dan wajib dilakukan adalah adanya penyederhanaan sistem birokrasi untuk
pelayanan kepada masyarakat.
Pelayanan Masyarakat
melalui langsung maupun tidak langsung bisa dilakukan dan disederhanakan dengan
melakukan efisiensi dan efektivitas yang terkait dengan penggunaan teknologi
Kepolisian yang maksimal dan up to date. Pengawasan juga diperlukan dalam
rangka menjaga supaya tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan
dalam praktek-praktek kerja dilapangan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku
- Jaya Suprana, “Polisi dan Pelayanan Masyarakat”, Makalah
Seminar Nasional Polisi I, diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian
UNDIP, 1995
-Gunawan, SH, MKn, Markus
(2009). Buku pintar calon anggota dan anggota Polri. Jakarta: Visi Media
Pustaka.
-Poesponegoro, Marwati
Djoened. Sejarah nasional Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia
1942-1998.
PT. Balai Pustaka
-Djamin, Awaloedin (2007). Sejarah perkembangan
kepolisian di Indonesia.
-W.
J. S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1995
- Erlyn Indarti, Diskresi Polisi. Semarang: Lembaga
Penerbit Undip, 2000.
- f. Anton Tabah, Menatap dengan Mata Hati Polisi Indonesia;
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
- Stevan Box., “Police Crime” dalam Power, Crime and
Mystification. London & New York: Tavistok Publications, 1983.
-Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perpolisian Masyarakat,
Buku Pedoman Pelatihan untuk Anggota Polri, Jakarta: 2006.
-Abdul Wahid. Modus-Modus kejahatan Modern. Bandung: PT.
Tarsito, 1993.
2. Internet
- Iwan Santosa, “Republik Ini
Butuh Kepastian Hukum”, Artikel Harian Kompas, 06 Maret 2004 (kf.
Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0403/06/Fokus/894359.htm). Cerita-cerita tak sedap
tentang praktik-praktik penanganan kasus pelanggaran lalu lintas jalan raya
dapat dicari juga dalam N.N., “Bila Anda Ditilang Polantas” (Kf.Sumber:sumber:http://www.transparansi.or.id/kajian/kajian3_lalin.html).
[1] Jaya Suprana, “Polisi dan Pelayanan Masyarakat”, Makalah
Seminar Nasional Polisi I, diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian
UNDIP, 1995, halaman 1
[2] Iwan Santosa, “Republik Ini Butuh Kepastian Hukum”, Artikel
Harian Kompas, 06 Maret 2004 (kf. Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0403/06/Fokus/894359.htm). Cerita-cerita tak sedap tentang praktik-praktik penanganan
kasus pelanggaran lalu lintas jalan raya dapat dicari juga dalam N.N., “Bila
Anda Ditilang Polantas” (Kf.Sumber:sumber:http://www.transparansi.or.id/kajian/kajian3_lalin.html).
[3] Gunawan, SH,
MKn, Markus (2009). Buku pintar calon anggota dan anggota Polri. Jakarta: Visi Media Pustaka. hlm. 5
[5] Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah nasional
Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia 1942-1998. PT. Balai Pustaka, hlm. 182.
[13] f. Anton Tabah, Menatap dengan Mata Hati Polisi Indonesia;
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991, hlm. 151-153
[14] Stevan Box., “Police Crime” dalam Power, Crime and
Mystification. London & New York: Tavistok Publications, 1983, hlm.
81-82.
[15] Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perpolisian Masyarakat,
Buku Pedoman Pelatihan untuk Anggota Polri, Jakarta: 2006, hlm. 71.
Casino Review 2021: $300 Welcome Bonus | DRMCD
ReplyDeleteOur review of Casino USA covers everything 군산 출장샵 about the 포천 출장안마 Games, 대구광역 출장샵 Bonuses, Games and 양산 출장샵 Mobile Casino Games 울산광역 출장안마 in Pennsylvania: No Deposit Required,