Saturday, September 17, 2016

MAKALAH DAN JURNAL HUKUM AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 1974

AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 1974
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, namun terkadang ikatan perkawinan tersebut juga dapat putus, Pasal 38 UU No. 1 tahun 1974 mengatur bahwa Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian;
b. Perceraian; dan
c. atas keputusan Pengadilan. 
Dari semua sebab tersebut menimbulkan suatu kedudukan dan hak terhadap anak. Hak anak adalah termasuk hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Konvensi Hak Anak yang merupakan bagian dari hukum internasional yang tertuang dalam Resolusi PBB 44/25 tanggal 20 November 1989, yang di mana konvensi ini memberikan kewajiban kepada negara pesertanya untuk memberikan pemenuhan hak-hak bagi setiap anak, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak anak melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 yang diundangkan pada 5 Oktober 1990. Salah satu wujud pelaksanaannya adalah dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Salah satu bentuk perlindungan pemerintah terhadap anak  dalam suatu keluarga yaitu dengan dibuatnya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang  di dalamnya mengatur mengenai kedudukan atau status dari anak serta hak-haknya.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur mengenai kedudukan anak ini dalam tiga pasal saja, yaitu Pasal 42- Pasal 44 UU No. 1 Tahun 1974. Kedudukan dalam aspek bahasa memiliki arti sebagai letak atau tempat seseorang, dan dalam aspek hukum kedudukan anak berarti suatu posisi (status) anak dalam keluarga, dalam aspek hubungannya dengan orang tua atau sebaliknya, sebagai akibat adanya perkawinan.[1]
Kedudukan anak dapat dibagi menjadi anak sah dan anak tidak sah. Seorang anak yang sah adalah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.[2] Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Mengenai anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, yang meliputi anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang. Dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dari kedua status atau kedudukan anak tersebut maka mengakibatkan suatu konsekuensi tersendiri.
B.     Perumusan Masalah
1.      Bagaimana status anak setelah putusnya perkawinan orang tuanya berdasarkan UU No. 1 tahun 1974?
2.      Bagaimana hak anak dan kewajiban orang tua setelah putusnya perkawinan?



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Status anak setelah putusnya perkawinan orang tuanya berdasarkan UU No. 1 tahun 1974
a.       Kualifikasi anak dan kedudukan hukumnya
Kedudukan anak dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Kedudukan anak sah
Seorang anak yang sah adalah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.[3] Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.  Pasal 42 Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan adanya suatu tenggang waktu untuk dapat menentukan kesahan seorang anak, seperti halnya dalam hukum adat, tetapi dalam hukum Islam maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada tenggang waktu kehamilan seorang ibu untuk dapat menyatakan kesahan seorang anak, antara lain:
a)      Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa berdasarkan pasal 255 KUH Perdata seorang anak yang lahir setelah lampau 300 hari sesudah perkawinan terputus, adalah tidak sah (unwettig), dengan kata lain anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari sesudah perkawinan putus adalah anak sah.
b)      Kemudian menurut Yuyunboll dalam Wirdjono Prodjodikoro dikatakan bahwa menurut Hukum Islam, si anak supaya dapat dikatakan anak dari suami ibunya, harus dilahirkan sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang iddah sesudah perkawinan putus.
c)       Seorang anak yang lahir sesudah perkawinan putus tetapi dalam tenggang yang sama dengan tenggang hamil yang biasa (8 atau 9 bulan), tetap dianggap anak dari bekas ibunya.[4]
Hukum adat tidak mengenal tenggang waktu sesudah perkawinan dengan dilahirkannya seorang anak artinya meskipun seorang anak lahir dalam waktu yang amat singkat sesudah pernikahan ibunya, maka suami tersebut tetap dianggap bapaknya.
Pembuktian anak sah berdasarkan keturunan dapat dibuktikan dengan akta kelahiran. Akta kelahiran membuktikan bahwa seorang anak yang namanya disebutkan di sana adalah keturunan dari orang-orang yang disebutkan di dalamnya.[5]
Dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2) Undang-undang Perkawinan dijelaskan  bahwa :
1)      Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2)      Disebutkan bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Sementara itu mengenai kedudukan anak didasarkan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa anak sah adalah:
1)      Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
2)      Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa:
1)      Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
2)      Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
3)      Atas dasar ketetapan Pengadilan agama tersebut ayat (2), maka instansi pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.  
Pencatatan ini dibutuhkan pula sebagai bukti apabila terjadi masalah di kemudian hari, oleh karenanya setiap anak yang dilahirkan sebaiknya secepatnya didaftarkan sehingga mendapatkan akta kelahiran, yang dibuat di kantor catatan sipil, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan dan
Penyelenggaraan Catatan Sipil.
2.      Kedudukan anak tidak sah
Mengenai anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, yang meliputi anak luar kawin, anak zinah, dan anak sumbang. Dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” Pasal 43 Undang-undang Perkawinan yang menyebutkan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata ibunya dan keluarga ibunya, ini sesuai dengan dasar pemikiran Hukum Adat yang memberikan hak dan kewajiban anak terhadap ibunya dan keluarga ibu. Hal ini merupakan ketentuan nasional berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia baik asli maupun keturunan. Undang-undang Perkawinan dengan demikian memberikan status yang jelas dan pasti bagi seseorang anak luar kawin. 
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku prinsip bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa :  “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”.
Tentang pembuktian anak sah berdasarkan keturunan, hal ini diatur dalam Pasal 261 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa: “Keturunan anak-anak yang sah dapat dibuktikan dengan akta-akta kelahiran mereka, sekedar telah dibuktikan dalam register Catatan Sipil” Seorang anak yang lahir sebelum hari keseratus enam puluh (6 bulan) dari perkawinan, dapat diingkari oleh suami, sebagai anak luar kawin. Kecuali sebelum melakukan perkawinan suami istri tersebut telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu. Maka dengan pengakuan terhadap anak luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak dengan ayah atau ibunya.[6] Jadi menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata anak yang lahir atau dibesarkan selama perkawinan, walaupun anak itu benih orang lain adalah anak dari suami ibunya yang terikat perkawinan.
Anak yang lahir di luar perkawinan, misalnya seorang wanita yang mengandung kemudian melahirkan anak tanpa diketahui siapa bapak anak tersebut, maka anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya dan atau keluarga ibunya saja, dan tidak ada hubungan perdata dengan bapak biologisnya. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dilarang untuk menyelidiki siapa bapak anak tersebut sedangkan terhadap ibunya diperbolehkan.[7] Maka dapatlah dijelaskan bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang kedudukan anak hanyalah ditentukan tentang anak sah dan anak tidak
sah sebagaimana hal ini terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan.
Menurut Hilman Hadikusuma, masyarakat Hukum Adat berbeda dari masyarakat yang modern, di mana keluarga/rumah tangga dari suatu ikatan perkawinan tidak saja terdapat anak kandung, tetapi juga terdapat anak tiri, anak angkat, anak asuh, anak akuan dan sebagainya. Kesemua anak-anak itu ada sangkut pautnya dengan hak dan kewajiban orang tua yang mengurus dan memeliharanya, begitu pula sebaliknya. Kedudukan anak-anak tersebut pengaturannya juga berlatar belakang pada susunan masyarakat adat yang bersangkutan dan bentuk perkawinan orang tua yang berlaku. Bukan tidak jadi masalah tentang sah atau tidaknya anak. Hal mana dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat bersangkutan tetapi yang juga penting adalah menyangkut keturunan dan perwarisan.[8]
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan bahwa: 
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Agar seorang anak dianggap anak sah dari suami ibunya, maka harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang masa iddah (4 bulan 10 hari) sesudah perkawinan terputus.[9]
Seseorang anak yang lahir dalam tenggang waktu 6 bulan setelah pernikahan atau setelah perkawinannya terputus adalah anak tidak sah artinya anak tersebut tidak mempunyai hubungan dengan ayahnya, tetapi anak tersebut tetap mempunyai hubungan dengan ibu yang melahirkannya. Sedangkan kedudukan anak di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di atur dalam Pasal 27, di mana disebutkan bahwa:
(1)   Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada suatu keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui keberadaanya,  pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.
Di dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan juga bahwa:
(1) Pembuatan Akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.
(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukan permohonan.
(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Surat/akta lahir membuktikan bahwa seorang anak yang namanya disebutkan di sana adalah anak dari orang yang disebutkan dalam akta kelahiran yang bersangkutan paling tidak dari perempuan yang melahirkan anak itu, yang namanya disebutkan di sana. Akta kelahiran juga menyebutkan bahwa anak yang bersangkutan lahir pada hari dan tanggal tertentu. Saat kelahiran dihubungkan dengan status perkawinan dari perempuan yang melahirkan anak itu, menentukan hubungan anak itu dengan suami dari ibu anak itu.[10]
b.      Putusnya perkawinan dan akibat hukumnya terhadap status anak
Putusnya perkawinan dalam Pasal 38 UU No. 1 tahun 1974 diatur sebagai berikut:
“Perkawinan dapat putus karena:
a. kematian;
b. perceraian; dan
c. atas keputusan Pengadilan.”
Setiap sebab putusnya perkawinan menimbulkan status terhadap anak yang dilahirkan, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1)      Akibat putusnya perkawinan karena kematian terhadap status anak
Kematian adalah peristiwa alam akan tetapi memiliki akibat hukum, oleh karena itu peristiwa kematian merupakan peristiwa hukum. Kematian yang dimaksud di sini adalah meninggalnya salah satu atau kedua suami-istri, sehingga unsur subyek hukum dalam perkawinan telah meninggal atau sudah tidak ada lagi. Akibat dari putusnya perkawinan karena kematian ini maka status hukum anak dari suatu perkawinan tersebut tetap menjadi anak sah yang mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan ibunya serta keluarga kedua orang tuanya.
2)      Akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap status anak
Putusnya perkawinan akibat perceraian menimbulkan hubungan antara orang tua dan anaknya, Pasal 41 huruf a dan b mengatur:
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;”
Dari Pasal tersebut dapat dilihat bahwa setelah perceraian anak tetap memiliki status atau kedudukan menjadi anak sah, karena masih memiliki hubungan hukum dengan kedua orang tuanya.
3)      Akibat putusnya perkawinan atas putusan pengadilan terhadap status anak
Putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan yang membatalkan suatu perkawinan, sehubungan dengan adanya gugatan untuk membatalkan perkawinan yang disebabkan karena melanggar persyaratan perkawinan. Pasal 23 UU No. 1 tahun 1974 mengatur bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Suatu sebab yang dapat membatalkan suatu perkawinan antara lain diatur dalam Pasal 24, Pasal 26, Pasal 27 UU No. 1 tahun 1974.
Pasal 24
“Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.”
Pasal 26
“(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. “
Pasal 27
“(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.”
Akibat dari putusnya perkawinan karena putusan pengadilan ini maka status hukum anak dari suatu perkawinan tersebut tetap menjadi anak sah, hal ini didasarkan pada Pasal 28 UU No. 1 tahun 1974:
“(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Ketentuan tersebut sangatlah adil dan manusiawi, mengingat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang tuanya tidaklah pantas dipikul oleh anaknya. Hal ini untuk melindungi kepentingan si anak, maka anak tersebut tetap digolongkan sebagai anak sah yang mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan ibunya serta keluarga kedua orang tuanya.




2.      Hak anak setelah putusnya perkawinan
Hak anak setelah putusnya perkawinan orang tuanya dilindungi oleh hukum, yang artinya membebankan kewajiban  terhadap orang tua terhadap anak. Setelah dianalisis bahwa putusnya perkawinan baik akibat kematian, putusan pengadilan, maupun perceraian tetap membuat status anak menjadi anak sah, maka anak tersebut tetap mendapat hak dari kedua orang tuanya.
a.       Hak anak akibat putusnya perkawinan orang tuanya karena kematian
Kematian salah satu suami atau istri memiliki arti bahwa salah satu pihak yang masih hidup meneruskan kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, serta mewakili anak-anaknya tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan sampai kawin atau sampai mereka mandiri, sebagai mana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 jo. Pasal 47 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974.
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 47 ayat (2)
Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Anak juga memperoleh hak dari orang tuanya (suami atau istri) yang mati yaitu anak mendapatkan hak waris dari si mayit.


b.      Hak anak akibat putusnya perkawinan orang tuanya karena perceraian
Putusnya perkawinan akibat perceraian menimbulkan hubungan antara orang tua dan anaknya, Pasal 41 huruf a dan b mengatur:
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;”
Dari Pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Undang-Undang mengatur perlindungan terhadap anak agar hak-haknya seperti dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 jo. Pasal 47 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 agar tetap terlindungi, hal ini merupakan konsekuensi hukum dari status kedudukan anak setelah orang tua mereka bercerai yaitu status anak tersebut tetap merupakan anak sah.
c.       Hak anak akibat putusnya perkawinan orang tuanya karena putusan pengadilan
Akibat dari putusnya perkawinan karena putusan pengadilan ini status hukum anak dari suatu perkawinan tersebut tetap menjadi anak sah sebagai mana Pasal 28 UU No. 1 tahun 1974 maka anak tersebut tetap mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya dan keluarga orang tuanya, maka anak tersebut tetap berhak menikmati hak-haknya dari orang tuanya ini merupakan konsekuensi hukum dari anak sah.



BAB III
PENUTUP
Simpulan
Status anak akibat dari putusnya perkawinan orang tuanya baik karena kematian, perceraian, maupun atas keputusan Pengadilan semuanya tidak mengakibatkan anak tersebut kehilangan hubungan dengan orang tuanya, yang artinya status anak tersebut tetap menjadi anak sah. Seorang anak yang sah adalah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya
Konsekuensi logis dari anak sah, maka anak tersebut mendapat hak-hak penuh dari kedua orang tuanya, meskipun perkawinan kedua orang tuanya tersebut putus, untuk pemenuhan hak-hak tersebut maka di atur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus, dan orang tua juga mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan, dan anak juga memperoleh hak dari orang tuanya (suami atau istri) yang mati yaitu anak mendapatkan hak waris dari si mayit.



DAFTAR PUSTAKA

Trusto Subekti, 2012, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian hukum, Universitas Jenderal Soedirman
R. Subekti, 1994, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta
J. Satrio, 2005, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam UU, Citra Aditya Bakti
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju , Bandung
Wirjono Projodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung



[1] Trusto Subekti, 2012, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian hukum, Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 33
[2] R. Subekti, 1994, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hlm. 48.
[3] Ibid, hlm. 48.
[4] Opcit, Trusto Subekti, 2012, Kumpulan......., hlm. 33                                               
[5] J. Satrio, 2005, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam UU, Citra Aditya Bakti, Bandung , hlm. 87.
[6] Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan
Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju , Bandung, hlm. 133.
[7] Ibid, hlm. 134.
[8] Ibid, hlm. 135.
[9] Wirjono Projodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, hlm. 60.
[10] J. Satroi Op-cit, hlm. 86.

No comments:

Post a Comment