AKIBAT
PUTUSNYA PERKAWINAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 1974
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, namun terkadang ikatan perkawinan tersebut
juga dapat putus, Pasal 38 UU No. 1 tahun 1974 mengatur bahwa Perkawinan dapat
putus karena:
a. Kematian;
b. Perceraian; dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Dari semua sebab
tersebut menimbulkan suatu kedudukan dan hak terhadap anak. Hak anak adalah
termasuk hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Konvensi Hak Anak yang
merupakan bagian dari hukum internasional yang tertuang dalam Resolusi PBB
44/25 tanggal 20 November 1989, yang di mana konvensi ini memberikan kewajiban kepada
negara pesertanya untuk memberikan pemenuhan hak-hak bagi setiap anak,
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak anak melalui Keppres No. 36 Tahun
1990 yang diundangkan pada 5 Oktober 1990. Salah satu wujud pelaksanaannya
adalah dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Salah satu bentuk perlindungan pemerintah terhadap
anak dalam suatu keluarga yaitu dengan
dibuatnya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang di dalamnya mengatur mengenai kedudukan atau
status dari anak serta hak-haknya.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur
mengenai kedudukan anak ini dalam tiga pasal saja, yaitu Pasal 42- Pasal 44 UU
No. 1 Tahun 1974. Kedudukan dalam aspek bahasa memiliki arti sebagai letak atau
tempat seseorang, dan dalam aspek hukum kedudukan anak berarti suatu posisi
(status) anak dalam keluarga, dalam aspek hubungannya dengan orang tua atau
sebaliknya, sebagai akibat adanya perkawinan.[1]
Kedudukan anak dapat dibagi menjadi anak sah dan anak
tidak sah. Seorang anak yang sah
adalah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan
ibunya.[2]
Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: “Anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Mengenai anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan
di luar perkawinan yang sah, yang meliputi anak luar kawin, anak zinah, dan
anak sumbang. Dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyebutkan
bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dari kedua status atau kedudukan
anak tersebut maka mengakibatkan suatu konsekuensi tersendiri.
B.
Perumusan Masalah
1. Bagaimana status anak setelah putusnya
perkawinan orang tuanya berdasarkan UU No. 1 tahun 1974?
2. Bagaimana hak anak dan kewajiban orang
tua setelah putusnya perkawinan?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Status anak setelah putusnya perkawinan
orang tuanya berdasarkan UU No. 1 tahun 1974
a. Kualifikasi anak dan kedudukan hukumnya
Kedudukan anak dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Kedudukan
anak sah
Seorang anak
yang sah adalah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah
dan ibunya.[3]
Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: “Anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Pasal 42 Undang-undang Perkawinan tidak
menyebutkan adanya suatu tenggang waktu untuk dapat menentukan kesahan seorang
anak, seperti halnya dalam hukum adat, tetapi dalam hukum Islam maupun Kitab
Undang-undang Hukum Perdata ada tenggang waktu kehamilan seorang ibu untuk
dapat menyatakan kesahan seorang anak, antara lain:
a)
Menurut
Wirjono Prodjodikoro bahwa berdasarkan pasal 255 KUH Perdata seorang anak yang
lahir setelah lampau 300 hari sesudah perkawinan terputus, adalah tidak sah
(unwettig), dengan kata lain anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari
sesudah perkawinan putus adalah anak sah.
b)
Kemudian
menurut Yuyunboll dalam Wirdjono Prodjodikoro dikatakan bahwa menurut Hukum
Islam, si anak supaya dapat dikatakan anak dari suami ibunya, harus dilahirkan
sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang iddah
sesudah perkawinan putus.
c)
Seorang anak yang lahir sesudah perkawinan
putus tetapi dalam tenggang yang sama dengan tenggang hamil yang biasa (8 atau
9 bulan), tetap dianggap anak dari bekas ibunya.[4]
Hukum adat tidak mengenal tenggang waktu
sesudah perkawinan dengan dilahirkannya seorang anak artinya meskipun seorang
anak lahir dalam waktu yang amat singkat sesudah pernikahan ibunya, maka suami
tersebut tetap dianggap bapaknya.
Pembuktian anak
sah berdasarkan keturunan dapat dibuktikan dengan akta kelahiran. Akta
kelahiran membuktikan bahwa seorang anak yang namanya disebutkan di sana adalah
keturunan dari orang-orang yang disebutkan di dalamnya.[5]
Dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2)
Undang-undang Perkawinan dijelaskan
bahwa :
1) Asal usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang.
2) Disebutkan bila akta kelahiran tersebut
dalam ayat (1) Pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang
teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Sementara itu mengenai kedudukan anak
didasarkan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa anak sah adalah:
1) Anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
2) Hasil
pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut.
Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan bahwa:
1) Asal
usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti
lainnya.
2) Bila
akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka
Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak
setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
3) Atas
dasar ketetapan Pengadilan agama tersebut ayat (2), maka instansi pencatat
Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan
akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Pencatatan ini dibutuhkan pula sebagai
bukti apabila terjadi masalah di kemudian hari, oleh karenanya setiap anak yang
dilahirkan sebaiknya secepatnya didaftarkan sehingga mendapatkan akta
kelahiran, yang dibuat di kantor catatan sipil, sesuai dengan Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan dan
Penyelenggaraan
Catatan Sipil.
2.
Kedudukan
anak tidak sah
Mengenai anak tidak sah adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan yang sah, yang meliputi anak luar kawin, anak
zinah, dan anak sumbang. Dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan
menyebutkan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” Pasal 43 Undang-undang
Perkawinan yang menyebutkan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata
ibunya dan keluarga ibunya, ini sesuai dengan dasar pemikiran Hukum Adat yang
memberikan hak dan kewajiban anak terhadap ibunya dan keluarga ibu. Hal ini
merupakan ketentuan nasional berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia baik
asli maupun keturunan. Undang-undang Perkawinan dengan demikian memberikan
status yang jelas dan pasti bagi seseorang anak luar kawin.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
berlaku prinsip bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang
sah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
bahwa : “Tiap-tiap anak yang dilahirkan
atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”.
Tentang pembuktian anak sah berdasarkan
keturunan, hal ini diatur dalam Pasal 261 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
yang menyatakan bahwa: “Keturunan anak-anak yang sah dapat dibuktikan dengan
akta-akta kelahiran mereka, sekedar telah dibuktikan dalam register Catatan
Sipil” Seorang anak yang lahir sebelum hari keseratus enam puluh (6 bulan) dari
perkawinan, dapat diingkari oleh suami, sebagai anak luar kawin. Kecuali
sebelum melakukan perkawinan suami istri tersebut telah melakukan pengakuan
secara sah terhadap anak itu. Maka dengan pengakuan terhadap anak luar kawin,
terlahirlah hubungan perdata antara anak dengan ayah atau ibunya.[6]
Jadi menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata anak yang lahir atau dibesarkan
selama perkawinan, walaupun anak itu benih orang lain adalah anak dari suami
ibunya yang terikat perkawinan.
Anak yang lahir di luar perkawinan,
misalnya seorang wanita yang mengandung kemudian melahirkan anak tanpa diketahui
siapa bapak anak tersebut, maka anak itu hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu yang melahirkannya dan atau keluarga ibunya saja, dan tidak ada
hubungan perdata dengan bapak biologisnya. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dilarang untuk menyelidiki siapa bapak anak tersebut sedangkan terhadap
ibunya diperbolehkan.[7]
Maka dapatlah dijelaskan bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
tentang kedudukan anak hanyalah ditentukan tentang anak sah dan anak tidak
sah
sebagaimana hal ini terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan.
Menurut Hilman Hadikusuma, masyarakat Hukum Adat berbeda dari masyarakat
yang modern, di mana keluarga/rumah tangga dari suatu ikatan perkawinan tidak
saja terdapat anak kandung, tetapi juga terdapat anak tiri, anak angkat, anak
asuh, anak akuan dan sebagainya. Kesemua anak-anak itu ada sangkut pautnya
dengan hak dan kewajiban orang tua yang mengurus dan memeliharanya, begitu pula
sebaliknya. Kedudukan anak-anak tersebut pengaturannya juga berlatar belakang
pada susunan masyarakat adat yang bersangkutan dan bentuk perkawinan orang tua
yang berlaku. Bukan tidak jadi masalah tentang sah atau tidaknya anak. Hal mana
dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat bersangkutan tetapi yang juga
penting adalah menyangkut keturunan dan perwarisan.[8]
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam,
menyebutkan bahwa:
“Anak
yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Agar seorang anak dianggap anak sah dari
suami ibunya, maka harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan
atau di dalam tenggang masa iddah (4 bulan 10 hari) sesudah perkawinan
terputus.[9]
Seseorang anak yang lahir dalam tenggang
waktu 6 bulan setelah pernikahan atau setelah perkawinannya terputus adalah
anak tidak sah artinya anak tersebut tidak mempunyai hubungan dengan ayahnya,
tetapi anak tersebut tetap mempunyai hubungan dengan ibu yang melahirkannya.
Sedangkan kedudukan anak di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak di atur dalam Pasal 27, di mana disebutkan bahwa:
(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan
sejak kelahirannya.
(2)
Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
(3)
Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada suatu keterangan dari orang yang
menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
(4)
Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui keberadaanya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut
didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.
Di dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan juga bahwa:
(1)
Pembuatan Akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam
pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.
(2)
Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukan permohonan.
(3)
Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai
biaya.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
Surat/akta
lahir membuktikan bahwa seorang anak yang namanya disebutkan di sana adalah
anak dari orang yang disebutkan dalam akta kelahiran yang bersangkutan paling
tidak dari perempuan yang melahirkan anak itu, yang namanya disebutkan di sana.
Akta kelahiran juga menyebutkan bahwa anak yang bersangkutan lahir pada hari
dan tanggal tertentu. Saat kelahiran dihubungkan dengan status perkawinan dari
perempuan yang melahirkan anak itu, menentukan hubungan anak itu dengan suami
dari ibu anak itu.[10]
b. Putusnya perkawinan dan akibat hukumnya
terhadap status anak
Putusnya perkawinan dalam Pasal 38 UU
No. 1 tahun 1974 diatur sebagai berikut:
“Perkawinan dapat putus karena:
a. kematian;
b. perceraian; dan
c. atas keputusan Pengadilan.”
Setiap
sebab putusnya perkawinan menimbulkan status terhadap anak yang dilahirkan,
yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Akibat
putusnya perkawinan karena kematian terhadap status anak
Kematian adalah peristiwa alam akan
tetapi memiliki akibat hukum, oleh karena itu peristiwa kematian merupakan
peristiwa hukum. Kematian yang dimaksud di sini adalah meninggalnya salah satu
atau kedua suami-istri, sehingga unsur subyek hukum dalam perkawinan telah
meninggal atau sudah tidak ada lagi. Akibat dari putusnya perkawinan karena
kematian ini maka status hukum anak dari suatu perkawinan tersebut tetap
menjadi anak sah yang mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan ibunya serta
keluarga kedua orang tuanya.
2) Akibat
putusnya perkawinan karena perceraian terhadap status anak
Putusnya perkawinan
akibat perceraian menimbulkan hubungan antara orang tua dan anaknya, Pasal 41
huruf a dan b mengatur:
“Akibat putusnya perkawinan
karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung
jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;
bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;”
Dari Pasal tersebut dapat dilihat bahwa
setelah perceraian anak tetap memiliki status atau kedudukan menjadi anak sah,
karena masih memiliki hubungan hukum dengan kedua orang tuanya.
3) Akibat
putusnya perkawinan atas putusan pengadilan terhadap status anak
Putusnya perkawinan atas keputusan
pengadilan yang membatalkan suatu perkawinan, sehubungan dengan adanya gugatan
untuk membatalkan perkawinan yang disebabkan karena melanggar persyaratan
perkawinan. Pasal 23 UU No. 1 tahun 1974 mengatur bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang
hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang
ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Suatu
sebab yang dapat membatalkan suatu perkawinan antara lain diatur dalam Pasal
24, Pasal 26, Pasal 27 UU No. 1 tahun 1974.
Pasal
24
“Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah
satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan
Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.”
Pasal 26
“(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami
atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan
alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama
sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat
pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus
diperbaharui supaya sah. “
Pasal 27
“(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih
tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk
mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.”
Akibat dari putusnya perkawinan karena
putusan pengadilan ini maka status hukum anak dari suatu perkawinan tersebut
tetap menjadi anak sah, hal ini didasarkan pada Pasal 28 UU No. 1 tahun 1974:
“(1) Batalnya suatu
perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku
sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku
surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang
bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga
lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan
iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum
tetap.”
Ketentuan tersebut sangatlah adil dan
manusiawi, mengingat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang tuanya
tidaklah pantas dipikul oleh anaknya. Hal ini untuk melindungi kepentingan si
anak, maka anak tersebut tetap digolongkan sebagai anak sah yang mempunyai
hubungan hukum dengan ayah dan ibunya serta keluarga kedua orang tuanya.
2.
Hak anak setelah putusnya perkawinan
Hak anak setelah
putusnya perkawinan orang tuanya dilindungi oleh hukum, yang artinya
membebankan kewajiban terhadap orang tua
terhadap anak. Setelah dianalisis bahwa putusnya perkawinan baik akibat
kematian, putusan pengadilan, maupun perceraian tetap membuat status anak
menjadi anak sah, maka anak tersebut tetap mendapat hak dari kedua orang
tuanya.
a.
Hak
anak akibat putusnya perkawinan orang tuanya karena kematian
Kematian salah satu
suami atau istri memiliki arti bahwa salah satu pihak yang masih hidup meneruskan
kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, serta mewakili
anak-anaknya tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan
sampai kawin atau sampai mereka mandiri, sebagai mana diatur dalam Pasal 45
ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 jo. Pasal 47 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974.
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orang tua putus.
Pasal 47 ayat (2)
Orang tua mewakili anak
tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Anak juga memperoleh
hak dari orang tuanya (suami atau istri) yang mati yaitu anak mendapatkan hak
waris dari si mayit.
b.
Hak
anak akibat putusnya perkawinan orang tuanya karena perceraian
Putusnya perkawinan
akibat perceraian menimbulkan hubungan antara orang tua dan anaknya, Pasal 41 huruf
a dan b mengatur:
“Akibat putusnya perkawinan
karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung
jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;
bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;”
Dari Pasal tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa Undang-Undang mengatur perlindungan terhadap
anak agar hak-haknya seperti dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun
1974 jo. Pasal 47 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 agar tetap terlindungi, hal ini
merupakan konsekuensi hukum dari status kedudukan anak setelah orang tua mereka
bercerai yaitu status anak tersebut tetap merupakan anak sah.
c.
Hak
anak akibat putusnya perkawinan orang tuanya karena putusan pengadilan
Akibat
dari putusnya perkawinan karena putusan pengadilan ini status hukum anak dari
suatu perkawinan tersebut tetap menjadi anak sah sebagai mana Pasal 28 UU No. 1
tahun 1974 maka anak tersebut tetap mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang
tuanya dan keluarga orang tuanya, maka anak tersebut tetap berhak menikmati
hak-haknya dari orang tuanya ini merupakan konsekuensi hukum dari anak sah.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Status anak
akibat dari putusnya perkawinan orang tuanya baik karena kematian, perceraian, maupun atas keputusan Pengadilan
semuanya tidak mengakibatkan anak tersebut kehilangan hubungan dengan orang
tuanya, yang artinya status anak tersebut tetap menjadi anak sah. Seorang anak yang sah adalah anak yang
dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya
Konsekuensi logis dari anak
sah, maka anak tersebut mendapat hak-hak penuh dari kedua orang tuanya,
meskipun perkawinan kedua orang tuanya tersebut putus, untuk pemenuhan hak-hak
tersebut maka di atur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua putus, dan orang tua juga mewakili anak tersebut mengenai
segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan, dan anak juga memperoleh hak dari orang
tuanya (suami atau istri) yang mati yaitu anak mendapatkan hak waris dari si
mayit.
DAFTAR PUSTAKA
Trusto
Subekti, 2012, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian hukum, Universitas
Jenderal Soedirman
R.
Subekti, 1994, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
Intermasa, Jakarta
J. Satrio, 2005, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam UU,
Citra Aditya Bakti
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut
Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju , Bandung
Wirjono Projodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia,
Sumur Bandung, Bandung
No comments:
Post a Comment