PENEGAKAN
HUKUM PIDANA LINGKUNGAN TERHADAP KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN DI PELABUHAN BENOA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Lingkungan
hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa kepada rakyat dan bangsa
Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan materinya
sesuai dengan wawasan nusantara. Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam
untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila.[1]
Kaidah
dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia
terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4 yang pada
pokoknya mewajibkan pemerintah untuk mendayagunakan sumber daya alam yang ada
untuk sebanyak-banyak kesejahteraan rakyat. Pemikiran tentang kewajiban negara
ini secara konstitusional tersebut lebih dijabarkan lagi dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu prinsip negara, bumi dan segala kekayaan yang
terkandung di dalamnya serta menjadi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara untuk digunakan untuk kehidupan orang banyak atau dengan kata lain
negara bertindak sebagai penyelenggara kepentingan umum (Bestuurzorg)[2].
Masalah
lingkungan hidup secara formil baru menjadi perhatian dunia setelah
terselenggaranya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan
hidup, yang diselenggarakan pada tanggal 5 sampai 16 Juni 1972 di Stockholm
Swedia, terkenal dengan United Nations
Conference on Human Environment. Konferensi berhasil melahirkan kesepakatan
internasional dalam menangani masalah lingkungan hidup, dan mengembangkan hukum
lingkungan hidup baik pada tingkat nasional, regional, maupun internasional.[3]
Perusakan habitat sumber
daya hayati melalui berbagai cara yang tidak wajar, bukan saja berakibat buruk
pada sumber daya hayatinya (hutan mangrove, terumbu karang, ikan dan
sebagainya) yang berakibat pada pemusnahan plasma nutfah, juga telah membawa
akibat pada penurunan pendapatan masyarakatnya. Berbagai kegiatan pembangunan
yang berlangsung di kawasan pantai dan pesisir seperti pembangunan pelabuhan,
industri, perumahan, pariwisata, pertambangan dan perikanan memunculkan
berbagai isu dan masalah sebagai hasil dari penggunaan dan pemanfaatannya serta
konflik kepentingan antara berbagai pihak. Sebagai contoh kasus pencemaran
lingkungan oleh PT Indonesia Power akibat
bocornya pipa minyak. Kebocoran ini berdampak pada pencemaran lingkungan parah,
karena sudah sampai mencemari air laut dan tanaman bakau di kawasan Pelabuhan
Benoa, Kota Denpasar. Yayasan Wisnu Bali meminta PT
Indonesia Power serius dan bertanggung jawab penuh terhadap pencemaran
lingkungan tersebut. Karena pencemaran lingkungan itu bentuk dari pelanggaran
undang-undang lingkungan hidup. Pihak Indonesia Power tampaknya hanya
seremonial dan sekedar saja membersihkan sisa oli dari kebocoran pipanya.
Buktinya minyak dan oli masih tampak mengambang di sekitar tanaman bakau.[4]
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup :
“Sengketa lingkungan hidup adalah
perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang
berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup”[5]
Dalam
hal ini hukum pidana menjadi salah satu instrumen bagi penyelesaian sengketa
lingkungan hidup serta dijadikan sebagai asas dalam lingkungan hidup.
B.
Perumusan Masalah
1.
Apa
faktor penyebab terjadinya tindak pidana lingkungan?
2.
Bagaimana
penyelesaian hukum pidana lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup apabila diterapkan
terhadap kasus PT Indonesia Power?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana
Lingkungan
Jika
kita berbicara tindak pidana lingkungan hidup maka tidak akan terlepas pada
asas ultimum remedium yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, asas ini tidak
menjelaskan mengapa legislator memperlakukan asas ultimum remedium hanya terhadap baku mutu air limbah, baku mutu
emisi dan baku mutu gangguan saja. Padahal karakteristik delik formil baru
merupakan pelanggaran administrasi, yaitu berupa pelanggaran syarat atau izin
yang ditetapkan.[6]
Kecenderungan
memfungsikan hukum pidana dalam masalah lingkungan sebagai primum remedium sangat menonjol dibandingkan dengan mendahulukan
upaya hukum lain, padahal delik formil lebih dominan dibandingkan dengan delik
materil. UUPPLH lebih menonjolkan pidana penjara bagi pelanggar hukum
administrasi yang justru belum melakukan pemcemaran dan/atau perusakan
lingkungan.[7]
Kejaksaan
Agung sebagai salah satu institusi penegak hukum telah membuat sebuah pedoman
bagi jajaran kejaksaan dalam menangani kasus lingkungan khusus menyangkut asas
subsidaritas dihubungkan dengan delik formil. Pedoman tersebut termuat dalam
surat nomor: B-60/E/Ejp/01/2002 tertanggal 29 Januari 2002, perihal pedoman
teknis yustitial penanganan perkara tindak pidana lingkungan hidup yang berkaitan
dengan asas subsidaritas.[8]
Surat
ini ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Seluruh Indonesia. Pedoman ini
memberikan acuan kerja sebelum menerapkan hukum pidana, ini mengandung makna
bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan
hidup baru dapat dimulai bila telah dilaksanakannya tindakan hukum di bawah
ini:
a. Aparat
yang berwenang menjatuhkan sanksi administrasi sudah menindak pelanggar dengan
menjatuhkan suatu sanksi administrasi tersebut tidak mampu menghentikan pelanggaran
yang terjadi; atau
b. Antara
perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi
korban akibat terjadinya pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa
melalui mekanisme alternatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah atau
perdamaian, negosiasi, atau mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan
buntu; dan/atau
c. Litigasi
melalui pengadilan, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru kegiatan
dapat dimulai/instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup dapat digunakan.[9]
Ketiga
syarat asas subsidaritas dalam bentuk upaya tersebut di atas dapat
dikesampingkan apabila dipenuhi tiga syarat atau kondisi tersebut di bawah ini
:
a. Tingkat
kesalahan pelaku relatif berat;
b. Akibat
perbuatannya relatif besar;
c. Perbuatan
pelaku menimbulkan keresahan masyarakat.[10]
d. Pada
surat tersebut kejaksaan menetapkan tindakan hukum tersebut bersifat
alternatif, artinya tidak semua harus dijalankan cukup salah satu di antaranya.
e. Tidak
dijelaskan tahapan-tahapan tersebut diperlakukan untuk delik formil atau untuk
delik materiil saja. Namun dari surat tersebut dapat ditafsirkan bahwa tahapan
tersebut diperuntuhkan untuk delik formil, karena terhadap tingkat kesalahan
pelaku relatif berat, akibat perbuatannya relatif besar, dan perbuatan pelaku
menimbulkan keresahan masyarakat prosedur tersebut dapat diabaikan.[11]
Tindak pidana lingkungan hidup dapat
dilakukan secara terus menerus jika dilihat bahwa pidana dijadikan sebagai
upaya terakhir, karena yang akan terjadi adalah adanya upaya hukum lain yang hasilnya
malah tidak sama sekali menghukum pembuat kerusakan. Kejahatan lingkungan dalam bentuk
pencemaran dan kerusakan lingkungan, yang terjadi di Indonesia,
kecenderungannya makin meningkat. Hal itu dapat kita ketahui dari laporan,
pemberitaan media cetak, media elektronik maupun dari penglihatan langsung di
lapangan. Penyelesaiannya apakah melalui tindakan preventif maupun represif,
tidak bisa dipisahkan dari instrumen penegakan hukum, apakah melalui :
Penerapan Sanksi Administratif berupa Teguran Tertulis, Paksaan Pemerintah;
maupun melalui jalur Penyelesaian Sengketa / Perdata ataupun penegakan hukum
berupa Penegakan Hukum Pidana, berbicara mengenai penerapan hukum administratif
lingkungan, tidak bisa dilepaskan dari peran Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
(PPLH).
Masalah lingkungan hidup
pada dasarnya timbul karena :
a.
Dinamika
penduduk
b.
Pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya yang kurang bijaksana
c.
Kurang
terkendalinya pemanfaatan akan ilmu pengetahuan dan teknologi maju
d.
Dampak negatif
yang sering timbul dan kemajuan ekonomi yang seharusnya positif
e.
Benturan
tata ruang.
Berdasarkan hal tersebut
maka diperlukan adanya AMDAL (analisis dampak lingkungan), AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk
pengambilan keputusan. Hal –hal yang dikaji dalam proses AMDAL : aspek
fisik-kimia, ekologi, sosial -ekonomi, sosial budaya,
dan kesehatan
masyarakat sebagai
pelengkap studi
kelayakan suatu
rencana usaha
dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak
lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian
studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di
sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat
diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun
dampak positif yang akan timbul dari
usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan
mengembangkan dampak positif.
Untuk mengukur atau
menentukan dampak besar dan penting tersebut di
antaranya digunakan kriteria mengenai :
a.
besarnya
jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b.
luas wilayah
penyebaran dampak;
c.
intensitas
dan lamanya dampak berlangsung;
d.
banyaknya
komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e.
sifat
kumulatif dampak;
f.
berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
2.
Penyelesaian Hukum Pidana Lingkungan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Apabila Diterapkan Terhadap Kasus PT Indonesia Power
Penyusun Undang-Undang tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, berusaha untuk membuat definisi tentang
lingkungan sebagai berikut:
“lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”[12]
Istilah
lingkungan dan lingkungan hidup atau lingkungan hidup manusia sebagai
terjemahan dari bahasa Inggris environment
and human environment. Sering kali digunakan secara silih berganti dalam
pengertian sama. Sekalipun arti lingkungan dan lingkungan hidup manusia dapat
diberi batasan yang berbeda-beda berdasarkan persepsi setiap penulis.[13]
“lingkungan
atau lingkungan hidup manusia adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada
dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita” [14]
Pengertian
di atas bahwa lingkungan hidup dalam arti ini adalah semua benda, daya, dan
kehidupan termasuk di dalamnya manusia dan tingkah lakunya yang terdapat dalam
suatu ruang, yang mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya.[15]
Dalam
pengkajian terhadap ketentuan pemidanaan tindak kejahatan lingkungan, terlebih
dahulu perlu dipahami apakah yang dimaksud dengan pidana dan pemidanaan
tersebut, kemudian dilanjutkan makna filosofis yang terkandung dalam
ketentuan-ketentuan pemidanaan yang berlaku (ius constitutum). Menurut Soedarto yang dimaksud dengan pidana adalah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: [16]
1) pidana itu pada hakikatnya merupakan
suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat lain-lain yang tidak
menyenangkan;
2) pidana itu diberikan dengan sengaja
oleh seseorang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh pihak yang berwenang);
3) pidana itu dikenakan kepada seseorang
yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Sementara pembatasan
makna untuk pengertian pemidanaan menjadi suatu pengertian yang dilematis,
terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan
pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak
dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan
titik temu dari dua pandangan tersebut, jika tidak berhasil dilakukan,
memerlukan rumusan baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana.
Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan
teori- teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan berkisar pada
perbedaan hakikat ide dasar tentang pemidanaan, dapat dilihat dari beberapa
pemandangan.
Keberadaan
hukum lingkungan dimaksudkan untuk melindungi dan mengamankan kepentingan alam
dari kemerosotan mutu dan kerusakannya dalam rangka menjaga kelestariannya.[17] Hukum
acara yang digunakan dalam peradilan tindak pidana lingkungan tidak beda dengan
peradilan pidana pada umumnya, namun yang membedakan adalah esensi yang harus
dimengerti oleh penegak hukum yang sampai saat ini belum bisa dipahami oleh
para penegak hukum lingkungan di Indonesia.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
sebagai sumber formal utama hukum lingkungan di Indonesia selain memuat
ketentuan-ketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang terkandung
dalam undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Lingkungan Hidup tahun 1982
dan Undang-Undang Lingkungan Hidup tahun 1997 telah juga memuat norma-norma dan
instrumen-instrumen hukum baru. Beberapa norma hukum baru yang penting adalah
tentang perlindungan hukum atas tiap orang yang memperjuangkan hak atas
lingkungan hidup, kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan
penciptaan delik-delik materiil baru. Dalam tulisan ini beberapa norma hukum
baru yang akan diuraikan.[18]
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah
secara tegas mengadopsi asas-asas yang terkandung dalam Delarasi Rio 1992,
yaitu asas-asas tanggungjawab negara, keterpaduan, kehati-hatian, keadilan,
pencemar membayar, partisipatif dan kearifan lokal. Pengadopsian ini merupakan
politik hukum yang penting karena dapat memperkuat kepentingan pengelolaan
lingkungan hidup manakala berhadapan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek.
Hakim dalam mengadili sebuah perkara dapat menggunakan asas-asas itu untuk
memberikan perhatian atas kepentingan pengelolaan lingkungan hidup yang mungkin
tidak diperhatikan oleh pelaku usaha ataupun pejabat pemerintah yang berwenang.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya
dengan Pasal 66 sangat maju dalam memberikan perlindungan hukum kepada orang
yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan tuntutan pidana
dan perdata. Perlindungan hukum ini sangat penting karena pada masa lalu telah
ada kasus-kasus di mana para aktivis lingkungan hidup yang melaporkan dugaan
terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup telah digugat secara
perdata atau dituntut secara pidana atas dasar pencemaran nama baik
perusahaan-perusahaan yang diduga telah menimbulkan pencemaran atau perusakan
lingkungan hidup. Di dalam sistem hukum Amerika Serikat dan Phillipina, jaminan
perlindungan hukum seperti ini disebut dengan Anti SLAPP (strategic legal action against public participation), yaitu gugatan
yang dilakukan oleh perusahaan yang diduga telah mencemari atau merusak
lingkungan hidup kemudian menggugat si pelapor atau pemberi informasi atau whistle blower dugaan terjadinya
masalah-masalah lingkungan dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut dan
kerugian materiil terhadap pelapor atau pemberi informasi maupun terhadap
pihak-pihak lain di masa datang.
Gugatan
SLAPP dapat mematikan keberanian anggota-anggota masyarakat untuk bersikap
kritis dan menyampaikan laporan atau informasi tentang dugaan atau telah
terjadinya masalah-masalah lingkungan hidup oleh sektor-sektor usaha sehingga
pada akhirnya dapat menggagalkan pengelolaan lingkungan hidup yang melibatkan
peran aktif masyarakat madani (civil
socitey). Para hakim di Indonesia penting sekali untuk memahami kehadiran
dan kegunaan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah
menimbulkan perubahan dalam bidang kewenangan penyidikan dalam perkara-perkara
lingkungan. Berdasarkan Pasal6 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (seterusnya
disingkat dengan Polri) dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (seterusnya disingkat
dengan PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
merupakan salah satu undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) yang
menjadi dasar bagi keberadaan PPNS sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
Kewenangan Polri selain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP,
antara lain, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
pemeriksaan dan penyitaan surat dan wewenang koordinasi atas pelaksanaan tugas
PPNS (Pasal 7 ayat (2), Polri sebagai institusi yang berwenang menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum (Pasal8 ayat (2).
Dengan
demikian, berdasarkan sistem KUHAP, PPNS tidak berwenang menyerahkan berkas
hasil penyidikan secara langsung kepada penuntut umum, tetapi harus melewati
Polri. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup telah mengubah ketentuan yang selama ini memberikan kewenangan
kepada Polri sebagai institusi satu-satunya yang dapat menyerahkan berkas hasil
penyidikan kepada penuntut umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasa l8 ayat (2)
KUHAP. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menimbulkan perubahan.
Perubahan
ini terjadi melalui Pasal 94 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan: ”hasil
penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan
kepada penuntut umum.” Dengan demikian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
lingkungan hidup dapat dan berwenang untuk menyerahkan berkas hasil penyidikan
secara langsung kepada penuntut umum tanpa melalui Polri lagi. Pemberian
kewenangan ini memang masih harus dibuktikan secara empiris pada masa depan
apakah akan membawa perkembangan positif bagi upaya penegakan hukum lingkungan
pidana atau tidak membawa perubahan apapun.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
memberikan kewenangan PPNS dalam penyidikan untuk:
a.
Melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b.
Melakukan
pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c.
Meminta
keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d.
Melakukan
pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e.
Melakukan
pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan,
catatan dan dokumen lain;
f.
Melakukan
penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
g.
Meminta
bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
h.
Menghentikan
penyidikan;
i.
Memasuki
tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;
j.
Melakukan
penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan dan/atau tempat lain yang diduga
merupakan tempat dilakukannya tindak pidana;
k.
Menangkap
dan menahan pelaku tindak pidana.[19]
Hal ini jika diaplikasikan terhadap
kasus yang terjadi pada PT Indonesia Power yang sampai mengakibatkan bocornya pipa minyak dan kebocoran ini berdampak pada pencemaran
lingkungan parah, karena sudah sampai mencemari air laut dan tanaman bakau di
kawasan Pelabuhan Benoa, Kota Denpasar dan Indonesia
Power tidak serius terhadap menanggulangi pencemaran lingkungan tersebut,
karena pencemaran lingkungan itu bentuk
dari pelanggaran undang-undang lingkungan hidup. Pihak Indonesia Power
tampaknya hanya seremonial dan sekedar saja membersihkan sisa oli dari
kebocoran pipanya sebagaimana
dituduhkan oleh Yayasan Wisnu Bali maka berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
memberikan perlindungan hukum kepada Yayasan Wisnu Bali yang telah memperjuangkan
hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan tuntutan pidana dan perdata atas
pencemaran nama baik dari PT Indonesia Power. Sehingga Yayasan Wisnu Bali dapat
mengadukannya kepada PPNS, karena PPNS yang mempunyai kewenangan atas hal
tersebut, hal ini didasarkan pada Pasal 6 ayat (1) yang menjadi dasar bagi
keberadaan PPNS.
Hal
penting berikutnya adalah menentukan siapakah yang harus bertanggungjawab jika
sebuah tindak pidana lingkungan hidup dinyatakan telah dilakukan oleh badan
usaha atau korporasi. Pasal 116 ayat (1) menyebutkan ”tuntutan pidana dan
sanksi pidana dijatuhkan kepada: (a) badan usaha dan/ atau (b) orang yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang
bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana tersebut.” Selain itu, konsep
pertanggungjawaban juga harus dipedomani ketentuan Pasal 118 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
menyatakan:
“Terhadap
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana
dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang
mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional”.
Berdasarkan
Pasal 116 dan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat diketahui bahwa ada tiga pihak yang
dapat dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga pihak yaitu:
a.
badan
usaha itu sendiri;
b.
orang
yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana;
c.
pengurus.
Mengingat Pasal 118 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
menyebutkan “sanksi dikenakan terhadap badan usaha yang diwakili oleh pengurus
yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional”, pengurus tetap juga dapat dikenai
pertanggungjawaban atas dasar kriteria ”orang yang memberi perintah atau orang
yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana” sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b. Perbedaannya adalah rumusan Pasal 116 ayat
(1) huruf b memang mengharuskan penyidik dan penuntut umum untuk membuktikan
bahwa penguruslah yang telah bertindak sebagai orang yang memberi perintah atau
yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana, sehingga memerlukan kerja
keras penyidik dan penuntut umum untuk membuktikan peran para pengurus dalam
tindak pidana lingkungan.
Sebaliknya, menurut ketentuan Pasal 116
ayat (1) huruf b dikaitkan dengan Pasal 118, pengurus karena jabatannya secara
serta merta atau otomatis memikul pertanggungjawaban pidana, sehingga lebih
memudahkan dalam upaya penuntutan karena tidak membutuhkan pembuktian peran
para pengurus secara spesifik dalam sebuah peristiwa pidana lingkungan.
Penjelasan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup memperkuat interpretasi bahwa jika badan usaha
melakukan pelanggaran pidana lingkungan, tuntutan dan hukuman ”dikenakan
terhadap pimpinan badan usaha atas dasar pimpinan perusahaan yang memiliki
kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan tersebut”. Pengertian
“menerima tindakan tersebut” adalah “menyetujui, membiarkan atau tidak cukup
melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, atau memiliki kebijakan
yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut.” Dengan demikian, pengurus
perusahaan yang mengetahui dan membiarkan karyawan perusahaan melepas pembuangan
limbah tanpa melalui pengolahan dianggap melakukan tindak pidana atas nama
badan usaha, sehingga dirinya harus bertanggung jawab.
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
pendekatan hukum pidana tidak sebagai upaya terakhir yang lazim disebut dengan istilah ultimum remedium untuk menghukum
perilaku usaha yang menimbulkan masalah lingkungan hidup. Dalam Undang-Undang Lingkungan
Hidup tahun 1997 sanksi pidana menjadi upaya terakhir setelah penegakan hukum
administrasi negara tidak efektif. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ultimum remedium hanya berlaku untuk satu Pasal saja yaitu Pasal
100 yang menyatakan:
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3000.000.000, 00.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.”
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3000.000.000, 00.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.”
Dari
rumusan Pasal 100 ayat (2) jelas dapat dipahami bahwa sanksi pidana yang
tercantum dalam Pasal 100 ayat (1) baru dapat dikenakan jika sanksi
administratif tidak efektif atau pelanggaran dilakukan berulang. Hal ini
berarti sanksi pidana berfungsi sebagai upaya terakhir. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah
secara tegas meletakkan pertanggungjawaban pidana kepada pimpinan badan usaha
yang telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Dalam Undang-Undang
Lingkungan Hidup tahun 1997 tidak disebut secara tegas pimpinan atau pengurus
badan usaha dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Undang-Undang Lingkungan Hidup
tahun 1997 hanya menggunakan istilah “yang memberi perintah” atau “yang
bertindak sebagai pemimpin” dalam tindak pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
pertanggungjawaban pidana pimpinan badan usaha dirumuskan dalam Pasal 116
hingga Pasal 119. Namun, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap mengadopsi pertanggungjawaban badan
usaha (corporate liability). Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat kriteria bagi lahirnya
pertanggungjawaban badan usaha dan siapa-siapa yang harus bertanggungjawab.
Jika
ditilik rumusan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pertanggungjawaban badan usaha
timbul dalam salah satu kondisi berikut yaitu (1) tindak pidana lingkungan
hidup dilakukan oleh badan usaha, atau atas nama badan usaha atau (2) oleh
orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang
bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak dapat
bekerja tanpa digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik tetaplah manusia,
yaitu orang atas nama badan usaha atau orang yang berdasarkan perjanjian kerja,
misalkan seorang karyawan atau hubungan lain, misalkan perjanjian pemborongan
kerja.
Rumusan
ketentuan dan penjelasan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan sebuah terobosan atau
kemajuan jika ditilik dari segi upaya mendorong para pengurus perusahaan agar
secara sungguh-sungguh melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian dan
pemulihan pencemaran atau perusakan lingkungan manakala memimpin sebuah badan
usaha. Rumusan Ketentuan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mirip dengan vicarious liability dalam system hukum Anglo Saxon. Jadi PT Indonesia Power dapat dikenakan sanksi
administratif dan apabila sanksi administratif tersebut tidak efektif maka
barulah sanksi Pidana dijatuhkan mengingat sanksi pidana adalah ultimum remedium.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga
memuat delik materiil yang diberlakukan kepada pejabat pemerintah yang
berwenang di bidang pengawasan lingkungan. Pemberlakuan delik materiil ini
dapat dipandang sebagai sebuah kebijakan pemidanaan yang maju dalam rangka
mendorong para pejabat pemerintah untuk sungguh-sungguh melaksanakan
pengelolaan lingkungan hidup. Delik materiil tersebut dirumuskan dalam Pasal
112 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yaitu:
”Setiap pejabat yang berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).”
”Setiap pejabat yang berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).”
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Masalah lingkungan hidup
pada dasarnya timbul karena :
a.
Dinamika
penduduk;
b.
Pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya yang kurang bijaksana;
c.
Kurang
terkendalinya pemanfaatan akan ilmu pengetahuan dan teknologi maju;
d.
Dampak
negatif yang sering timbul dan kemajuan ekonomi yang seharusnya positif;
e.
Benturan
tata ruang.
Berdasarkan hal tersebut
maka diperlukan adanya AMDAL (analisis dampak lingkungan), AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk
pengambilan keputusan.
Berdasarkan
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup memberikan perlindungan hukum kepada Yayasan Wisnu Bali yang
telah memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan tuntutan pidana
dan perdata atas pencemaran nama baik dari PT Indonesia Power. Sehingga Yayasan
Wisnu Bali dapat mengadukannya kepada PPNS, karena PPNS yang mempunyai
kewenangan atas hal tersebut, hal ini didasarkan pada Pasal 6 ayat (1) yang
menjadi dasar bagi keberadaan PPNS. Menurut ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf
b dikaitkan dengan Pasal 118, pengurus karena jabatannya secara serta merta
atau otomatis memikul pertanggungjawaban pidana, sehingga lebih memudahkan dalam upaya
penuntutan karena tidak membutuhkan pembuktian peran para pengurus secara
spesifik dalam sebuah peristiwa pidana lingkungan dan PT Indonesia Power dapat
dikenakan sanksi administratif dan apabila sanksi administratif tersebut tidak
efektif maka barulah sanksi Pidana dijatuhkan mengingat sanksi pidana adalah ultimum remedium.
DAFTAR PUSTAKA
Sunarso,
Siswanto. Hukum Pidana Lingkungan Hidup
dan Strategi Penyelesaian Sengketa. Rineka Cipta; Jakarta. 2005.
Machmud,
Syahrul. Problematika Penerapan Delik
Formil Dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Di Indonesia. Mandar
Maju; Bandung. 2012.
Silalahi,
Daud. Hukum Lingkungan Dalam Sistem
Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung; Alumni. 1992.
Muladi
dan Barda Nawawi arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni;
Bandung, 2005.
P
Soemartono, Gatot. Hukum Lingkungan
Indonesia. Sinar Grafika; Jakarta. 1996.
[1]Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi
Penyelesaian Sengketa, Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 1
[2] Syahrul Machmud, Problematika Penerapan Delik Formil Dalam
Perspektif Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Di Indonesia, Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, 2012, hal 106
[4] http://www.beritabali.com/index.php/page/berita/dps/detail/2014/02/25/PT-Indonesia-Power-Diminta-Serius-Atasi-Pencemaran-Lingkungan-/201402250004, Diakses tanggal 26
September 2014.
[5] Pasal1 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[7] Ibid.
[8] Ibid, Hal 336-337.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal
1 ayat (1).
[13] Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan
Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung. Alumni. 1992. Hal 7.
[19] Ibid.
No comments:
Post a Comment