Saturday, September 17, 2016

MAKALAH STATUS ANAK ANGKAT DALAM KEWARISAN MENURUT HUKUM WARIS ISLAM

STATUS ANAK ANGKAT DALAM KEWARISAN MENURUT HUKUM WARIS ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seorang manusia selaku anggota masyarakat, selama masih hidup, mempunyai tempat dalam masyarakat dengan disertai berbagai hak-hak serta kewajiban terhadap orang-orang dalam lingkungan masyarakat di sekelilingnya, juga termasuk terhadap barang-barang yang ada di dalam suatu masyarakat tersebut. Hal ini menimbulkan pengaruh langsung atau menunjukkan adanya suatu hubungan hukum antara seseorang dengan orang lain yang saling mempengaruhi satu sama lain serta dapat memberikan kenikmatan ataupun beban kepada masing-masing pihak.
Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka akan muncul suatu pertanyaan, apakah yang akan terjadi dengan perhubungan-perhubungan hukum tadi, yang mungkin sangat erat kaitannya ketika seseorang tadi masih hidup. Hal ini tentunya berpengaruh langsung terhadap kepentingan-kepentingan dari dalam masyarakat itu sendiri, dan kepentingan itu selama seseorang tersebut hidup, maka ia membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang berlarut-larut dalam masyarakat. Salah satu permasalahan yang sering timbul adalah mengenai pengalihan harta dari orang tua kepada anak-anaknya, yang biasa dalam bentuk waris, hibah ataupun wasiat.
Anak angkat adalah bagian dari segala tumpuan dan harapan kedua orang tua (ayah dan ibu) sebagai penerus hidup. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Namun, demikian tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh keturunan. Sedang keinginan untuk mempunyai anak nampaknya begitu besar. sehingga kemudian di antara mereka pun ada yang mengangkat anak.
Pengangkatan anak bukanlah permasalahan yang baru. Sejak zaman Jahiliyah, pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sejalan dengan sistem dan peraturan hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Pengangkatan anak tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum karena dengan mengangkat anak, berarti seseorang telah mengambil anak orang lain untuk dijadikan bagian dari keluarganya sendiri dan pada akhirnya, akan timbul suatu hubungan hukum antara orang yang mengangkat dan anak yang diangkat. Anak angkat memiliki peranan serta kedekatan terhadap anggota keluarga orang tua angkatnya, sehingga ia kadang diperlakukan sama seperti anak kandung sendiri.
Awal mulanya di hadapan kaum Quraisy pernah Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan, ”Saksikanlah oleh kamu, bahwa Zaid kuangkat menjadi anak angkatku, dan mewarisiku dan aku mewarisinya”. Namun beberapa waktu setelah Nabi Muhammad SAW, diutus menjadi Rasul, maka turunlah wahyu yang menegaskan masalah ini, seperti yang telah disebutkan di atas. Sesudah itu turun pula wahyu yang menetapkan tentang peraturan waris mewaris yang ditentukan hanya kepada orang-orang yang ada pertalian sedarah, keturunan dan perkawinan. Mulai saat itu nama Zaid bin Muhammad diganti lagi menjadi Zaid bin Haritsah. Sebagaimana diketahui, bahwa Zaid ini seorang yang berdiri di barisan depan membantu perjuangan Rasulullah SAW, dan beliau tewas di medan peperangan sebagai pahlawan (Syuhada) dalam perang Muktah tahun 8 Hijriyah.[1] 
Merujuk pendapat di atas dengan demikian, yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah mengangkat anak (adopsi) dengan memberikan status yang sama dengan anak kandungnya sendiri. Sedang kalau yang dimaksud dengan pengangkatan anak dalam pengertian yang terbatas, maka kedudukan hukumnya diperbolehkan saja, bahkan dianjurkan. Di sini tekanan pengangkatan anak adalah perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri. 
Di Indonesia, ada tiga sistem hukum yang berlaku dan mengatur permasalahan tentang pengangkatan anak. Ketiga sistem hukum itu adalah hukum Islam, hukum Adat dan hukum Barat. Untuk sementara pembahasan mengenai hukum Barat dan hukum Adat tidak kami sebutkan di sini, melainkan lebih dikonsentrasikan terhadap hukum Islam di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kedudukan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)?
2.      Bagaimana kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)?



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Kedudukan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun, bahwa anak adalah generasi penerus, baik bagi orang tua, bangsa maupun agama. Baik buruknya anak, serta akan menjadi apa mereka, tergantung bagaimana orang tua, bangsa maupun agama mendidik mereka. Anak juga merupakan wujud keberlangsungan keluarga, keturunan dan bangsa. Namun anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, tidak semua perkawinan di karuniai keturunan hingga sang orang tua meninggal dunia. Salah satu tujuan dari perkawinan yang dilakukan, pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan, yaitu anak. Mengingat pentingnya hal keturunan (anak) ini, sehingga menimbulkan berbagai peristiwa hukum karena, misalnya, ketiadaan keturunan atau anak. Perceraian, poligami dan pengangkatan anak merupakan beberapa peristiwa hukum yang terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu tidak memperoleh keturunan.
Tingginya frekuensi perceraian, poligami dan pengangkatan anak yang dilakukan di dalam masyarakat mungkin merupakan akibat dari perkawinan yang tidak menghasilkan keturunan. Jadi, seolah-olah apabila suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, maka tujuan perkawinan tidak tercapai. Dengan demikian, apabila di dalam suatu perkawinan telah ada keturunan, maka tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat berjalan.[2]
Tujuan seseorang melakukan pengangkatan anak antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, manakala di dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar sebagai alternatif yang positif serta manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam pelukan keluarga yang bertahun-tahun belum dikaruniai seorang anak pun. Dengan mengangkat anak diharapkan supaya ada yang memelihara di hari tua, serta untuk mengurusi harta kekayaan sekaligus menjadi generasi penerusnya kelak ketika orang tua sudah tiada.
Mengangkat anak merupakan suatu perbuatan hukum, oleh karena itu perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum. Salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai status anak angkat tersebut sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Status demikian inilah yang sering menimbulkan permasalahan di dalam keluarga. Persoalan yang sering muncul dalam peristiwa gugat menggugat itu biasanya mengenai sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut, serta kedudukan anak angkat itu sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya.
Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu:[3]
a.       pengangkatan anak dalam arti luas. Ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak sendiri terhadap orang tua sendiri. 
b.      pengangkatan anak dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas pada hubungan sosial saja.
 Pengambilan anak angkat menurut versi Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan satu amal baik yang dilakukan bagi orang yang mampu, yang tidak dianugerahi anak oleh Allah SWT. Mereka menyamakannya dalam bentuk ibadah yang merupakan pendekatan diri kepada Allah, dengan mendidik anak-anak yang terlantar, anak-anak fakir miskin, dan anak-anak yang tidak mampu tidak diragukan lagi, bahwa usaha-usaha semacam itu merupakan suatu amal yang disukai dan dipuji oleh agama Islam. 
Hal ini sebenarnya sesuai pula dengan misi keadilan sosial dalam ajaran Islam, di mana syariat Islam membuka kesempatan bagi seseorang untuk memperoleh amal kebaikan melalui wasiat dan memberikan sebagian dari harta peninggalannya (dalam bentuk hibah) kepada anak angkat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di masa depan, sehingga anak tersebut tidak terlantar dalam pendidikan serta kehidupannya kelak ketika mereka telah dewasa. Oleh karena itulah rasa kemanusiaan yang tinggi merupakan misi Islam yang sangat utama dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. 
Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :[4]
a). Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga;
b). Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya;
c). Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal/ alamat;
d). Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya. 
Agama Islam menganjurkan agar umat manusia saling tolong menolong sesamanya. Bagi yang kaya harus membantu yang tidak kaya, orang Islam harus berhati sosial, menolong dan memelihara anak-anak atau bayi-bayi terlantar yang orang tuanya tidak mampu. Kalau melihat dari segi budi pekerti dan sosial, maka orang yang melakukan adopsi berarti ia melakukan perbuatan yang sangat baik, yang sangat sesuai dengan ajaran Islam. Tentu saja dalam hal ini bagi orang yang mengambil anak dengan tujuan memelihara dengan sebaik-baiknya, penuh kasih sayang, sebab yang mengambil anak angkat tersebut kebanyakannya adalah orang yang tidak diberi keturunan oleh Allah SWT.
Bagi mereka yang telah mempunyai keturunan, tapi ia ingin menambah jumlah anggota keluarga dengan jalan mengangkat anak untuk dijadikan sebagai anak angkat, maka haruslah memeliharanya dengan sebaik-baiknya semata-mata karena Allah (lillahi ta’ala), untuk betul-betul menolong anak atau bayi yang terlantar. Karena kebanyakan anak diambil, malah banyak sekali bayi-bayi terlantar tersebut dibunuh oleh orang tuanya sendiri, atau ditinggal begitu saja tanpa diurus dan sebagainya, karena ketidakmampuannya.
Perlindungan hukum dan pengakuan terhadap keberadaan anak angkat agar terlepas dari beban kehidupan yang berat kelak ketika ia dewasa adalah dengan memberikan pengakuan, pengesahan dan pengangkatan. Sementara peraturan pemerintah yang mengatur tentang nasib angkat sampai sekarang belum juga di terbitkan secara khusus guna memecahkan permasalahan yang timbul terkait adanya masalah mengenai pengangkatan anak di Indonesia.
Berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung tanggal 7 April 1979 no.2 tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak dikatakan antara lain bahwa; “Pengesahan Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan di Pengadilan Negeri, dan tidak dibenarkan apabila pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan akta notaris yang di legalisir oleh Pengadilan Negeri” (Muderis Zaini, 1995:112).
Perihal pengertian anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ada ditemukan pengertiannya tetapi dalam skala sedemikian kecil. Meskipun demikian disebabkan Kompilasi Hukum Islam adalah sebuah ketentuan hukum yang dibuat berdasarkan hukum Islam, maka sumber-sumber lainnya yang termasuk ke dalam kajian hukum Islam dapat dijadikan sandaran yang menarik pengertian tentang anak angkat khususnya dalam kajian Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”. Anak menurut dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern adalah: ”Anak adalah keturunan kedua”. Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya.
Menurut ketentuan umum dalam kompilasi Hukum Islam Pasal 171 bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Atas dasar pengertian tersebut dapat di simpulkan bahwa yang dilarang menurut Hukum Islam adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal.  Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka sudah selayaknya apabila ada suatu cara untuk menjembatani masalah anak angkat, sehingga anak angkat dapat dipelihara dengan baik dan dapat terjamin masa depannya khususnya yang berkaitan dengan pemberian harta dalam bentuk hibah kepada anak angkat yang bersangkutan. 
Menurut Islam mengangkat anak hukumnya adalah Mubah atau “boleh”. Adopsi yang dilarang menurut ketentuan dalam hukum Islam adalah seperti dalam pengertian aslinya atau di dalam KUH Perdata, yakni mengangkat secara mutlak, dalam hal ini adalah memasukkan anak orang lain ke dalam keluarganya (nasabnya) yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak sendiri, seperti hak menerima warisan sepeninggalnya dan larangan kawin dengan keluarganya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat (4) dan (5) yang berbunyi :
“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka) sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu, dan tidak ada dosa atasmu terdapat apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Berdasarkan Hadist Rasulullah SAW: 
“Barang siapa yang mendakwakan dirinya sebagai anak dari seorang bukan ayahnya, maka kepadanya ditimpa laknat dan para malaikat dan manusia seluruhnya. Dan kelak pada hari kiamat, akan tidak diterima amalan-amalannya, baik yang wajib maupun yang sunah” (HR. Bukhari).
Surat Al-Ahzab 4-5 tersebut dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai berikut;[5]
a.       Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia;
b.      Anak angkatmu bukanlah anak kandungmu;
c.       Panggillah anak angkatmu menurut nama bapaknya.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan, bahwa yang dilarang adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal atau secara mutlak. Agama Islam mendorong seorang muslim untuk memelihara anak orang lain yang tidak mampu, miskin, terlantar, dan lain-lain. Tetapi tidak dibolehkan memutuskan hubungan dan hak-hak itu dengan orang tua kandungnya. Pemeliharaan itu harus didasarkan atas penyantunan semata-mata, sesuai dengan anjuran Allah.
Pengangkatan Anak sebagaimana yang telah di atur di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah memperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan pemberian nafkah, memberikan pendidikan serta memberikan pelayanan segala kebutuhannya dan bukan memperlakukan mereka sebagai anak (nasabnya) sendiri.
Kedudukan anak angkat yang sedemikian memberikan arti yang sangat penting dalam melanjutkan sebuah keluarga. Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.
Dari pengertian pengangkatan anak maupun anak angkat yang telah dikemukakan tersebut di atas pada dasarnya adalah sama. Dari pendapat tersebut dapat diambil unsur kesamaan yang ada di dalamnya, yaitu :
a.        Suami istri yang tidak mempunyai anak tersebut mengambil anak orang lain yang bukan keturunannya sendiri.
b.      Memasukkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarganya, untuk dipelihara, di didik dan sebagainya.
c.       Memperlakukan anak yang bukan keturunan sendiri sebagai anak sendiri.

2.      Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hukum waris Islam merupakan ekspresi penting hukum keluarga Islam, ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia  yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga abad pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang
akan datang.[6]
Sejak sejarah awalnya (origin) hingga pembentukan dan pembaharuannya (change and development) di masa kontemporer hukum waris Islam menunjukkan dinamika dan perkembangannya yang penting untuk dikaji dan diteliti oleh para pemerhati hukum Islam. Bukan suatu hal yang kebetulan jika ternyata telah banyak pemerhati yang menulis dan mengkaji perkembangan hukum waris Islam dari berbagai aspeknya.
Hukum Waris Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dengan demikian, dalam hukum kewarisan  ada tiga unsur pokok yang saling terkait yaitu pewaris, harta peninggalan, dan ahli waris. Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam yang pokok.[7]
Warisan atau kewarisan yang sudah populer dalam bahasa Indonesia merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab  ﺙﺭﻭ ﺙﺮﻳ -ﺎﺛﺭﺇ  yang artinya mewarisi, atau dari kata  ﺙﺭﻭ ﺙﺮﻳ ﺎﺛﺭﻭ -ﺔﺛﺍﺭﻭ  yang berarti berpindahnya harta si fulan (mempusakai harta si fulan).[8]
Dalam istilah, kata waris dapat diartikan sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta kekayaan orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.[9]
Dalam kitab-kitab fiqih, kewarisan lebih sering disebut dengan faraid (ﺾﺋﺍﺮﻓ) jamak dari kata (ﺔﻀﻳﺮﻓ) yang berarti ketentuan, bagian. Faraid dalam arti mawaris (hukum waris mewarisi), dimaksudkan sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh ahli waris menurut ketentuan syarat.[10]
Rukun pembagian warisan ada tiga, yaitu:[11]
1.      Al-Muwarris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya, al-muwarris benar-benar telah meninggal dunia, apakah meninggal secara hakiki, secara yuridis (hukmi) atau secara taqdiri berdasarkan perkiraan.
2.      Al-Waris atau ahli waris. Ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan (semenda), atau karena akibat memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya, pada saat meninggalnya al-muwarris, ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam pengertian ini adalah, bayi yang masih berada dalam kandungan (al-hamli). Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka bagi si janin tersebut berhak mendapatkan warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas minimal) dan atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.
3.      Al-Maurus atau al-miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.
Sedangkan syarat-syarat kewarisan ada tiga yakni:[12]
1.      Matinya muwarrits (orang yang mewariskan)
Meninggalnya muwarits dapat dibedakan menjadi tiga sebab. Pertama, mati hakiki yakni kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian. Kedua, mati hukmi yakni yaitu kematian seseorang secara yuridis diterapkan melalui keputusan hakim
dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang (al-mafqud) tanpa diketahui di mana dan bagaimana keadaannya. Setelah dilakukan upaya-upaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia. Sebagai suatu keputusan hakim, maka ia mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, dan karena itu mengikat. Dan ketiga adalah mati taqdiri, yakni yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya: seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan pertempuran, atau tujuan lain yang secara lahiriah diduga dapat
mengancam keselamatan dirinya, setelah beberapa tahun ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.
2.      Hidupnya warits (ahli waris) pada saat meninggalnya muwarrits
Maksud dari masih hidupnya warits yaitu, pada saat meninggalnya al-muwarris, ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih berada dalam kandungan (al-hamli). Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka si janin tersebut berhak mendapat warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batasan minimal) dan atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut dinasabkan.
3.      Tidak adanya penghalang yang menghalangi warisan
Maksud dari diketahui posisi ahli waris adalah status hubungan antara ahli waris dengan pewaris. Hal ini berhubungan dengan bagian yang akan diterima oleh ahli waris sesuai dengan status hubungannya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam Hukum Islam yang dilarang adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal atau secara mutlak, yang artinya tidak dibolehkan memutuskan hubungan dan hak-hak itu dengan orang tua kandungnya. Pemeliharaan itu harus didasarkan atas penyantunan semata-mata, sesuai dengan anjuran Allah. Maka dari itu anak angkat tidak boleh disamakan haknya dengan anak kandung. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan (semenda), atau karena akibat memerdekakan hamba sahaya, sedangkan anak angkat karena tidak dibolehkan memutuskan hubungan dan hak-hak itu dengan orang tua kandungnya maka anak angkat tidak bisa mendapat warisan dari orang tua angkatnya.
Kenyataan tersebut dapat dilihat antara lain dalam KHI disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Pengangkatan anak yang dimaksud bertujuan untuk menolong atau sekedar meringankan beban hidup bagi orang tua kandung. Sedang, pengangkatan anak juga sering dilakukan dengan tujuan untuk meneruskan keturunan bilamana dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan, dengan mengangkat anak, keluarga tersebut akan dikaruniai anak kandung sendiri. Di samping itu ada yang disebabkan oleh rasa belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu atau disebabkan oleh keadaan orang tuanya yang tidak mampu untuk memberi nafkah. Keadaan demikian, kemudian berlanjut pada permasalahan mengenai pemeliharaan harta kekayaan (harta warisan) baik dari orang tua angkat maupun orang tua asal (kandung). Sedang cara untuk meneruskan pemeliharaan harta kekayaan ini pun dapat dilakukan melalui berbagai jalur sesuai dengan tujuan semula.
Di atas telah dijelaskan bagaimana pengangkatan anak yang biasa dilakukan oleh orang-orang Jahiliyyah telah dihapuskan oleh Islam melalui Al-Qur’an surat Al Ahzab ayat (4) dan ayat (5). Akibat-akibat hukum dari adopsi banyak sekali di antaranya hak mewaris bagi anak angkat. Semua akibat hukum dari adopsi juga tidak diakui oleh hukum Islam. Apakah dengan demikian berarti Islam mencegah penyantunan terhadap anak-anak yang terlantar, mengingat bahwa pengangkatan anak pada umumnya dilakukan oleh orang kaya terhadap anak orang lain yang terlantar, atau oleh orang (yang mampu) yang tidak punya anak terhadap anak kerabatnya yang kurang mampu.[13]
Maka dalam hukum Islam ada suatu ketentuan bahwa pembagian atau pemberian harta sebelum seorang meninggal atau lebih dikenal dengant hibah atau wasiat, tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta warisannya. Hal demikian untuk melindungi para ahli waris lainnya. Sedangkan wasiat mencerminkan keinginan terakhir seseorang menyangkut harta yang akan ditinggalkan. Keinginan terakhir pewaris harus didahulukan daripada hak ahli waris. 
Hukum Islam di Indonesia mengatur mengenai ketentuan hibah sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal (210) sampai dengan pasal (214).
Pasal 210
1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Pasal 211 Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Pasal 212
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
Pasal 213
Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Pasal 214
Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.
Di antara para ulama hukum Islam ada yang berpendapat bahwa seorang pemilik harta boleh menghibahkan semua hartanya kepada orang lain, sedangkan ulama lain atau mazhab lain, seperti mazhab Hanafi misalnya, melarang dengan tegas seseorang yang ingin menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain meskipun dalam hal kebaikan. Mereka beranggapan bahwa orang tersebut adalah orang yang bodoh yang harus di batasi segala tindakannya.
Untuk mengatasi adanya perbedaan mengenai batasan pengaturan pemberian hibah tersebut, para ulama sepakat untuk memberikan batasan mengenai jumlah harta yang boleh di hibahkan. Hasil kesepakatan yang telah di sahkan oleh pemerintah itu terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 210 ayat (1):
 “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.”
Akan menjadi permasalahan ketika di dalam harta hibah yang akan di berikan kepada anak angkat kemungkinan masih terdapat hak atau bagian dari ahli waris, maka pembatasan harta hibah boleh dilakukan oleh seorang pemberi hibah kepada anak angkatnya dengan ketentuan tidak melebihi dari 1/3 (sepertiga) harta keseluruhan yang dimilikinya. Dalam hal ini dapat di bedakan menjadi 2 dua hal yakni, jika hibah tersebut di berikan kepada orang lain (bukan seorang ahli waris ataupun badan hukum) maka mayoritas pakar hukum Islam sepakat mengatakan hal tersebut perlu di batasi, tetapi jika hibah tersebut di berikan kepada anak-anak atau ahli waris dari pemberi hibah, maka menurut Imam Malik dan Ahlul Zahir tidak memperbolehkannya, sedangkan foqoha amsar menyatakan hal tersebut makruh.[14]
Para ulama Islam berpendapat bahwa batas dalam wasiat sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta peninggalan (setelah diambil untuk biaya-biaya penyelenggaraan jenazah dan membayar utang-utang) dan ditujukan kepada bukan ahli waris, wajib dilaksanakan tanpa ijin siapapun. Apabila wasiat ternyata melebihi sepertiga harta peninggalan, menurut pendapat kebanyakan ulama maka hal tersebut dipandang sah, tetapi pelaksanaannya terhadap kelebihan dari 1/3 (sepertiga) harta peninggalan tergantung kepada izin dari ahli waris, apabila semua ahli waris mengizinkan, selebihnya 1/3 (sepertiga) harta peninggalan dapat diluluskan seluruhnya. Apabila sebagian ahli waris mengizinkan dan sebagian ahli waris tidak mengizinkan, maka yang diluluskan hanyalah yang menjadi hak waris yang mengizinkan saja. Menurut pendapat ulama Dhahiriyah, wasiat lebih dari 1/3 (sepertiga) harta itu dipandang batal, meskipun ada izin dari ahli waris; sebab hadits nabi menentukan bahwa berwasiat dengan 1/3 harta itu sudah dipandang banyak.[15]
Hal ini didasarkan pada sabda nabi Muhammad SAW, sebagai berikut: Dari Abi Ishak bin Abi Waqqas ra, ia berkata : 
“Telah datang ke rumahku Rasulullah SAW, pada tahun Haji Wada’ sehubungan dengan sakitku yang agak berat, kataku ya Rasulullah sakitku ini agak berat dan minta pendapat engkau. Aku ini punya harta tidak ada yang mewarisinya selain dari satu-satunya anak perempuanku, apakah aku sedekahkan saja dua pertiga dari hartaku itu? Sabda Rasulullah SAW, “tidak” kataku lagi bagaimana kalau seperduanya? Sabda Rasulullah SAW, “tidak”. Kataku seterusnya bagaimana kalau sepertiganya? Sabda Rasulullah SAW. “sepertiga itu sudah banyak, engkau meninggalkan waris yang kaya lebih baik dari meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Apabila anak angkat tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka anak angkat berhak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tuanya. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam ketentuan KHI pasal 209 ayat (2) yakni yang berbunyi :
“Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya”.
Yang dimaksud dengan “wasiat wajibah” adalah wasiat yang wajib dilakukan untuk kerabat-kerabat terdekat yang tidak mendapatharta pusaka.[16] Atas dasar realita di atas, KHI yang merupakan buku hukum bagi masyarakat Islam Indonesia, bersikap aspiratis terhadap nasib anak angkat dan orang tua angkat yang tidak menerima wasiat, dalam hal penerimaan harta warisan dengan wujud wasiat wajibah. Wasiat wajibah tersebut, bukan dimaksudkan sebagai warisan tetapi merupakan wasiat yang diambilkan dari harta peninggalan si mayat yang dalam hal pelaksanaannya tidak tergantung pada persetujuan si mayat. Jadi walaupun anak angkat tidak mendapatkan warisan dan wasiat dari si mayat ketika masih hidup, mereka akan tetap mendapatkan harta peninggalan tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta si mayat dengan jalan wasiat wajibah. 
Wasiat wajibah yang dimaksud di atas adalah tindakan yang dilakukan oleh hakim sebagai aparat negara untuk memaksa memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada para pihak di atas. Wasiat wajibah itu berfungsi sebagai pengalihan hak kepada orang yang bukan ahli waris (anak angkat dan orang tua angkat) sebagaimana yang ditentukan oleh hukum waris Islam, maka KHI menetapkan batas sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan orang tua angkatnya. 
Oleh karena wasiat wajibah ini mempunyai titik singgung secara langsung dengan hukum kewarisan Islam, maka pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim dalam menetapkannya dalam proses pemeriksaan perkara waris yang diajukan kepadanya. Wasiat wajibah ini mempunyai tujuan yaitu untuk mendistribusikan keadilan, yaitu orang tua angkat dan anak angkat yang mungkin sudah berjasa besar kepada si pewaris tetapi tidak diberi bagian dalam ketentuan hukum waris Islam, maka hal ini dapat dicapai jalan keluar dengan menerapkan wasiat wajibah sehingga mereka dapat menerima bagian dari harta pewaris. Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat: Pertama, yang wajib menerima wasiat, bukan ahli waris. Kalau dia berhak menerima pusaka walaupun sedikit. Tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya, sedangkan yang kedua, orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah umpamanya.  jika dia telah memberikan kurang daripada jumlah wasiat wajibah,maka wajiblah disempurnakan wasiat itu. Apabila wasiat itu lebih dari sepertiga harta, maka wasiat itu hanya berlaku sejumlah sepertiga harta tanpa perlu persetujuan seseorang, sedang yang lebih dari sepertiga harta, memerlukan persetujuan para waris. 
Wasiat dalam keadaan ini ada tiga bentuk :
1) Semua waris membenarkan wasiat yang dilakukan oleh orang yang telah meninggal sedang mereka mengetahui hukum yang mereka lakukan. Dalam keadaan ini, diberilah jumlah wasiat dari harta peninggalan dan sisanyalah yang dibagi antara para waris;
2) Para waris membenarkan yang lebih dari sepertiga. Dalam bentuk ini berlaku wasiat dalam batas sepertiga tanpa perlu persetujuan seseorang dan diambil sepertiga itu dari harta peninggalan diberikan kepada orang yang menerima wasiat, sedang yang dua pertiga dibagi antara para waris;
3) Sebagian para waris menyetujui wasiat yang lebih dari sepertiga, sedang yang lain tidak menyetujuinya. Dalam hal ini dibagi harta peninggalan dua kali.[17]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan uraian dari hasil pembahasan sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik suatu simpulan, yakni sebagai berikut :
1.      Kedudukan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam adalah tetap sebagai anak yang sah berdasarkan putusan pengadilan dengan tidak memutuskan hubungan nasab / darah dengan orang tua kandungnya, dikarenakan prinsip pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan manifestasi keimanan yang membawa misi kemanusiaan yang terwujud dalam bentuk memelihara orang lain sebagai anak dan bersifat pengasuhan anak dengan memelihara dalam pertumbuhan dan perkembangannya dengan mencukupi segala kebutuhannya.
2.      Kompilasi Hukum Islam tidak mengakui adanya kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dari orang tua angkat. Artinya anak angkat tidak berhak atas harta warisan orang tua angkat. Akan tetapi, dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa  keberadaan anak angkat mempunyai hak wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkat.



DAFTAR PUSTAKA
Zaini, Muderis. 1995. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum.  Jakarta : Sinar Grafika.
Soekanto, Soerjono. 2001. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia.
Soeroso, R. 2001. Perbandingan Hukum Perdata, cet. ke- 4. Jakarta; Sinar Grafika.
Anderson, J. N. D. 1991. Hukum Islam Di Dunia Modern. terj. Machnun Husein. Surabaya: Amarpress.
Parman, Ali. 1995. Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Raja Grafindo Persada; Jakarta.
Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Bahasa Arab, Jakarta: Hida Karya.
Maruzi, Muslich. 1981. Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin.
Zakiah Daradjat. 1995. Ilmu Fiqih, Jilid III, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Rofiq, Ahmad. 2002. Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. IV.
Ali ash-Shobuniy, 1995, Hukum Waris Islam, Alih Bahasa Sarmin Syukur, Surabaya: al-Ikhlas.
Rofiq, Ahmad. 2003. Hukum Islam di Indonesia. edisi 1 cetakan IV, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Azhar Basyir, Ahmad. 1995. Hukum Waris Islam, Yogyakarta : UII Press.
Hasbi Ash Shiddieqy, Muhammad. 1997.  Fiqh Mawaris, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.



[1] Muderis Zaini, 1995, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum,  Jakarta : Sinar Grafika, hlm.  53.
[2] Soerjono Soekanto, 2001, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia, hlm. 251.
[3] R Soeroso, 2001, Perbandingan Hukum Perdata, cet. ke- 4, Jakarta; Sinar Grafika, hlm. 176
[4] Op. Cit, Muderis Zaini, 1995, Adopsi Suatu Tinjauan...., hlm. 54.
[5]Ibid, hlm. 52.
[6]  J. N. D. Anderson,1991, Hukum Islam Di Dunia Modern, terj. Machnun Husein, Surabaya: Amarpress, hlm. 66.
[7] Ali Parman, 1995, Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Raja Grafindo Persada; Jakarta, hlm. 1.
[8] Mahmud Yunus, 1990, Kamus Bahasa Arab, Jakarta: Hida Karya, hlm. 496.
[9] Muslich Maruzi, 1981, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin, hlm. 82.
[10] Zakiah Daradjat, 1995, Ilmu Fiqih, Jilid III, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, hlm. 2.
[11] Ahmad Rofiq, 2002, Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. IV,  hlm. 28-30.
[12]  Ali ash-Shobuniy, 1995, Hukum Waris Islam, Alih Bahasa Sarmin Syukur, Surabaya: al-Ikhlas, hlm. 56-58.
[13] Muslich Maruzi, 1981, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang : Mujahidin, hlm. 83.

[14] Ahmad Rofiq, 2003, Hukum Islam di Indonesia. edisi 1 cetakan IV, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm.  470.
[15] Ahmad Azhar Basyir, 1995, Hukum Waris Islam, Yogyakarta : UII Press, hlm. 14.
[16] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 1997,  Fiqh Mawaris, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, hlm. 300.
[17] Ibid, hlm. 306.

No comments:

Post a Comment