STATUS
ANAK ANGKAT DALAM KEWARISAN MENURUT HUKUM WARIS ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seorang manusia selaku
anggota masyarakat, selama masih hidup, mempunyai tempat dalam masyarakat
dengan disertai berbagai hak-hak serta kewajiban terhadap orang-orang dalam
lingkungan masyarakat di sekelilingnya, juga termasuk terhadap barang-barang
yang ada di dalam suatu masyarakat tersebut. Hal ini menimbulkan pengaruh
langsung atau menunjukkan adanya suatu hubungan hukum antara seseorang dengan
orang lain yang saling mempengaruhi satu sama lain serta dapat memberikan
kenikmatan ataupun beban kepada masing-masing pihak.
Apabila seseorang telah
meninggal dunia, maka akan muncul suatu pertanyaan, apakah yang akan terjadi
dengan perhubungan-perhubungan hukum tadi, yang mungkin sangat erat kaitannya
ketika seseorang tadi masih hidup. Hal ini tentunya berpengaruh langsung
terhadap kepentingan-kepentingan dari dalam masyarakat itu sendiri, dan
kepentingan itu selama seseorang tersebut hidup, maka ia membutuhkan
pemeliharaan dan penyelesaian sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang
berlarut-larut dalam masyarakat. Salah satu permasalahan yang sering timbul
adalah mengenai pengalihan harta dari orang tua kepada anak-anaknya, yang biasa
dalam bentuk waris, hibah ataupun wasiat.
Anak angkat adalah bagian
dari segala tumpuan dan harapan kedua orang tua (ayah dan ibu) sebagai penerus
hidup. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung
keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan
dalam keluarga. Namun, demikian tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai
dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami
kesulitan dalam memperoleh keturunan. Sedang keinginan untuk mempunyai anak
nampaknya begitu besar. sehingga kemudian di antara mereka pun ada yang
mengangkat anak.
Pengangkatan anak bukanlah
permasalahan yang baru. Sejak zaman Jahiliyah, pengangkatan anak telah
dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sejalan dengan sistem dan
peraturan hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Pengangkatan
anak tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum karena dengan
mengangkat anak, berarti seseorang telah mengambil anak orang lain untuk
dijadikan bagian dari keluarganya sendiri dan pada akhirnya, akan timbul suatu
hubungan hukum antara orang yang mengangkat dan anak yang diangkat. Anak angkat
memiliki peranan serta kedekatan terhadap anggota keluarga orang tua angkatnya,
sehingga ia kadang diperlakukan sama seperti anak kandung sendiri.
Awal mulanya di hadapan kaum
Quraisy pernah Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan, ”Saksikanlah oleh kamu,
bahwa Zaid kuangkat menjadi anak angkatku, dan mewarisiku dan aku mewarisinya”.
Namun beberapa waktu setelah Nabi Muhammad SAW, diutus menjadi Rasul, maka
turunlah wahyu yang menegaskan masalah ini, seperti yang telah disebutkan di
atas. Sesudah itu turun pula wahyu yang menetapkan tentang peraturan waris
mewaris yang ditentukan hanya kepada orang-orang yang ada pertalian sedarah,
keturunan dan perkawinan. Mulai saat itu nama Zaid bin Muhammad diganti lagi
menjadi Zaid bin Haritsah. Sebagaimana diketahui, bahwa Zaid ini seorang yang
berdiri di barisan depan membantu perjuangan Rasulullah SAW, dan beliau tewas
di medan peperangan sebagai pahlawan (Syuhada) dalam perang Muktah tahun 8
Hijriyah.[1]
Merujuk pendapat di atas
dengan demikian, yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah mengangkat anak
(adopsi) dengan memberikan status yang sama dengan anak kandungnya sendiri.
Sedang kalau yang dimaksud dengan pengangkatan anak dalam pengertian yang terbatas,
maka kedudukan hukumnya diperbolehkan saja, bahkan dianjurkan. Di sini tekanan
pengangkatan anak adalah perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian
nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan diperlakukan
sebagai anak kandungnya sendiri.
Di Indonesia, ada tiga
sistem hukum yang berlaku dan mengatur permasalahan tentang pengangkatan anak.
Ketiga sistem hukum itu adalah hukum Islam, hukum Adat dan hukum Barat. Untuk
sementara pembahasan mengenai hukum Barat dan hukum Adat tidak kami sebutkan di
sini, melainkan lebih dikonsentrasikan terhadap hukum Islam di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan anak angkat menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI)?
2. Bagaimana kedudukan anak angkat terhadap
harta warisan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Kedudukan Anak Angkat Menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI)
Tidak dapat dipungkiri oleh
siapa pun, bahwa anak adalah generasi penerus, baik bagi orang tua, bangsa
maupun agama. Baik buruknya anak, serta akan menjadi apa mereka, tergantung
bagaimana orang tua, bangsa maupun agama mendidik mereka. Anak juga merupakan
wujud keberlangsungan keluarga, keturunan dan bangsa. Namun anak adalah karunia
Tuhan Yang Maha Esa, tidak semua perkawinan di karuniai keturunan hingga sang
orang tua meninggal dunia. Salah satu tujuan dari perkawinan yang dilakukan,
pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan, yaitu anak. Mengingat
pentingnya hal keturunan (anak) ini, sehingga menimbulkan berbagai peristiwa
hukum karena, misalnya, ketiadaan keturunan atau anak. Perceraian, poligami dan
pengangkatan anak merupakan beberapa peristiwa hukum yang terjadi karena alasan
di dalam perkawinan itu tidak memperoleh keturunan.
Tingginya frekuensi perceraian, poligami dan pengangkatan anak
yang dilakukan di dalam masyarakat mungkin merupakan akibat dari perkawinan
yang tidak menghasilkan keturunan. Jadi, seolah-olah apabila suatu perkawinan
tidak memperoleh keturunan, maka tujuan perkawinan tidak tercapai. Dengan
demikian, apabila di dalam suatu perkawinan telah ada keturunan, maka tujuan
perkawinan dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat
berjalan.[2]
Tujuan seseorang melakukan
pengangkatan anak antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, manakala di
dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ini merupakan motivasi yang
dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar sebagai alternatif yang positif
serta manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam pelukan keluarga
yang bertahun-tahun belum dikaruniai seorang anak pun. Dengan mengangkat anak
diharapkan supaya ada yang memelihara di hari tua, serta untuk mengurusi harta
kekayaan sekaligus menjadi generasi penerusnya kelak ketika orang tua sudah
tiada.
Mengangkat anak merupakan
suatu perbuatan hukum, oleh karena itu perbuatan tersebut mempunyai akibat
hukum. Salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai
status anak angkat tersebut sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Status
demikian inilah yang sering menimbulkan permasalahan di dalam keluarga.
Persoalan yang sering muncul dalam peristiwa gugat menggugat itu biasanya
mengenai sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut, serta kedudukan anak
angkat itu sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya.
Pengangkatan anak terbagi
dalam dua pengertian, yaitu:[3]
a.
pengangkatan
anak dalam arti luas. Ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan
kewajiban selayaknya antara anak sendiri terhadap orang tua sendiri.
b.
pengangkatan
anak dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga
sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat
hanya terbatas pada hubungan sosial saja.
Pengambilan anak angkat menurut versi
Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan satu amal baik yang dilakukan bagi orang
yang mampu, yang tidak dianugerahi anak oleh Allah SWT. Mereka menyamakannya
dalam bentuk ibadah yang merupakan pendekatan diri kepada Allah, dengan
mendidik anak-anak yang terlantar, anak-anak fakir miskin, dan anak-anak yang
tidak mampu tidak diragukan lagi, bahwa usaha-usaha semacam itu merupakan suatu
amal yang disukai dan dipuji oleh agama Islam.
Hal ini sebenarnya sesuai
pula dengan misi keadilan sosial dalam ajaran Islam, di mana syariat Islam
membuka kesempatan bagi seseorang untuk memperoleh amal kebaikan melalui wasiat
dan memberikan sebagian dari harta peninggalannya (dalam bentuk hibah) kepada
anak angkat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di masa depan, sehingga anak
tersebut tidak terlantar dalam pendidikan serta kehidupannya kelak ketika
mereka telah dewasa. Oleh karena itulah rasa kemanusiaan yang tinggi merupakan
misi Islam yang sangat utama dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
Menurut hukum Islam
pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut :[4]
a). Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua biologis dan keluarga;
b). Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua
angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian
juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya;
c). Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya
secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal/ alamat;
d). Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam
perkawinan terhadap anak angkatnya.
Berdasarkan ketentuan
tersebut di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak menurut hukum
Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak
sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Agama Islam menganjurkan
agar umat manusia saling tolong menolong sesamanya. Bagi yang kaya harus
membantu yang tidak kaya, orang Islam harus berhati sosial, menolong dan
memelihara anak-anak atau bayi-bayi terlantar yang orang tuanya tidak mampu.
Kalau melihat dari segi budi pekerti dan sosial, maka orang yang melakukan
adopsi berarti ia melakukan perbuatan yang sangat baik, yang sangat sesuai
dengan ajaran Islam. Tentu saja dalam hal ini bagi orang yang mengambil anak
dengan tujuan memelihara dengan sebaik-baiknya, penuh kasih sayang, sebab yang
mengambil anak angkat tersebut kebanyakannya adalah orang yang tidak diberi
keturunan oleh Allah SWT.
Bagi mereka yang telah
mempunyai keturunan, tapi ia ingin menambah jumlah anggota keluarga dengan
jalan mengangkat anak untuk dijadikan sebagai anak angkat, maka haruslah
memeliharanya dengan sebaik-baiknya semata-mata karena Allah (lillahi ta’ala),
untuk betul-betul menolong anak atau bayi yang terlantar. Karena kebanyakan
anak diambil, malah banyak sekali bayi-bayi terlantar tersebut dibunuh oleh
orang tuanya sendiri, atau ditinggal begitu saja tanpa diurus dan sebagainya,
karena ketidakmampuannya.
Perlindungan hukum dan pengakuan terhadap keberadaan anak angkat
agar terlepas dari beban kehidupan yang berat kelak ketika ia dewasa adalah
dengan memberikan pengakuan, pengesahan dan pengangkatan. Sementara peraturan
pemerintah yang mengatur tentang nasib angkat sampai sekarang belum juga di
terbitkan secara khusus guna memecahkan permasalahan yang timbul terkait adanya
masalah mengenai pengangkatan anak di Indonesia.
Berdasarkan surat edaran
Mahkamah Agung tanggal 7 April 1979 no.2 tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak
dikatakan antara lain bahwa; “Pengesahan Pengangkatan Anak Warga Negara
Indonesia hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan di Pengadilan Negeri,
dan tidak dibenarkan apabila pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan akta
notaris yang di legalisir oleh Pengadilan Negeri” (Muderis Zaini, 1995:112).
Perihal pengertian anak
angkat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ada ditemukan pengertiannya tetapi
dalam skala sedemikian kecil. Meskipun demikian disebabkan Kompilasi Hukum
Islam adalah sebuah ketentuan hukum yang dibuat berdasarkan hukum Islam, maka
sumber-sumber lainnya yang termasuk ke dalam kajian hukum Islam dapat dijadikan
sandaran yang menarik pengertian tentang anak angkat khususnya dalam kajian
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya
dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
Anak menurut dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern adalah: ”Anak adalah
keturunan kedua”. Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak tersebut
adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah
merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya.
Menurut ketentuan umum dalam
kompilasi Hukum Islam Pasal 171 bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan. Atas dasar pengertian tersebut dapat di
simpulkan bahwa yang dilarang menurut Hukum Islam adalah pengangkatan anak
sebagai anak kandung dalam segala hal.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka sudah selayaknya apabila ada
suatu cara untuk menjembatani masalah anak angkat, sehingga anak angkat dapat
dipelihara dengan baik dan dapat terjamin masa depannya khususnya yang
berkaitan dengan pemberian harta dalam bentuk hibah kepada anak angkat yang
bersangkutan.
Menurut Islam mengangkat
anak hukumnya adalah Mubah atau “boleh”. Adopsi yang dilarang menurut ketentuan
dalam hukum Islam adalah seperti dalam pengertian aslinya atau di dalam KUH
Perdata, yakni mengangkat secara mutlak, dalam hal ini adalah memasukkan anak
orang lain ke dalam keluarganya (nasabnya) yang tidak ada pertalian nasab
kepada dirinya sebagai anak sendiri, seperti hak menerima warisan
sepeninggalnya dan larangan kawin dengan keluarganya. Hal ini sebagaimana
firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat (4) dan (5) yang berbunyi :
“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja, dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak
mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka) sebagai saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu, dan tidak ada dosa atasmu terdapat apa yang kamu khilaf
padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Berdasarkan Hadist
Rasulullah SAW:
“Barang siapa yang mendakwakan dirinya sebagai anak dari seorang bukan
ayahnya, maka kepadanya ditimpa laknat dan para malaikat dan manusia
seluruhnya. Dan kelak pada hari kiamat, akan tidak diterima amalan-amalannya,
baik yang wajib maupun yang sunah” (HR. Bukhari).
Surat Al-Ahzab 4-5 tersebut
dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai berikut;[5]
a.
Allah tidak
menjadikan dua hati dalam dada manusia;
b.
Anak
angkatmu bukanlah anak kandungmu;
c.
Panggillah
anak angkatmu menurut nama bapaknya.
Berdasarkan ketentuan di
atas dapat disimpulkan, bahwa yang dilarang adalah pengangkatan anak sebagai
anak kandung dalam segala hal atau secara mutlak. Agama Islam mendorong seorang
muslim untuk memelihara anak orang lain yang tidak mampu, miskin, terlantar,
dan lain-lain. Tetapi tidak dibolehkan memutuskan hubungan dan hak-hak itu dengan
orang tua kandungnya. Pemeliharaan itu harus didasarkan atas penyantunan semata-mata,
sesuai dengan anjuran Allah.
Pengangkatan Anak
sebagaimana yang telah di atur di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah
memperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan pemberian nafkah, memberikan
pendidikan serta memberikan pelayanan segala kebutuhannya dan bukan
memperlakukan mereka sebagai anak (nasabnya) sendiri.
Kedudukan anak angkat yang
sedemikian memberikan arti yang sangat penting dalam melanjutkan sebuah keluarga.
Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu
sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang, bimbingan khusus agar dapat
berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.
Dari pengertian pengangkatan anak maupun anak angkat yang telah
dikemukakan tersebut di atas pada dasarnya adalah sama. Dari pendapat tersebut
dapat diambil unsur kesamaan yang ada di dalamnya, yaitu :
a. Suami istri yang
tidak mempunyai anak tersebut mengambil anak orang lain yang bukan keturunannya
sendiri.
b. Memasukkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarganya, untuk
dipelihara, di didik dan sebagainya.
c. Memperlakukan anak yang bukan keturunan sendiri sebagai anak
sendiri.
2.
Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hukum waris Islam merupakan
ekspresi penting hukum keluarga Islam, ia merupakan separuh pengetahuan yang
dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan
mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang
dimiliki manusia yang telah dan terus
hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga abad
pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang
akan datang.[6]
Sejak sejarah awalnya (origin)
hingga pembentukan dan pembaharuannya (change and development) di masa
kontemporer hukum waris Islam menunjukkan dinamika dan perkembangannya yang
penting untuk dikaji dan diteliti oleh para pemerhati hukum Islam. Bukan suatu
hal yang kebetulan jika ternyata telah banyak pemerhati yang menulis dan
mengkaji perkembangan hukum waris Islam dari berbagai aspeknya.
Hukum Waris Islam adalah
hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau
kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli
warisnya. Dengan demikian, dalam hukum kewarisan ada tiga unsur pokok yang saling terkait
yaitu pewaris, harta peninggalan, dan ahli waris. Kewarisan pada dasarnya
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum adalah bagian
dari aspek ajaran Islam yang pokok.[7]
Warisan atau kewarisan yang
sudah populer dalam bahasa Indonesia merupakan kata yang diambil dari bahasa
Arab ﺙﺭﻭ– ﺙﺮﻳ -ﺎﺛﺭﺇ yang artinya mewarisi,
atau dari kata
ﺙﺭﻭ– ﺙﺮﻳ – ﺎﺛﺭﻭ -ﺔﺛﺍﺭﻭ yang berarti berpindahnya harta si fulan
(mempusakai harta si fulan).[8]
Dalam istilah, kata waris
dapat diartikan sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta
kekayaan orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.[9]
Dalam kitab-kitab fiqih,
kewarisan lebih sering disebut dengan faraid (ﺾﺋﺍﺮﻓ) jamak dari kata (ﺔﻀﻳﺮﻓ)
yang berarti ketentuan, bagian. Faraid dalam arti mawaris (hukum waris mewarisi), dimaksudkan
sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh ahli waris menurut ketentuan syarat.[10]
Rukun pembagian warisan ada
tiga, yaitu:[11]
1.
Al-Muwarris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya. Syaratnya,
al-muwarris benar-benar telah meninggal dunia, apakah meninggal secara
hakiki, secara yuridis (hukmi) atau secara taqdiri berdasarkan
perkiraan.
2.
Al-Waris atau ahli waris. Ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai
hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan
(semenda), atau karena akibat memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya, pada saat
meninggalnya al-muwarris, ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup.
Termasuk dalam pengertian ini adalah, bayi yang masih berada dalam kandungan (al-hamli).
Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan
(kontraksi) atau cara lainnya, maka bagi si janin tersebut berhak mendapatkan
warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai batasan paling
sedikit (batas minimal) dan atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan.
Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.
3.
Al-Maurus atau al-miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah
dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.
1.
Matinya muwarrits
(orang yang mewariskan)
Meninggalnya muwarits
dapat dibedakan menjadi tiga sebab. Pertama, mati hakiki yakni kematian
seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian. Kedua, mati
hukmi yakni yaitu kematian seseorang secara yuridis diterapkan melalui
keputusan hakim
dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam
kasus seseorang yang dinyatakan hilang (al-mafqud) tanpa diketahui di
mana dan bagaimana keadaannya. Setelah dilakukan upaya-upaya tertentu, melalui
keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia. Sebagai suatu
keputusan hakim, maka ia mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, dan karena itu mengikat. Dan ketiga adalah mati
taqdiri, yakni yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal
dunia. Misalnya: seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan pertempuran,
atau tujuan lain yang secara lahiriah diduga dapat
mengancam keselamatan dirinya, setelah beberapa tahun ternyata
tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang
tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.
2. Hidupnya warits (ahli waris) pada saat meninggalnya muwarrits
Maksud dari masih hidupnya warits
yaitu, pada saat meninggalnya al-muwarris, ahli waris benar-benar dalam
keadaan hidup. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih berada
dalam kandungan (al-hamli). Meskipun masih berupa janin, apabila dapat
dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka si janin
tersebut berhak mendapat warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas
mengenai batasan paling sedikit (batasan minimal) dan atau paling lama (batas
maksimal) usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin
tersebut dinasabkan.
3. Tidak adanya penghalang yang menghalangi warisan
Maksud dari diketahui posisi
ahli waris adalah status hubungan antara ahli waris dengan pewaris. Hal ini
berhubungan dengan bagian yang akan diterima oleh ahli waris sesuai dengan
status hubungannya.
Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam
Hukum Islam yang dilarang adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam
segala hal atau secara mutlak, yang artinya tidak dibolehkan memutuskan
hubungan dan hak-hak itu dengan orang tua kandungnya. Pemeliharaan itu harus
didasarkan atas penyantunan semata-mata, sesuai dengan anjuran Allah. Maka dari
itu anak angkat tidak boleh disamakan haknya dengan anak kandung. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya bahwa Ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai
hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan
(semenda), atau karena akibat memerdekakan hamba sahaya, sedangkan anak angkat
karena tidak dibolehkan memutuskan hubungan dan hak-hak itu dengan orang tua
kandungnya maka anak angkat tidak bisa mendapat warisan dari orang tua
angkatnya.
Kenyataan tersebut dapat
dilihat antara lain dalam KHI disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang
dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Pengangkatan anak yang dimaksud
bertujuan untuk menolong atau sekedar meringankan beban hidup bagi orang tua
kandung. Sedang, pengangkatan anak juga sering dilakukan dengan tujuan untuk
meneruskan keturunan bilamana dalam suatu perkawinan tidak memperoleh
keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan, dengan mengangkat anak,
keluarga tersebut akan dikaruniai anak kandung sendiri. Di samping itu ada yang
disebabkan oleh rasa belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu atau
disebabkan oleh keadaan orang tuanya yang tidak mampu untuk memberi nafkah. Keadaan
demikian, kemudian berlanjut pada permasalahan mengenai pemeliharaan harta
kekayaan (harta warisan) baik dari orang tua angkat maupun orang tua asal
(kandung). Sedang cara untuk meneruskan pemeliharaan harta kekayaan ini pun
dapat dilakukan melalui berbagai jalur sesuai dengan tujuan semula.
Di atas telah dijelaskan
bagaimana pengangkatan anak yang biasa dilakukan oleh orang-orang Jahiliyyah
telah dihapuskan oleh Islam melalui Al-Qur’an surat Al Ahzab ayat (4) dan ayat
(5). Akibat-akibat hukum dari adopsi banyak sekali di antaranya hak mewaris
bagi anak angkat. Semua akibat hukum dari adopsi juga tidak diakui oleh hukum
Islam. Apakah dengan demikian berarti Islam mencegah penyantunan terhadap
anak-anak yang terlantar, mengingat bahwa pengangkatan anak pada umumnya
dilakukan oleh orang kaya terhadap anak orang lain yang terlantar, atau oleh
orang (yang mampu) yang tidak punya anak terhadap anak kerabatnya yang kurang
mampu.[13]
Maka dalam hukum Islam ada
suatu ketentuan bahwa pembagian atau pemberian harta sebelum seorang meninggal
atau lebih dikenal dengant hibah atau wasiat, tidak boleh melebihi 1/3
(sepertiga) dari harta warisannya. Hal demikian untuk melindungi para ahli waris
lainnya. Sedangkan wasiat mencerminkan keinginan terakhir seseorang menyangkut
harta yang akan ditinggalkan. Keinginan terakhir pewaris harus didahulukan
daripada hak ahli waris.
Hukum Islam di Indonesia
mengatur mengenai ketentuan hibah sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal (210) sampai dengan pasal (214).
Pasal 210
1) Orang yang
telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan
dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta bendanya kepada
orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
2) Harta benda
yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Pasal 211 Hibah dan orang
tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Pasal 212
Hibah tidak
dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
Pasal 213
Hibah yang
diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan
kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Pasal 214
Warga
negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di
hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya
tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.
Di antara para ulama hukum
Islam ada yang berpendapat bahwa seorang pemilik harta boleh menghibahkan semua
hartanya kepada orang lain, sedangkan ulama lain atau mazhab lain, seperti
mazhab Hanafi misalnya, melarang dengan tegas seseorang yang ingin menghibahkan
seluruh hartanya kepada orang lain meskipun dalam hal kebaikan. Mereka
beranggapan bahwa orang tersebut adalah orang yang bodoh yang harus di batasi
segala tindakannya.
Untuk mengatasi adanya
perbedaan mengenai batasan pengaturan pemberian hibah tersebut, para ulama
sepakat untuk memberikan batasan mengenai jumlah harta yang boleh di hibahkan.
Hasil kesepakatan yang telah di sahkan oleh pemerintah itu terdapat dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 210 ayat (1):
“Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat
tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.”
Akan menjadi permasalahan
ketika di dalam harta hibah yang akan di berikan kepada anak angkat kemungkinan
masih terdapat hak atau bagian dari ahli waris, maka pembatasan harta hibah
boleh dilakukan oleh seorang pemberi hibah kepada anak angkatnya dengan
ketentuan tidak melebihi dari 1/3 (sepertiga) harta keseluruhan yang
dimilikinya. Dalam hal ini dapat di bedakan menjadi 2 dua hal yakni, jika hibah
tersebut di berikan kepada orang lain (bukan seorang ahli waris ataupun badan
hukum) maka mayoritas pakar hukum Islam sepakat mengatakan hal tersebut perlu
di batasi, tetapi jika hibah tersebut di berikan kepada anak-anak atau ahli
waris dari pemberi hibah, maka menurut Imam Malik dan Ahlul Zahir tidak
memperbolehkannya, sedangkan foqoha amsar menyatakan hal tersebut makruh.[14]
Para ulama Islam berpendapat
bahwa batas dalam wasiat sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta peninggalan
(setelah diambil untuk biaya-biaya penyelenggaraan jenazah dan membayar
utang-utang) dan ditujukan kepada bukan ahli waris, wajib dilaksanakan tanpa ijin
siapapun. Apabila wasiat ternyata melebihi sepertiga harta peninggalan, menurut
pendapat kebanyakan ulama maka hal tersebut dipandang sah, tetapi
pelaksanaannya terhadap kelebihan dari 1/3 (sepertiga) harta peninggalan
tergantung kepada izin dari ahli waris, apabila semua ahli waris mengizinkan,
selebihnya 1/3 (sepertiga) harta peninggalan dapat diluluskan seluruhnya. Apabila
sebagian ahli waris mengizinkan dan sebagian ahli waris tidak mengizinkan, maka
yang diluluskan hanyalah yang menjadi hak waris yang mengizinkan saja. Menurut
pendapat ulama Dhahiriyah, wasiat lebih dari 1/3 (sepertiga) harta itu dipandang
batal, meskipun ada izin dari ahli waris; sebab hadits nabi menentukan bahwa
berwasiat dengan 1/3 harta itu sudah dipandang banyak.[15]
Hal ini didasarkan pada
sabda nabi Muhammad SAW, sebagai berikut: Dari Abi Ishak bin Abi Waqqas ra, ia
berkata :
“Telah datang ke rumahku Rasulullah SAW, pada tahun Haji Wada’
sehubungan dengan sakitku yang agak berat, kataku ya Rasulullah sakitku ini
agak berat dan minta pendapat engkau. Aku ini punya harta tidak ada yang
mewarisinya selain dari satu-satunya anak perempuanku, apakah aku sedekahkan
saja dua pertiga dari hartaku itu? Sabda Rasulullah SAW, “tidak” kataku lagi
bagaimana kalau seperduanya? Sabda Rasulullah SAW, “tidak”. Kataku seterusnya
bagaimana kalau sepertiganya? Sabda Rasulullah SAW. “sepertiga itu sudah
banyak, engkau meninggalkan waris yang kaya lebih baik dari meninggalkan mereka
dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada manusia.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Apabila anak angkat tidak
menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka anak angkat berhak menerima
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tuanya. Hal
tersebut sebagaimana terdapat dalam ketentuan KHI pasal 209 ayat (2) yakni yang
berbunyi :
“Terhadap
anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak banyaknya
1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya”.
Yang dimaksud dengan “wasiat
wajibah” adalah wasiat yang wajib dilakukan untuk kerabat-kerabat terdekat yang
tidak mendapatharta pusaka.[16]
Atas dasar realita di atas, KHI yang merupakan buku hukum bagi masyarakat Islam
Indonesia, bersikap aspiratis terhadap nasib anak angkat dan orang tua angkat
yang tidak menerima wasiat, dalam hal penerimaan harta warisan dengan wujud
wasiat wajibah. Wasiat wajibah tersebut, bukan dimaksudkan sebagai warisan
tetapi merupakan wasiat yang diambilkan dari harta peninggalan si mayat yang
dalam hal pelaksanaannya tidak tergantung pada persetujuan si mayat. Jadi
walaupun anak angkat tidak mendapatkan warisan dan wasiat dari si mayat ketika
masih hidup, mereka akan tetap mendapatkan harta peninggalan tidak melebihi 1/3
(sepertiga) dari harta si mayat dengan jalan wasiat wajibah.
Wasiat wajibah yang dimaksud
di atas adalah tindakan yang dilakukan oleh hakim sebagai aparat negara untuk
memaksa memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang
diberikan kepada para pihak di atas. Wasiat wajibah itu berfungsi sebagai
pengalihan hak kepada orang yang bukan ahli waris (anak angkat dan orang tua angkat)
sebagaimana yang ditentukan oleh hukum waris Islam, maka KHI menetapkan batas
sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan orang tua
angkatnya.
Oleh karena wasiat wajibah
ini mempunyai titik singgung secara langsung dengan hukum kewarisan Islam, maka
pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim dalam menetapkannya dalam
proses pemeriksaan perkara waris yang diajukan kepadanya. Wasiat wajibah ini
mempunyai tujuan yaitu untuk mendistribusikan keadilan, yaitu orang tua angkat
dan anak angkat yang mungkin sudah berjasa besar kepada si pewaris tetapi tidak
diberi bagian dalam ketentuan hukum waris Islam, maka hal ini dapat dicapai
jalan keluar dengan menerapkan wasiat wajibah sehingga mereka dapat menerima
bagian dari harta pewaris. Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat: Pertama,
yang wajib menerima wasiat, bukan ahli waris. Kalau dia berhak menerima pusaka
walaupun sedikit. Tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya, sedangkan yang kedua,
orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang
wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti
hibah umpamanya. jika dia telah
memberikan kurang daripada jumlah wasiat wajibah,maka wajiblah disempurnakan
wasiat itu. Apabila wasiat itu lebih dari sepertiga harta, maka wasiat itu
hanya berlaku sejumlah sepertiga harta tanpa perlu persetujuan seseorang,
sedang yang lebih dari sepertiga harta, memerlukan persetujuan para waris.
Wasiat dalam keadaan ini ada
tiga bentuk :
1) Semua waris membenarkan wasiat yang dilakukan oleh orang yang
telah meninggal sedang mereka mengetahui hukum yang mereka lakukan. Dalam
keadaan ini, diberilah jumlah wasiat dari harta peninggalan dan sisanyalah yang
dibagi antara para waris;
2) Para waris membenarkan yang lebih dari sepertiga. Dalam bentuk ini
berlaku wasiat dalam batas sepertiga tanpa perlu persetujuan seseorang dan
diambil sepertiga itu dari harta peninggalan diberikan kepada orang yang
menerima wasiat, sedang yang dua pertiga dibagi antara para waris;
3) Sebagian para waris menyetujui wasiat yang lebih dari sepertiga,
sedang yang lain tidak menyetujuinya. Dalam hal ini dibagi harta peninggalan
dua kali.[17]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan
uraian dari hasil pembahasan sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab
terdahulu, maka dapat ditarik suatu simpulan, yakni sebagai berikut :
1.
Kedudukan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam adalah tetap
sebagai anak yang sah berdasarkan putusan pengadilan dengan tidak memutuskan
hubungan nasab / darah dengan orang tua kandungnya, dikarenakan prinsip
pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan manifestasi
keimanan yang membawa misi kemanusiaan yang terwujud dalam bentuk memelihara
orang lain sebagai anak dan bersifat pengasuhan anak dengan memelihara dalam
pertumbuhan dan perkembangannya dengan mencukupi segala kebutuhannya.
2.
Kompilasi Hukum Islam tidak mengakui adanya kedudukan anak angkat
terhadap harta warisan dari orang tua angkat. Artinya anak angkat tidak berhak
atas harta warisan orang tua angkat. Akan tetapi, dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum
Islam menjelaskan bahwa keberadaan anak
angkat mempunyai hak wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan
orang tua angkat.
DAFTAR
PUSTAKA
Zaini, Muderis. 1995. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem
Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Soekanto, Soerjono. 2001. Pengantar Penelitian Hukum.
Jakarta : Universitas Indonesia.
Soeroso, R. 2001. Perbandingan
Hukum Perdata, cet. ke- 4. Jakarta; Sinar Grafika.
Anderson, J. N. D. 1991. Hukum Islam Di Dunia Modern. terj.
Machnun Husein. Surabaya: Amarpress.
Parman, Ali. 1995. Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum
Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Raja Grafindo Persada; Jakarta.
Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Bahasa Arab, Jakarta: Hida
Karya.
Maruzi, Muslich. 1981. Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang:
Mujahidin.
Zakiah Daradjat. 1995. Ilmu Fiqih, Jilid III, Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf.
Rofiq, Ahmad. 2002. Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Cet. IV.
Ali ash-Shobuniy, 1995, Hukum Waris Islam, Alih Bahasa
Sarmin Syukur, Surabaya: al-Ikhlas.
Rofiq, Ahmad. 2003. Hukum Islam di Indonesia. edisi 1
cetakan IV, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Azhar Basyir, Ahmad. 1995. Hukum Waris Islam, Yogyakarta :
UII Press.
Hasbi Ash Shiddieqy, Muhammad. 1997. Fiqh Mawaris, Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra.
[1] Muderis Zaini, 1995,
Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 53.
[6] J. N. D. Anderson,1991, Hukum
Islam Di Dunia Modern, terj. Machnun Husein, Surabaya: Amarpress, hlm. 66.
[7] Ali Parman, 1995, Kewarisan
Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Raja
Grafindo Persada; Jakarta, hlm. 1.
[12] Ali ash-Shobuniy, 1995, Hukum
Waris Islam, Alih Bahasa Sarmin Syukur, Surabaya: al-Ikhlas, hlm. 56-58.
[14] Ahmad Rofiq, 2003, Hukum
Islam di Indonesia. edisi 1 cetakan IV, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, hlm. 470.
[16] Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, 1997, Fiqh Mawaris,
Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, hlm. 300.
No comments:
Post a Comment