PRINSIP DAN PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ADAT
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Manusia sebagai makhluk
sosial pastinya membutuhkan bantuan orang lain selama hidupnya. Adapun yang
timbul dari interaksi sosial melahirkan beraneka ragam hubungan hukum berupa
perikatan. Dalam setiap hubungan hukum dalam lingkup harta kekayaan keluarga misalnya,
begitu banyak hal yang perlu diatur dan seringkali menimbulkan masalah di
masyarakat. Salah satunya adalah permasalahan waris. Dewasa ini di Indonesia
peraturan yang mengatur masalah warisan sangat rumit dan berbeda satu sama
lain. Hukum kewarisan adalah himpunan aturan hukum yang mengatur tentang siapa
ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan. Pada prinsipnya kewarisan
terjadi didahului dengan adanya kematian, lalu orang yang meninggal tersebut
meninggalkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Mengenai
kaedah positif yang mengatur perihal kewarisan, negara Indonesia belum
mempunyai hukum waris nasional. Tetapi, berdasarkan Pasal II aturan peralihan
UUD 1945 terdapat tiga kaedah hukum positif di Indonesia hukum waris menurut
hukum adat, hukum waris menurut hukum perdata dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), dan hukum waris
menurut hukum Islam. yang mengatur
perihal kewarisan, yakni hukum adat, hukum perdata barat dan hukum Islam.
Selama belum ada hukum yang bersifat unifikasi ketiga hukum tersebut menjadi
hukum positif perihal waris di Indonesia.
Pengaturan
prinsip-prinsip hukum waris menurut KUHPerdata dan Hukum Islam adanya secara
tegas dalam bentuk tertulis. Konsekuensi dari adanya hukum tertulis tersebut
yakni tidak adanya perubahan dan tidak mengalami perkembangan dalam masyarakat.
Sehingga yang harus dilakukan hanya memilih dan menerapkan
hukum mana yang dipergunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia.
Berbeda halnya dengan hukum waris adat yang tidak tertulis sehingga perubahan
dan perkembangan dari masa penjajahan sampai dengan pasca kemerdekaan hingga
saat ini. Adapun prinsip-prinsip mengenai ahli waris menurut hukum adat akan dibahas oleh penyusun.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Siapa sajakah yang dapat menjadi ahli
waris menurut prinsip hukum waris adat?
2.
Bagaimana pengaturan dan pembagian
warisan menurut prinsip hukum adat?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
AHLI
WARIS MENURUT PRINSIP HUKUM ADAT
1. Pengantar Istilah.
Sebelum jauh membahas
siapa saja ahli waris menurut hukum waris adat, alangkah baiknya kita ketahui apa
itu warisan. Beberapa istilah tersebut beserta
pengertiannya seperti dapat disimak berikut ini:
1.
Waris. Istilah
ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah
meninggal.
2.
Warisan. Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
3.
Pewaris. Adalah
orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan
sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat.
4.
Ahli
waris. Yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak
menerima harta peninggalan pewaris.
5.
Mewarisi. Yaitu
mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta
peninggalan pewarisnya.[1]
6.
Proses
pewarisan. Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua
makna,yaitu:
a. berarti penerusan atau penunjukan
para waris ketika pewarismasih hidup; dan
b. berarti pembagian harta warisan
setelah pewaris meninggal.[2]
Di Indonesia mengenai hukum waris dikenal ada tiga hukum, yaitu hukum waris
islam, hukum waris BW (Burgerlijk
Wetboek), dan hukum adat.
Menurut Hukum Islam yaitu
“warisan ialah sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia
dalam keadaan bersih”. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli
waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, “setelah dikurangi dengan pembayaran
hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh
wafatnya si peninggal waris”.[3] Dalam hukum waris BW
warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang
berpindah kepada para ahli waris.[4] Hal ini meliputi seluruh harta
benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum
harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Dalam wais
adat, warisan adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam masyarakat yang
melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seseorang
manusia, dimana manusia yang wafat itu meniggalkan harta kekayaan.[5]
Dengan membaca definisi-definisi tadi, dapat disimpulkan
bahwa setiap hukum waris yang berlaku ini mempunyai istilah dan ketentuan
tersendiri perihal warisan. Setelah membaca tentang istilah warisan dari tiap-tiap
hukum, kita berlanjut perihal ahli waris. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta pusaka dari
orang yang meninggal.
2. Kualifikasi Ahli Waris Menurut Hukum Adat.
Menurut hukum adat,
dibagi menjadi 3 sistem, yaitu sistem keluarga patrilineal, matrilineal, dan
parental.
- Ahli Waris dalam sistem
patrilineal
Dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah
seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik
harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di
dalam hukum adat perkawinan suku Karo yang memakai marga itu berlaku keturunan
patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki
dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuannya.
Akan tetapi anak laki-laki tidak dapat membantah pemberian kepada
anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada
prinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta
benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang tua yang tidak membedakan
kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Ahli waris atau para ahli waris dalam
sistem hukum adat waris di Tanah
Patrilineal, terdiri atas:
a.
Anak
laki-laki.
Yaitu semua anak laki-laki yang sah
yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan. Baik harta pencaharian maupun
harta pusaka. Jumlah harta kekayaan pewaris dibagi sama di antara para ahli
waris. Misalnya pewaris mempunyai tiga orang anak laki-laki, maka masing-masing
anak laki-laki akan mendapat bagian
dari seluruh harta kekayaan termasuk harta pusaka. Apabila pewaris tidak
mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak perempuan dan isteri, maka harta
pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-anak perempuan maupun oleh isteri
seumur hidupnya, setelah itu harta pusaka kembali kepada asalnya atau kembali
kepada "pengulihen".
b.
Anak
angkat Dalam masyarakat Karo.
Anak angkat merupakan ahli waris
yang kedudukannya sama seperti halnya anak sah. namun anak angkat ini hanya
menjadi ahli waris terhadap harta pencaharian atau harta bersama orang tua
angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.
c.
Ayah
dan Ibu serta saudara-saudara sekandung sipewaris. Apabila anak laki-laki yang
sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah
dan ibu serta saudara-saudara kandung si pewaris yang mewaris bersama-sama.
d.
Keluarga
terdekat dalam derajat yang tidak tertentu. Apabila anak laki-laki yang sah,
anak angkat, maupun saudara-saudara sekandung pewaris dan ayah-ibu pewaris
tidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris adalah keluarga terdekat dalam
derajat yang tidak tertentu.
e.
Persekutuan
adat. Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada,
maka harta warisan jatuh kepada persekutuan adat. Ketentuan hukum adat waris di
Tanah Karo menentukan, bahwahanya keturunan laki-laki yang berhak untuk
mewarisi harta pusaka.Yang dimaksud dengan harta pusaka atau barang adat yaitu
barang-barang adat yang tidak bergerak dan juga hewan atau pakaian-pakaian yang
harganya mahal. Barang adat atau harta pusaka ini adalah barang kepunyaan marga
atau berhubungan dengan kuasa kesain,
yaitu "bagian dari kampung secara fisik".[6]
Barang-barangadat meliputi: tanah kering (ladang), hutan, dan kebun
milik kesain. Rumah atau jabu mempunyai potongan rumah adat,
jambur atau sapo tempat menyimpan padi dari beberapa keluarga dan juga
bahan-bahanuntuk pembangunan, seperti ijuk, bambu, kayu, dan sebagainya yang
dihasilkan hutan marga atau kesain.
- Ahli Waris Dalam Sistem
Matrilineal
Ahli waris dan hak mewaris menurut adat Minangkabau
sebagaimana diketahui, bahwa “kaum” dalam masyarakat Minangkabau merupakan
persekutuan hukum adat yang mempunyai daerah tertentu yang dinamakan “tanah
ulayat”. Kaum serta anggota kaum diwakili ke luar oleh seorang “mamak kepala
waris”. Anggota kaum yang menjadi mamak kepala waris lazimnya adalah saudara
laki-laki yang tertua dari ibu, mamak kepala waris harus yang cerdas dan
pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum terletak pada rapat
kaum, bukan pada mamak kepala waris. Anggota kaum terdiri atas kemenakan dan
kemenakan ini adalah ahli waris. Menurut hukum adat Minangkabau ahli waris
dapat dibedakan antara :
a.
Waris
bertali darah.
Yaitu ahli waris kandung atau ahli
waris sedarah yang terdiri atas waris satampok (waris setampuk), waris
sejangka (waris sejengkal), dan waris saheto (waris sehasta). Masing-masing
ahli waris yang termasuk waris bertali darah ini mewaris secara bergiliran.
Artinya, selama waris bertali darah setampuk masih ada, maka waris bertali
darah sejengkal belum berhak mewaris. Demikian pula ahli waris seterusnya
selama waris sejengkal masih ada, maka waris sehasta belum berhak mewaris.
b.
Waris
bertali adat.
Yaitu waris yang sesama ibu asalnya
yang berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris
bertali darah. Setiap nagari di Minangkabau mempunyai nama dan pengertian
tersendiri untuk waris bertali adat, sehingga waris bertali adat ini dibedakan
sebagai berikut :
1) menurut caranya menjadi waris: waris
batali ameh, warisbatali suto, waris batali budi, waris tambilang basi, waris
tembilang perak
2) menurut jauh dekatnya terdiri atas: waris di bawah daguek, waris didado, waris
di bawah pusat, waris dibawah lutut.
3) menurut datangnya, yaitu : waris
orang datang, waris air tawar, waris mahindu.
3.
Ahli waris dalam hukum adat waris parental
a. Sedarah dan
Tidak Sedarah
Ahli waris adalah ahli waris sedarah dan yang tidak sedarah.
Ahli waris yang sedarah terdiri atas anak kandung, orang tua, saudara, dan
cucu. Ahli waris yang tidak sedarah, yaitu anak angkat, janda/duda. Di
daerah Cianjur, seorang anak angkat adalah ahli waris, apabila pengangkatannya
disahkan oleh pengadilan negeri. Jenjang atau urutan ahli waris adalah: Pertama,
anak/ anak-anak. Kedua, orang tua apabila tidak ada anak, dan Ketiga, saudara/
saudara kalau tidak ada orang tua. Akan tetapi dari penelitian setempat
tidak diperoleh keterangan apakah adanya satu kelompok ahli waris akan
menutup hak ahli waris yang lain.
b. Kepunahan atau nunggul pinang
Ada kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai ahli waris
(punah) atau lazim disebut nunggul pinang. Menurut ketentuan yang berlaku di
daerah Kabupaten Bandung, Banjar, Ciamis, Kawali,Cikoneng, Karawang Wetan,
Indramayu, Pandeglang, apabila terjadi nunggul pinang, barang atau harta
peninggalan akan diserahkan kepada desa.[7]
Selanjutnya desalah yang akan menentukan pemanfaatan atau pembagian harta
kekayaan tersebut. Di Pandeglang kalau pewaris mati punah, harta warisan jatuh
kepada desa atau mungkin juga pada baitulmaal, masjid atau wakaf. Di daerah
Kabupaten Cianjur, kekayaan seorang yang meninggal tanpa ahli waris, selain
diserahkankepada desa, mungkin diserahkan kepada baitulmaal atau kepadaorang
tidak mampu. Di Kecamatan Kawali, selain diserahkan ke desa dapat juga
diserahkan kepada yayasan sosial. Pengadilan Negeri Indramayu yang dikukuhkan
oleh PengadilanTinggi Jawa barat di Bandung, memutuskan: “Apabila seseorang
tidak mempunyai anak kandung, maka keponakan-keponakannya berhak mewarisi harta
peninggalannya yang merupakan barang asal atau barang yang diperolehnya sebagai
warisan orang tuanya”. (PN. Indramayu tanggal 28 Agustus 1969,No.36/1969/Pdt.,
PT. Jabar di Bandung tanggal 23 Januari 1971,Nomor 507/ 1969/Perd/PTB”.[8]
B.
PEMBAGIAN
HARTA WARISAN MENURUT PRINSIP HUKUM WARIS ADAT
Menurut hukum waris adat, seperti yang dijelaskan diatas
bahwa dalam hukum waris adat terdapat tiga sistem pewarisan, yaitu patrilineal,
matrilineal, dan parental. Dari ketiga sistem tersebut pun memiliki pembagian
warisan yang berbeda. Proses penyerahan barang-barang harta benda kekayaan
seseorang kepada turunannya, seringkali sudah dilakukan ketika orangtua
(pewaris) masih hidup. Pembagian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di
depan anak beru, senina, dan kalimbubu. Kadang-kadang pembagian itu juga
dihadiri oleh penghulu (Kepala Desa) untuk menambah terangnya pembagian
tersebut. Apabila pembagian dilakukan setelah pewaris meninggal dunia, maka
perlu diperhatikan, bahwa walaupun pada dasarnya semua anak laki-laki mempunyai
hak yang sama terhadap harta peninggalan orang tuanya, namun pembagian itu
harus dilakukan dengan sangat bijaksana sesuai dengan kehendak atau pesan
pewaris sebelum meninggal dunia. Apabila dalam pembagian itu terjadi sengketa,
maka anak beru dan senina mencoba menyelesaikannya melalui musyawarah.
Apabila seorang ayah sebagai pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan isteri
lebih dari satu, misalnya mempunyai dua orang anak dari isteri pertama dan tiga
orang anak dari isteri kedua, maka pembagiannya ada dua cara, yaitu :
1.
Dahulu
cara pembagian harta peninggalan dalam keadaan semacam ini didasarkan pada
banyaknya isteri, sehingga dalam contoh di atas cara pembagiannya adalah
menjadi ½ bagian untuk dua orang anak dari isteri pertama dan ½ bagian lagi
untuk tiga orang anak dari isteri kedua;
2.
Setelah
adanya musyawarah kepala-kepala adat Tanah Karo, cara pembagian semacam di atas
berubah menjadi atas dasar jumlah anak laki-laki yang masing-masing akan
memperoleh bagian yang sama besar, sehingga dalam contoh di atas masing-masing
akan memperoleh 1/5 bagian.
Sementara dalam sistem pewarisan
matrilineal, hak mewaris dari masing-masing ahli waris yang disebutkan di atas
satu sama lain berbeda-beda tergantung pada jenis harta peninggalan yang akan
ia warisi dan hak mewarisinya diatur menurut urutan prioritasnya. Hal tersebut
akan dapat terlihat dalam paparan di bawah ini:
1. Mengenai harta pusaka tinggi
Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka
tinggi,cara pembagiannya berlaku sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta
pusaka tinggi diwarisi oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan
dibagi-bagi pemilikannya dan dimungkinkan dilakukan “ganggam bauntuek".
Walaupun tidak boleh dibagi-bagi, pemilikannya di antara para ahli waris,
harta pusaka tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang anggota kaum oleh
mamak kepala waris untuk selanjutnya dijual atau digadaikan guna keperluan
modal berdagang atau merantau, asal saja dengan sepengetahuan dan seizin
seluruh ahli waris. Disamping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau
digadaikan, guna keperluan:
·
untuk
membayar hutang kehormatan;
·
untuk
membayar ongkos memperbaiki bandar sawah kepunyaan kaum;
·
untuk
membayar hutang darah;
·
untuk
menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal di pantai;
·
untuk
ongkos naik haji ke Mekkah;
·
untuk
membayar hutang yang dibuat oleh kaum secarabersama-sama.
2. Mengenai harta pusaka rendah
Semula harta pusaka rendah adalah harta pencaharian. Harta
pencaharian mungkin milik seorang laki-laki atau mungkin juga milik
seorang perempuan. Pada mulanya harta pencaharianseseorang diwarisi oleh jurai
atau setidak-tidaknya kaum masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan
berikutnya karena hubungan seorang ayah dengan anaknya bertambah erat dan juga sebagai
pengaruh agama Islam, maka seorang ayah dengan harta pencahariannya dapat
membuatkan sebuah rumah untuk anak-anaknya atau menanami tanah pusaka isterinya
dengan tanaman keras, misalnya pohon kelapa, pohon durian, pohon cengkeh, dan
lain-lain. Hal ini dimaksudkan untuk membekali isteri dan anak-anak
manakala ayah telah meninggal dunia.
3. Mengenai harta suarang Harta
suarang
Berbeda sama sekali dengan harta pencaharian sebab harta
suarang adalah seluruh harta yang diperoleh suami-isteri secara bersama-sama
selama dalam perkawinan. Kriteria untuk menentukan adanya kerja sama dalam
memperoleh harta suarang, dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketika
suami masih merupakan anggota keluarganya, ia berusaha bukan untuk
anak-isterinya melainkan untuk orang tua dan para kemenakannya, sehingga ketika
itu sedikit sekali kemungkinannya terbentuk harta suarang sebab yang
mengurus dan membiayai anak-anak dan isterinya adalah saudara atau mamak
isterinya. Sedangkan pada dewasa ini adanya kerja sama yang nyata antara suami-isteri
untuk memperoleh harta suarang sudah jelas nampak, terutama masyarakat
Minangkabau yang telah merantau jauh ke luar tanah asalnya, telah menunjukkan
perkembangan ke arah pembentukan hidup keluarga (somah), yaitu antara
suami, isteri dan anak-anak merupakan satu kesatuan dalam ikatan yang kompak.
Dalam hal demikian suami telah bekerja dan berusaha untuk kepentingan isteri
dan anak-anaknya, sehingga dalam kondisi yang demikian keluarga tadi akan
mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta keluarga yang disebut harta
suarang. Harta suarang dapat dibagi-bagi apabila perkawinan bubar, baik
bercerai hidup atau salah seorang meninggal dunia. Harta suarang
dibagi-bagi setelah hutang suami-isteri dilunasi terlebih dahulu. Ketentuan
pembagiannya sebagai berikut:
·
bila
suami-isteri bercerai dan tidak mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara
bekas suami dan bekas isteri;
·
bila
salah seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, maka sebagai berikut:
Ø jika yang meninggal suami, harta
suarang dibagidua, separoh merupakan bagian jurai si suami dan separoh
lagi merupakan bagian janda;
Ø Jika yang meninggal isteri, harta suarang dibagi dua, sebagian
untuk jurai suami dan sebagian lagi untuk duda.
·
Apabila
suami-isteri bercerai hidup dan mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara
bekas suami dan bekas isteri, anak-anak akan menikmati bagian ibunya;
·
Apabila
salah seorang meninggal dunia dan mempunyaianak, bagian masing-masing sebagai
berikut:
Ø jika yang meninggal suami, harta
suarang dibagi dua antara jurai suami dengan janda beserta anak;
Ø jika yang meninggal isteri, harta suarang seperdua untuk suami dan
seperdua lagi untuk anak sebagai harta pusaka sendiri dari bagian ibunya.
Berkaitan dengan pembahasan harta suarang, di bawah ini akan ditunjukkan
beberapa putusan pengadilan mengenai harta suarang sebagai bukti, bahwa antara
suami-isteri orang Minangkabau dalam perkembangan selanjutnya telah terjalin
kerja sama dalam satu kesatuan unit yang disebut somah (gezin), sehingga terbentuk harta keluarga.
(i)
Putusan
Landraad Talu tanggal 23 Januari
1937 No.5 tahun 1937 yang dikuatkan oleh Raad
van Justitie Padang tanggal 13 Mei 1937 (T.148/508) menentukan bangunan
yang didirikan atau tanaman yang ditanami di atas tanah harta kaum isteri
bukanlah harta suarang;
(ii)
Putusan
Landraad Payakumbuh tanggal 13 Juni 1938 No. 63 perdata 11 tahun 1938,
yang dikuatkan oleh Raad van
Justitie Padangtahun 1938 mengatakan: Bila suami meninggalkan beberapa
orang janda, maka pembagian harta suarang menjadi pusaka rendah jurai si
suami dan separoh lagi merupakan bagian para janda yang masih hidup;
(iii)
Putusan
Pengadilan Bukittinggi No. 46/1953 tanggal 26 September 1953 yang dikuatkan
oleh Pengadilan Tinggi Medan tanggal 13 Maret 1956 Nomor 23/1954, yang
menetapkan, bahwa harta suarang bertanggung jawab atas hutang suami. Kemudian
adanya rumah di atas tanah kaum tidak dengan sendirinya membuktikan, bahwa
rumah itu kepunyaan kaum, mungkin saja rumah itu kepunyaan suami isteri bersama
sebagai harta suarang.
Lalu
dalam sistem parental, pembagian warisannya adalah sebagai berikut:
1.
Tata
cara membagi harta warisan
Pelaksanaan pembagian warisan tergantung pada hubungan dan
sikap para ahli waris. Pembagian warisan mungkin terjadi dalam suasana tanpa
sengketa atau sebaliknya dalam suasana persengketaan di antara para ahli waris.
Dalam suasana tanpa persengketaan, suasana persaudaraan dengan penuh
kesepakatan, pelaksanaan pembagian waris dilakukan dengan cara:
a.
Musyawarah
antara sesama ahli waris/keluarga; atau
b.
Musyawarah
antara sesama ahli waris dengan disaksikan oleh
sesepuh desa. Sebaliknya, apabila suasana persengketaan
mengiringipembagian itu, maka pelaksanaan pembagian dilakukandengan cara:
1) Musyawarah sesama ahli waris dengan
disaksikan olehsesepuh desa (Leuwiliang);
2) Musyawarah sesama ahli waris dengan disaksikan
olehpamong desa. Apabila usaha-usaha permusyawaratan ini gagal, baru diajukan ke
pengadilan. Sepanjang mengenai tanah/sawah, akan selalu menghubungi desa untuk
keperluan balik nama. Di daerah Banjar, Kawali, Cikoneng, dan Cianjur selain bantuan pamong desa, permusyawaratan
tersebut mungkindipimpin seorang sesepuh desa.
2.
Saat
Pembagian Warisan.
Tidak ada
kepastian waktu mengenai harta warisan harus dibagikan. Di beberapa daerah,
dijumpai praktik, saat pembagian warisan tersebut ditentukan berdasarkan
lamanya pewaris meninggal. Pembagian harta warisan biasanya dilakukan pada hari
ke 40 (empat puluh) atau hari ke100(seratus) sejak pewaris meninggal dunia.
3.
Besarnya
bagian yang diterima ahli waris.\
a. Anak/anak-anak
Anak Kandung, biasanya baik anak
laki-laki maupun anak perempuan akan menerima jumlah yang sama besar dalam
setiap pembagian warisan.
b. Anak-anak angkat
Anak angkat di daerah-daerah tertentu anak angkat
tidak dipandang sebagai ahli waris yang mempunyai hak penuh atas warisan orang
tua angkatnya. Dalam hubungan hak anak angkat atas harta peninggalan orang tua
angkatnya, terdapat beberapa yurisprudensi berikut ini:[9]
1)
“Menurut Hukum
Adat Jawa Barat seorang anak angkat (anak kukut) hanya berhak atas harta
gunakaya kedua orang tua angkatnya”.(PT. Bandung tanggal 6 Mei 1971 No.
80/Perd/PTB, MA tanggal 30 Oktober 1971, No. 637 K/Sip/1971).
2)
“Anak
angkat berhak atas barang gono-gini orang tua angkatnya”. (PN. Ciamis tanggal
22 Februari 1968,No.16/1967/Sip/Cms. PT. Bandung tanggal 9Oktober 1970, No.
252/1969/Perd/PTB, MA tanggal 30 Oktober 1971 No.637 K/Sip/1971).
3)
“Anak
angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, yang bukan barang
asal ataubarang warisan”. (PN Indramayu tanggal 8September 1969 No.
24/1969/Perd. PT. Bandungtanggal 14 Mei 1970 No.511 /1969/Perd/ PTB).
4)
“Apabila
baik anak angkat maupun janda telah pernah mendapat hibah dari pewaris, maka
lebih adil apabila bagian janda adalah sama banyaknya dengan bagian anak
angkat, jika pewaris tak meninggalkan anak kandung”. (PT Bandung tanggal 14 Mei
1970,No.215 /1969/Perd. MA tanggal 24 Maret 1971 No.60 K/Sip/1970).
c. Anak tiri
Sama halnya dengan anak angkat, seorang
anak tiri akan menerima bagian dari harta peninggalan orang tua tirinya
sapamerena / saasihna.
d. Anak tidak sah
Di daerah-daerah dalam Kabupaten
Bandung, Karawang, Indramayu, anak tidak sah adalah ahli waris ibu kandungnya
dan tidak dari bapak pembangkitnya. Tetapi di sini tidak dijumpai penjelasan
bagaimanakah kedudukan seorang anak tidak sah tersebut terhadap bapak
pembangkitnya, apabila kemudian ibunya menikah secara sah dengan bapak
pembangkitnya. Di daerah Kabupaten Cianjur dalam hal ibu seorang anak tidak sah
kemudian menikah secara sah dengan bapak pembangkitnya, maka hak untuk
mendapat bagian tergantung kepada kebijaksanaan anak/anak-anak sah (saudara
anak tidak sah tersebut).Tetapi satu pertanyaan perlu dijawab, bagaimanakah
seandainya dari perkawinan ibu anak tidak sah tersebut dengan bapak
pembangkitnya tidak lahir (tidak ada) anak sah? Di Kecamatan Banjar,
Ciamis, Cikoneng, danKawali, anak tidak sah tidak mewarisi bersama-samaanak
sah, baik bapak pembangkitnya menikah denganibunya maupun tidak.
e. Hak Janda atau Duda.
Di daerah-daerah dalam lingkungan
seorang janda/duda diatur sebagai berikut;
(1) Harta asal.
Kalau ada
anak, seluruh harta asal jatuh kepadaanak/ anaknya. Kalau tidak ada
anak/anak-anaknya, harta asal kembali ke asal. Janda/duda tidak berhak menerima
bagian harta asal.
(2) Harta bersama.
Janda/duda
berhak mendapat ½ dari harta bersama.Dalam hal harta bersama tidak mencukupi,
janda dapatmenguasai harta asal suaminya sampai ia menikah lagiatau meninggal.
Apakah hak janda untuk menahan hartaasal suami berlaku juga untuk duda?
(Artinya, apakahduda juga dapat menguasai harta asal isteri?).Di Kecamatan
Banjar, terdapat praktik yang sama sepertidi daerah Kabupaten Bandung. Di
Banjar, seorang janda/duda berhak atas ½ dari harta bersama. Di Ciamisdan
Cikoneng, seorang janda/duda akan menerima sapamerena / saasihna. Sedangkan
kalau tidak ada anak, janda/duda berhak atas ½ dari harta bersama. Pada semua
daerah penelitian terdapat persamaan bahwa lamanya perkawinan tidak berpengaruh
atas bagian yang harus diterima janda/ duda.Dalam hubungan dengan hak janda
atas harta peninggalan suaminya, dapat dijumpai beberapayurisprudensi, antara
lain :[10]
a) Hak waris janda dan
anak “Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Juli1962 No. 26
K/SIP/1963, barang asal dari peninggalanwarisan harus dibagi sama rata antara
anak-anak dan janda-janda pewaris".(PN Cianjur tanggal 29 Januari
1971 No. 218 /1969/Perd/PTB)
b) Hak seorang janda atas harta asal
suaminya"Menurut yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung seorang janda berhak
atas harta asal dari suaminya sebagai nafkah untuk kelangsungan hidupnya dan
apabila diadakan pembagian waris, bagian seorang janda setidak-tidaknya adalah
disamakan dengan bagian seorang anak".(PT Bandung tanggal 6 Mei 1971
No.80/1970/Perd/PTB.MA tanggal 1 Desember 1971 No.941 K/Sip/1971).
c) Hak waris janda setengah diberi
hibah"Apakah baik anak angkat maupun janda telah pernah mendapat hibah
dari pewaris, maka lebih adil apabila bagian janda adalah sama banyaknya dengan
bagian anak angkat, jika pewaris tak meninggalkan anak kandung".(PT
Bandung tanggal 14 Mei 1970 No.215/1969/Perd/PTB. MA tanggal 24 Maret 1971 No.
60K/Sip/1970).
d) Hak waris janda atas harta campur
kaya"Barang-barang campur kaya hanya diwaris oleh jandadan anak si
pewaris". (PN Indramayu tanggal 15September 1969 No.23/1969/Pdt, PT
Bandung tanggal 29Januari 1971 No. 218/1969/Perd/PTB). Dari berbagai putusan
Pengadilan di atas, selain menampakkan adanya keserasian antara perkembangan
hukum adat dalam proses pewarisan dengan hukum adat yang hidup dalam
masyarakat, dirasa masih perlu untuk memperoleh ketegasan atas hal-hal
berikut :
(3) Hak Janda atas harta campur kaya
Harta
campur kaya atau gono-gini adalah harta bersama atau milik bersama (community property). Jadi, seorang
isteri atau suami merupakan pemilik dari sebagian (misalnya separo) dari
keseluruhan harta tersebut. Berakhirnya suatu perkawinan baik karena meninggal,
perceraian maupun putusan hakim akan membawa konsekuensi pecahnya harta
bersama. Masing-masing pihak akan menerima bagian menurut kesepakatan atau
hukum yang berlaku. Dalam Hukum Adat di Jawa Barat pada umumnya, masing-masing
akan menerima separo dari harta campur kaya (50 : 50). Apabila salah satu
pasangan meninggal, ia tidak meninggalkan seluruh harta campur kaya (100%).
Sebab harta peninggalan pewaris hanya sebagian saja (misalnya50%) dari seluruh
harta campur kaya. Sedangkan sebagian lagi, adalah hak pasangan yang masih
hidup dalam kedudukan sebagai pemegang sebagian hak atas harta campur kaya.
Jadi, dalam hal ini sebenarnya pasangan yang masih hidup tidak atau belum
menerima warisan dari suami/isteri yang meninggal itu. Kalau pasangan yang
masih hidup itu dipandang sebagai ahli waris suami/isteri atau setidak-tidaknya
berhak atas harta peninggalan suami/isteri, hak itu adalah atas harta guna kaya
yang menjadi hak suami (50% ). Secara
konkrit, konstruksi di atas akan nampak sebagai berikut :
Ø Kalau salah satu pasangan meninggal,
maka pertama-tama diadakan pembagian harta campur kaya. Pasangan yang masih
hidup akan menerima bagian sebagai pemilik atas sebagian harta campurkaya;
Ø Setelah pasangan yang masih hidup
menerima bagian tersebut di atas, sisa pembagian itu yang merupakan hak
pasangan yang meninggal adalah harta peninggalan (warisan) dari yang meninggal;
Ø Dalam bagian yang menjadi hak yang
meninggal baru dapat dikatakan isteri/ suami yang masih hidup mempunyai hak/
tidak atas harta peninggalan suami/isteri;
Ø Kalau suami/ isteri yang masih hidup
menyatakan berhak atas harta peninggalan harta guna kaya yang menjadi bagian
dari pasangan yang meninggal, berarti pasangan yang masih hidup akan menerima
lebih besar dari para ahli waris lain atas keseluruhan harta campur kaya itu.
Oleh karena selain menerima bagian yang menjadi haknya sebagai
pemilik bersama harta campur kaya, akan menerima juga bagian harta guna
kaya yang menjadi hak pasangan yang meninggal (pewaris). Dan dalam proses
inilah kedudukan janda sebagai ahli waris atau bukan ahli waris.
Ø Kalau suami/isteri yang masih hidup
menyatakan hanya berhak atas sebagian dari seluruh harta campur kaya (misalnya
50%), maka sesungguhnya dia bukan ahli waris atau dia sesunguhnya tidak berhak
atas harta campur kaya peninggalan suami/isteri yang meninggal. Karena apa yang
diterima dari harta campur kaya itu bukan karena kedudukannya sebagai janda
atau ahliwaris, tetapi semata-mata karena dia adalah pemilik atau pemegang
hak atas sebagian dari harta campur kaya.
2) Dari
yurisprudensi di atas, seyogianya pengertian janda tidak terbatas pada
janda perempuan melainkan juga berlaku pula bagi janda/laki-laki atau
lazim dikenal dengan sebutan duda. Hal ini didasarkan kepada salah satu asas
pokok dalam hukum kekeluargaan adat yaitu kesederajatan antara suami dan
isteri.
4.
Hutang
Pewaris
Para ahli waris bertanggung jawab untuk melunasi
hutang-hutang pewaris. Pada tahap pertama, hutang-hutang pewaris dilunasi dengan
harta peninggalannya. Karena itu, harta peninggalan pewaris baru akan dibagi
setelah semua hutang-hutang tersebut dilunasi. Biaya penguburan merupakan salah
satu hutang yang harus diutamakan pelunasannya.
5.
Mengesampingkan
ahli waris
Kecuali dalam kehilangan hak untuk mewaris (lihat tentang
ahli waris), baik oleh pewaris maupun oleh sebagian ahli waris. Apabila hal ini
terjadi, ahli waris yang bersangkutan dapat menuntut dipulihkan hak-haknya
sebagai ahli waris (lihat yurisprudensi tentang ahli waris).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum Waris menduduki
posisi yang sangat penting dalam masyarakat karena mengatur kelangsungan hidup
secara tertib. Dikatakan sangat penting karena hukum waris mengatur kepada
siapa harta pewaris tersebut dibagi dan bagaimana memperlakukan harta pewaris
tersebut. Menurut
hukum adat, pewarisan dibagi menjadi 3 sistem, yaitu sistem keluarga patrilineal,
matrilineal, dan parental. Dari
ketiga sistem tersebut pun memiliki pembagian warisan yang berbeda.
Proses penyerahan barang-barang harta benda kekayaan
seseorang kepada turunannya, seringkali sudah dilakukan ketika orangtua
(pewaris) masih hidup. Pembagian
yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan anak beru, senina, dan
kalimbubu. Kadang-kadang pembagian itu juga dihadiri oleh penghulu (Kepala Desa)
untuk menambah terangnya pembagian tersebut. Apabila pembagian dilakukan
setelah pewaris meninggal dunia, maka perlu diperhatikan, bahwa walaupun pada
dasarnya semua anak laki-laki mempunyai hak yang sama terhadap harta
peninggalan orang tuanya, namun pembagian itu harus dilakukan dengan sangat
bijaksana sesuai dengan kehendak atau pesan pewaris sebelum meninggal dunia.
Apabila dalam pembagian itu terjadi sengketa, maka anak beru dan
senina mencoba menyelesaikannya melalui musyawarah.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
I. Literatur
Hadikusumua,
Hilman, 1983, Hukum Waris Adat, Alumni: Bandung.
Satrio, J, 1990,
Hukum Waris, PT. Citra Aditya Bakti:
Bandung.
Poerwardaminta, W.J.S, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud,Pusat
Pembinaan Bahasa Indonesia.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia. Bandung, Vorkink vanHoeve,
's-Gravenhage
Hasan, M. Ali,
1973, Hukum Warisan dalam Islam, Bulan
Bintang: Jakarta.
Soekanto,
Soerjono, 1978, Kamus Hukum Adat,
Alumni: Bandung.
.
II. Yurisprudensi
Yurisprudensi Jawa Barat, 1969-1972, Buku I-Hukum Perdata,
LPHKFH-UNPAD, Bandung.
III. Internet
http://www.scribd.com/doc/40532989/4/Warisan-dalam-Sistem-Hukum-Waris-Islam.
Diunduh pada tanggal 27 Maret 2014.
[1] W.J.S. Poerwardaminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud,Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia,
1982, hal. 1148.
[2] Hilman Hadikusumah, Hukum
Waris Adat. Bandung : Alumni, 1980, hal. 23
[3] Wirjono Prodjodikoro, Hukum
Warisan di Indonesia. Bandung, Vorkink vanHoeve, 's-Gravenhage , h.al. 17.
[4] J. Satrio, Hukum Waris, Bandung: PT Citra Aditya, 1990, hal. 8.
[7] http://www.scribd.com/doc/40532989/4/Warisan-dalam-Sistem-Hukum-Waris-Islam. Diunduh pada
tanggal 27 Maret 2014.
[8]
Yurisprudensi Jawa Barat (1969-1972) Buku I-Hukum Perdata,
LPHKFH-UNPAD;Bandung, 1974, hal. 36,37
[9]
Yurisprudensi Jawa Barat; Loc . Cit.,hal. 40.
[10]
Yurisprudensi Jawa Barat; Loc . Cit.,hal. 40.
No comments:
Post a Comment