TUGAS
TERSTRUKTUR HUKUM DAGANG
TENTANG
PENANAMAN
MODAL DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang
Isu penanaman modal asing
(untuk selanjutnya disingkat dengan PMA) dewasa ini semakin ramai dibicarakan.
Hal ini mengingat, bahwa untuk kelangsungan
pembangunan nasional dibutuhkan banyak dana. Dana
yang dibutuhkan untuk investasi tidak mungkin
dicukupi dari pemerintah dan swasta nasional. Keadaan ini yang makin mendorong untuk mengupayakan semaksimal mungkin
menarik Penanaman Modal Asing ke Indonesia.[1]
Sejalan dengan perkembangan
ekonomi dunia, usaha untuk menarik investasi.
Beberapa andalan utama yang selama ini menjadi
insentif dalam menarik investor asing seperti pasar dalam negeri yang cukup
aktif dan berpeluang untuk berkembang pesat,
tenaga kerja yang relatif murah, sumber daya alam yang cukup besar dan beraneka ragam, tidak lagi dapat diandalkan dengan
sepenuhnya.
Persyaratan-persyaratan
tertentu dalam investasi asing bagi negara
berkembang bukanlah untuk menghambat kegiatan
perdagangan dari perusahaan investasi asing, akan tetapi adalah untuk
memastikan kontribusi yang lebih efisien dari
modal asing untuk pembangunan ekonomi, untuk mempertinggi dan memaksimalkan peluang kerja, mengurangi kerugian
industrial, ekonomi dan sosial dari
daerah-daerah tertentu, mengurangi tekanan atas mata uang asing dan membuat
penggunaan mereka lebih efisien, mempertinggi
kontribusi investor asing dalam pengembangan
kemampuan teknologi dalam negeri dan untuk memastikan lebih efisiennya penggunaan sumber daya alam untuk memperluas
pasar ekspor.
Dengan masuknya modal asing
ke Indonesia maka ada kemungkinan terjadi sengketa antara pemodal asing dengan
pemerintah Indonesia, namun penanaman modal asing secara langsung juga
memberikan pengertian bahwa bagi pemodal asing yang ingin menanamkan modalnya
secara langsung, maka secara fisik pemodal asing hadir dalam menjalankan
usahanya. Dengan hadirnya atau tepatnya dengan didirikannya badan usaha yang
berstatus sebagai penanaman modal asing, maka badan usaha tersebut harus tunduk
pada ketentuan hukum di Indonesia.
b.
Perumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kewajiban penanam modal di Indonesia?
2.
Bagaimana
perbedaan penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan investor domestik
dengan investor asing?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kewajiban
Penanam Modal
a. Kewajiban
secara umum
Sebagaimana tercantum pada
pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal, perusahaan dalam negeri yang akan
melakukan kegiatan penanaman modal
diperkenankan untuk memilih bentuk perusahaan yang dianggap lebih cocok, untuk perusahaan penanaman modal asing wajib
diwujudkan dalam bentuk perseroan terbatas
berdasarkan hukum Indonesia dan harus berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia. Selain itu,
penanaman modal asing diwajibkan untuk menjaga
agar selama kegiatan penanaman modal masih berlangsung,
bentuk badan usahanya tetap dapat mengikuti aturan yang dicantumkan pada Undang-Undang tersebut.
Secara umum, setiap penanam
modal berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:[2]
a. Menjamin mengenai tersedianya modal yang berasal dari sumber
yang tidak bertentangan
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian yang
mungkin timbul jika
penanam modal menghentikan, meninggalkan, atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
c. Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah
praktek-praktek monopoli, dan
hal-hal lainnya yang merugikan negara;
d. Menjaga kelestarian lingkungan hidup;
e. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesehatan
pekerja; serta
f. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Selain dari hal-hal yang
disebutkan di atas, pemerintah menganggap perlu
untuk menambah persyaratan-persyaratan dalam bentuk
kewajiban tambahan bagi para penanam modal
yang melakukan kegiatan usaha di bidang pengolahan sumber daya alam yang tidak
terbarukan. Untuk tujuan konservasi lingkungan, para penanam modal di bidang sumber daya alam yang tidak terbarukan
tersebut diwajibkan untuk mengalokasikan
secara bertahap sejumlah dana yang dimaksudkan guna pemulihan kembali lokasi kegiatan usaha kepada keadaan semula, yang
harus memenuhi standar kelayakan lingkungan
hidup.
b. Kewajiban
dalam hal ketenagakerjaan
Dalam memenuhi kebutuhan
tenaga kerja, setiap perusahaan penanam modal
harus mengutamakan tenaga kerja warga negara
Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang cukup
besar, tentunya Indonesia cukup mampu menyumbangkan tenaga kerja bagi perusahaan penanaman modal sesuai dengan keahlian yang
dibutuhkan perusahaan tersebut. Pemberian izin
dari pemerintah bagi penanaman modal di suatu daerah
tentunya telah mempertimbangkan tenaga kerja yang tersedia, terutama di sekitar lokasi perusahaan penanaman modal tersebut
berada. Hal ini dinilai sangat penting karena
dengan adanya penanaman modal di suatu daerah diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan lapangan kerja baru
bagi penduduk sekitar, baik untuk tenaga kerja
yang terdidik maupun bagi tenaga kerja yang kurang terdidik.[3]
Perusahaan penanaman modal
diperkenankan untuk mempergunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian
tertentu, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Tenaga ahli yang mempunyai kewarganegaraan asing biasanya hanya
diperkenankan untuk mengisi jabatan managerial, sepanjang memang hal tersebut
dibutuhkan untuk kelangsungan operasional perusahaan dan sepanjang tenaga kerja warga negara Indonesia belum mampu
untuk melaksanakanjenis pekerjaan dimaksud.
Agar keberadaan tenaga ahli
asing tidak berlangsung secara permanen sehingga dapat menutup kesempatan kerja bagi tenaga kerja
warga negara Indonesia, perusahaan penanaman
modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan untuk menyelenggarakan pelatihan dan alih teknologi kepada
tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Untuk terciptanya alih keahlian dari tenaga kerja asing ke tangan
tenaga kerja Indonesia dan kesinambungan pasok
tenaga kerja Indonesia yang memenuhi persyaratan yang diinginkan, perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan
kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui kegiatan-kegiatan
pelatihan kerja.
Sesuai dengan yang diuraikan
dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pasal 10 ayat 1 menyatakan
perusahaan penanaman modal dalam memenuhi
kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia. Ayat 2 pasal ini menyebutkan
perusahaan penanaman modal berhak menggunakan
tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya pasal 10 ayat 3
menetapkan bahwa perusahaan penanaman modal
wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga
negara Indonesia melalui pelatihan kerja
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat 4 menjelaskan perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan
tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan
pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
c. Kewajiban dalam hal Tanggung Jawab
Sosial (Corporate Social Responsibility)
Kondisi iklim yang tidak
menentu saat ini yang ditandai dengan menipisnya
ozon dan global warming telah menggerakkan
pemerintah Negara-negara maju dan berkembang
untuk ambil bagian dalam menciptakan regulasi yang ramah lingkungan. Kemiskinan dan kerawanan sosial dianggap memiliki sumbangan
yang besar dalam perusakan sumber daya alam.
Oleh sebab itu, isu lingkungan tidak boleh dipisahkan
dari isu sosial dan kemasyarakatan.
Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan adalah Komitmen perseroan untuk
berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.[4]
Isu tanggung jawab sosial (corporate
social responsibility) adalah suatu topik
yang berkenaan dengan etika bisnis. Di sini terdapat
tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap
karyawan perusahaan dan masyarakat di sekitar perusahaan. Oleh karena itu
berkaitan pula dengan moralitas, yaitu sebagai standar bagi individu atau sekelompok mengenai benar dan salah, baik dan buruk.
Sebab etika merupakan tata cara yang menguji
moral seseorang atau standar moral masyarakat.
Hal yang relatif baru yang
terdapat pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 yang tidak dimuat secara eksplisit pada
Undang-Undang sebelumnya adalah mengenai
kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) sebagaimana
tertulis pada pasal 15 huruf b dari Undang-Undang
tersebut. Bagian penjelasan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan
merupakan tanggung jawab yang melekat pada
setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan
hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.
Dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, juga diatur tentang tanggung jawab sosial seperti
ditentukan dalam pasal 74 disebutkan bahwa :
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
(2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan
kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan
yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan
lingkungan diatur dengan
peraturan pemerintah.
Penjelasan pasal 74 ayat (3)
di atas bahwa yang dimaksud “ dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
adalah dikenai segala bentuk sanksi yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih mutakhir, muncul
gagasan yang lebih komprehensif mengenai
lingkup tanggung jawab sosial perusahaan ini. Paling kurang sampai sekarang ada empat bidang yang dianggap dan
diterima sebagai termasuk dalam apa yang
disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan.[5]
Pertama, keterlibatan
perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi
kepentingan masyarakat luas. Sebagai salah satu
bentuk dan wujud tanggung jawab sosial
perusahaan, perusahaan diharapkan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan
yang terutama dimaksudkan untuk membantu memajukan
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Jadi tanggung jawab sosial dan moral perusahaan di sini terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan
tertentu yang berguna bagi masyarakat.
Kedua, perusahaan telah
diuntungkan dengan mendapat hak untuk mengelola sumber
daya alam yang ada dalam masyarakat tersebut dengan
mendapatkan keuntungan bagi perusahaan
tersebut. Demikian pula sampai tingkat tertentu masyarakat telah menyediakan tenaga-tenaga profesional bagi perusahaan yang
sangat berjasa mengembangkan perusahaan
tersebut. Karena itu keterlibatan sosial merupakan balas jasa terhadap masyarakat.
Ketiga, dengan tanggung
jawab sosial melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan
memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak
melakukan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu
yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas. Dengan ikut dalam berbagai kegiatan sosial, perusahaan merasa punya
kepedulian, punya tanggung jawab terhadap masyarakat dan dengan demikian akan
mencegahnya untuk tidak sampai merugikan
masyarakat melalui kegiatan bisnis tertentu.
Keempat, dengan keterlibatan
sosial, perusahaan tersebut menjalin hubungan sosial
yang lebih baik dengan masyarakat dan dengan demikian
perusahaan tersebut akan lebih diterima
kehadirannya dalam masyarakat tersebut. Ini pada gilirannya akan membuat masyarakat merasa memiliki perusahaan tersebut dan
dapat menciptakan iklim sosial dan politik
yang lebih aman, kondusif, dan menguntungkan bagi kegiatan bisnis juga akhirnya punya dampak yang positif dan
menguntungkan bagi kelangsungan bisnis
perusahaan tersebut di tengah masyarakat tersebut.
2. Penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan
investor domestik dan investor asing.
Pada prinsipnya, investor
yang menanamkan investasi selalu mengharapkan bahwa investasi yang ditanamkan
dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa menimbulkan sengketa/konflik. Akan
tetapi tidak dapat dipungkiri pula bahwa di dalam menjalankan usahanya tidak
tertutup kemungkinan terjadinya suatu sengketa/konflik antara investor dengan
pemerintah serta masyarakat sekitarnya.
Apabila kita
perhatikan pengertian penanaman modal yang termuat dalam Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dapat sangat jelas
dilihat bahwa investor yang menanamkan modalnya di Indonesia dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu investor domestik dan investor asing. Maka yang menjadi pertanyaan kini adalah
hukum dan cara apakah yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi
antara investor dengan pihak pemerintah, terlebih mengingat bahwa investor yang
menanamkan modalnya di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu investor
domestik dan investor asing. Di mana pembagian jenis investor tersebut tentunya
membawa perbedaan dalam hukum dan cara yang digunakan untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi
antara investor dengan pihak pemerintah.
1. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
yang Timbul antara Pemerintah dengan Investor Domestik
Apabila sengketa
yang terjadi antara investor domestik dengan pihak Pemerintah Indonesia dan
masyarakat sekitarnya, hukum yang digunakan adalah hukum Indonesia.[6]
Dalam Pasal 32
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan cara
penyelesaian sengketa yang timbul dalam penanaman modal antara pemerintah
dengan investor domestik. Dalam ketentuan itu, ditentukan empat cara dalam
penyelesaian sengketa dalam penanaman modal. Keempat cara itu, antara lain:[7]
1. Musyawarah dan mufakat;
2. Arbitrase;
3. Alternatif penyelesaian sengketa; dan
4. Pengadilan.
Penyelesaian dengan
musyawarah dan mufakat merupakan cara untuk mengakhiri sengketa yang timbul
antara pemerintah dengan investor domestik, di mana di dalam penyelesaian itu
dilakukan pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai keputusan dan
kesepakatan atas penyelesaian sengketa secara bersama-sama.[8]
Penyelesaian sengketa
melalui lembaga arbitrase merupakan cara untuk mengakhiri sengketa dalam
penanaman modal antara pemerintah Indonesia dengan investor domestik, di mana
dalam penyelesaian sengketa itu menggunakan jasa arbiter atau majelis arbiter.
Arbiter atau majelis arbiterlah yang menyelesaikan sengketa penanaman modal
tersebut.[9]
Alternatif penyelesaian
sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati antara pemerintah Indonesia dengan investor domestik,
yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Ada lima cara penyelesaian sengketa
melalui alternatif penyelesaian sengketa, yaitu:[10]
1. konsultasi;
2. negosiasi;
3. mediasi;
4. konsiliasi;
5. penilaian ahli.
Penyelesaian sengketa
melalui pengadilan merupakan cara untuk mengakhiri sengketa yang timbul antara
pemerintah Indonesia dengan investor, di mana
penyelesaian itu dilakukan di muka dan di hadapan
pengadilan. Dan pengadilanlah yang nantinya akan memutuskan tentang
perselisihan tersebut. Ada tiga tingkatan pengadilan yang harus diikuti oleh
salah satu pihak, apakah pemerintah Indonesia atau investor domestik, yaitu
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.[11]
2. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
yang Timbul antara Pemerintah dengan Investor Asing
Dalam Pasal 32 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dikatakan bahwa:
“ Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa
tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para
pihak.”
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara untuk mengakhiri
perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing, di mana
kedua belah pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase atau arbiter perorangan
di luar wilayah hukum Republik Indonesia.[12]
Dalam rangka penyelesaian
sengketa oleh arbitrase telah ditetapkan bahwa hukum yang berlaku dan yang
menjadi dasar pemakaian oleh dewan wasit dalam menyelesaikan sengketa tersebut adalah hukum yang dipilih oleh para
pihak.[13]
Republik Indonesia
meratifikasi Konvensi ICSID dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 (Lembaran
Negara No. 32 Tahun 1968) yakni undang-undang persetujuan atas konvensi tentang
penyelesaian perselisihan antara negara
dan warga negara asing mengenai penanaman modal. Undang-undang ini singkat
saja, hanya berisi 5 Pasal.[14]
Dengan telah diratifikasinya
konvensi tersebut, secara yuridis Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam konvensi tersebut, sehingga setiap penyelesaian
perselisihan atau penyelesaian sengketa penanaman modal asing akan dilakukan menurut tata cara dan
prosedur yang diatur dalam International Centre for the Settlement of Investment
Dispute (ICSID).[15]
International
Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID) terdiri
atas 9 bab (chapter) dan 75 pasal (artikel). Hal-hal yang diatur
dalam ICSID ini,
meliputi:[16]
1. Chapter I International Centre for the Settlement of
Investment Dispute (ICSID) (Artikel 1 sampai dengan Artikel 24);
2. Chapter II Jurisdiction of the Centre (Artikel 25 sampai
dengan Artikel 27);
3. Chapter III Conciliation (Artikel 28 sampai dengan
Artikel 35);
4. Chapter IV Arbitration (Artikel 36 sampai dengan Artikel
55);
5. Chapter V Replacement and Disqualification of Conciliators
and Arbitrator (Artikel 56 sampai dengan Artikel 58);
6. Chapter VI Cost of Procedings (Artikel 59 sampai dengan
Artikel 63);
7. Chapter VII Disputes between Contracting States (Artikel
64);
8. Chapter VIII Amandment (Artikel 65 sampai dengan Artikel
66);
9. Chapter IX Final Provisions (Artikel 67 sampai dengan
Artikel 75).
Penyelesaian dengan
menggunakan arbitrase diatur dalam Artikel 36 sampai dengan Artikel 55 ICSID.
Sementara itu, tata cara pengajuan permohonan sampai dengan pengambilan putusan
disajikan berikut ini:[17]
1.
Tata Cara
Pengajuan Permohonan Arbitrase
Dalam Artikel 36 ICSID telah
ditentukan tata cara pengajuan permohonan penyelesaian sengketa kepada Centre,
melalui forum Arbitrase (Arbitral tribunals). Dalam ketentuan itu,
ditentukan tata cara sebagai berikut:
a) Pengajuan permohonan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Dewan Administratif Centre.
b) Permohonan diajukan secara tertulis.
c) Permohonan membuat penjelasan tentang:
1) pokok-pokok perselisihan;
2) identitas para pihak; dan
3) mengenai adanya persetujuan mereka mengajukan perselisihan yang
timbul menurut ketentuan Centre.
Setelah menerima permohonan
tersebut, Sekretaris Jenderal mendaftar permohonan, kecuali dia menemukan dalam
penjelasan permohonan bahwa perselisihan yang timbul nyata-nyata berada di luar
yurisdiksi Centre, Dalam hal perselisihan yang diajukan berada di luar yurisdiksi
Centre, Sekretaris Jenderal menolak untuk mendaftar. Untuk itu, Sekretaris
Jenderal membuat dan menyampaikan penolakan dalam bentuk “ pemberitahuan” atau notice
kepada para pihak. Dalam permohonan memenuhi syarat, dan permohonan telah
didaftar, maka Sekretaris Jenderal menyampaikan “ pemberitahuan” kepada para
pihak dan salinan
permohonan kepada pihak lain.
2.
Pembentukan
Tribunal Arbitrase
Apabila Sekretaris Jenderal
telah menerima dan mendaftar permohonan perselisihan yang diajukan salah satu
pihak, Centre harus sesegera mungkin membentuk Mahkamah Arbitrase (Tribunal
Arbitral).
Menurut Artikel 37 ayat (2)
ICSID, telah ditentukan pembentukan Mahkamah Arbitrase yang dilakukan Centre.
Mahkamah Arbitrase:
a) boleh hanya terdiri dari seorang arbiter (arbitrator) saja;
b) tetapi boleh juga arbiternya terdiri dari beberapa orang yang
jumlahnya ganjil (any uneven number of arbitrator).
Jika para pihak menyetujui
jumlah arbiter yang ditunjuk atau mereka tidak dapat menerima tata cara penunjukan
yang dilakukan Centre, cara lain penunjukan arbiter merujuk kepada ketentuan
Artikel 37 ayat (2) huruf b ICSID, dengan acuan penerapan:
a) anggota harus terdiri dari tiga orang arbiter;
b) masing-masing menunjuk seorang arbiter; dan
c) anggota yang ketiga ini, langsung mutlak menjadi ketua (presiden)
dari tribunal
arbitrase yang bersangkutan.
Para pihak dapat menyetujui
arbiter yang ditunjuk Centre. Sebaliknya dapat menolak apabila arbiter yang
ditunjuk tidak mereka setujui, atau apabila metode dan tata cara penunjukan
mereka anggap kurang sesuai. Dalam hal yang demikian, pengangkatan anggota arbiter
sepenuhnya menjadi hak dan kewenangan para pihak untuk mengangkat masing-masing
seorang arbiter. Sementara itu, pengangkatan
atau penunjukan arbiter ketiga harus atas persetujuan bersama dari semua
pihak. Dan anggota yang ketiga ini langsung akan bertindak sebagai Ketua
(Presiden).
Selanjutnya menurut Artikel
38 ICSID, apabila dalam tempo 90 hari dari tanggal pemberitahuan pendaftaran
permohonan tribunal arbitrase belum dibentuk, Ketua Dewan Administratif Centre
(Chairman of the Administratif Council) berwenang menunjuk
seorang atau beberapa orang arbiter. Kewenangan yang demikian ada pada
diri Ketua Dewan Administratif apabila
telah ada permohonan dari salah satu pihak. Di samping itu, kewenangan penunjukan
arbiter yang seperti itu tidak boleh diambil dari negara peserta konvensi yang
sedang berselisih.
Satu hal lagi yang perlu
diketahui dalam komposisi anggota arbiter, yaitu mayoritas anggota arbitrase
harus ditunjuk dari luar negara peserta Konvensi yang sedang berselisih. Hal
itu ditegaskan dalam Artikel 39 Konvensi. Namun demikian, ketentuan ini dapat
dikesampingkan apabila para pihak menyetujui bahwa arbiter tunggal ditunjuk
dari salah satu negara para pihak atau mereka setuju mayoritas anggota arbiter
dapat ditunjuk dari salah satu negara para pihak.
3.
Kewenangan
dan Fungsi Tribunal Arbitrase
Arbitrase Centre merupakan mahkamah yang bersifat
internasional. Kewenangan dari Arbitrase Centre adalah untuk mengadili atau
memutus perselisihan sesuai dengan kompetensinya (Artikel 40 ICSID). Berarti,
selama apa yang disengketakan para pihak
masih termasuk yurisdiksi yang ditentukan Pasal 32 dan Artikel 25 ICSID.
Para anggota arbiter sepenuhnya berwenang untuk memutus perselisihan.
Dalam hal ada bantahan (objection)
dari salah satu pihak yang menyatakan apa yang diperselisihkan adalah di luar
yurisdiksi Centre atau berdasar alasan lain yang memperlihatkan apa yang
diperselisihkan di luar kewenangan tribunal arbitrase yang dibentuk, tribunal
yang bersangkutan lebih dahulu mempertimbangkan dan memutus tentang hal
tersebut dalam bentuk putusan pendahuluan (preliminary). Akan tetapi,
bisa juga hal itu dipertimbangkan dan diputus bersamaan dengan pokok
persengketaan apabila tata cara yang demikian lebih bermanfaat.
Sehubungan dengan kewenangan
dan fungsi memutus perselisihan yang
terjadi, lebih lanjut diuraikan dalam hal-hal di bawah ini:
a) Memutus sengketa menurut
hukum
Menurut Artikel 42 Konvensi,
arbitrase Centre terikat pada ketentuan hukum
(rules of law) dalam memutus perselisihan yang terjadi.
Prinsip ini merupakan
patokan utama yang acuan penerapannya dapat dijabarkan secara
ringkas,
sebagai berikut.
1) Centre harus memutus berdasarkan hukum yang telah disepakati
para pihak
dalam perjanjian.
2) Dalam perjanjian tidak menentukan tata hukum mana yang akan
diterapkan,
Centre menerapkan tata hukum dari negara peserta yang sedang
berselisih.
3) Centre dilarang menerapkan hukum yang tidak dikenal oleh para
pihak-pihak
yang berselisih.
4) Akan tetapi Centre dapat memutus perselisihan berdasar
“kepatutan” atau “ex
aequo et bono”, jika hal
itu disepakati para pihak dalam perjanjian.
b) Memanggil dan melakukan pemeriksaan
setempat
Dalam Artikel 43 ICSID telah
ditentukan kewenangan Tribunal. Kewenangan itu meliputi:
1) memanggil atau meminta pihak-pihak untuk menyerahkan dokumen
atau alat bukti yang dianggap penting,
2) melakukan pemeriksaan setempat atau memeriksa langsung barang,
orang, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap patut dan
bermanfaat dalam penyelesaian perselisihan. Kewenangan itu akan gugur jika hal
para pihak menentukan lain dalam perjanjian.
c) Putusan Provisi
Dalam Artikel 47 ICSID telah
ditentukan kewenangan dari Centre. Kewenangan itu adalah menjatuhkan:
1) putusan pendahuluan; atau
2) putusan provisi; maupun
3) tindakan sementara.
Penjatuhan putusan itu
didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi dan menghormati hak dan
kepentingan salah satu pihak. Dalam tindakan atau putusan sementara, dapat
dimasukkan penyitaan barang-barang yang disengketakan, agar gugatannya tidak
mengalami illusoir di kemudian hari. Bisa juga pelarangan penjualan atau
pemindahan barang, asalkan itu merupakan objek yang langsung terlibat dalam
persetujuan.
4.
Putusan
Arbitrase Centre
Tujuan utama arbitrase
Centre ialah memutus perselisihan yang timbul apabila perselisihan itu telah
diajukan kepadanya. Dalam Artikel 48 ICSID telah ditentukan tata cara
pengambilan putusan. Tata cara pengambilan keputusan oleh Arbitrase Centre
disajikan berikut ini:
a) Putusan diambil berdasar
suara mayoritas anggota arbiter.
b) Putusan arbiter yang sah ialah:
1) dituangkan dalam putusan
secara tertulis; dan
2) ditandatangani oleh
anggota arbiter yang menyetujui putusan.
c) Putusan memuat segala segi permasalahan serta alasan-alasan
yang menyangkut dasar pertimbangan putusan.
d) Setiap anggota arbiter dibenarkan mencantumkan pendapat pribadi
(individual opinion) dalam putusan, meskipun pendapat tersebut
berbeda dan menyimpang dari pendapat mayoritas anggota. Bahkan, boleh juga
seorang anggota mencantumkan suatu pernyataan mengapa dia berbeda pendapat
dengan mayoritas anggota arbiter.
e) Centre tidak boleh memublikasi putusan, tanpa persetujuan para
pihak.
Selanjutnya, Sekretaris
Jenderal harus segera mengirimkan salinan putusan kepada para pihak. Putusan
dianggap memiliki daya mengikat atau binding terhitung dari tanggal pengiriman
salinan. Selama dalam jangka waktu 45 hari dari tanggal dimaksud, para pihak
dapat mengajukan pertanyaan yang berkenaan dengan kesalahan pengetikan,
perhitungan atau kekeliruan lain yang sejenis.
Walaupun putusan itu telah
diputuskan oleh Centre, namun para pihak atau
salah satu pihak diperkenankan melakukan:
a) interprestasi putusan;
b) revisi putusan; atau
c) pembatalan putusan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Kewajiban penanam modal yang
melakukan investasi di Indonesia sudah di atur oleh pemerintah baik secara umum
maupun secara khusus, pemerintah menganggap perlu
untuk menambah persyaratan-persyaratan dalam bentuk
kewajiban tambahan bagi para penanam modal
yang melakukan kegiatan usaha di bidang pengolahan sumber daya alam yang tidak
terbarukan. Untuk tujuan konservasi lingkungan, para penanam modal di bidang sumber daya alam yang tidak terbarukan
tersebut diwajibkan untuk mengalokasikan
secara bertahap sejumlah dana yang dimaksudkan guna pemulihan kembali lokasi kegiatan usaha kepada keadaan semula, yang
harus memenuhi standar kelayakan lingkungan
hidup. Selain itu juga ada kewajiban terhadap menggunakan tenaga kerja dan juga
tanggung jawab terhadap sosial lainnya.
Pengertian penanaman modal
yang termuat dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, dapat sangat jelas dilihat bahwa investor yang menanamkan
modalnya di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu investor domestik
dan investor asing. Sehingga ada
perbedaan dalam penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan penanam modal
asing dan pemerintah dengan penanam modal domestik.
Penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan penanam modal
domestik adalah menggunakan hukum Indonesia, yaitu penyelesaiannya melalui musyawarah
dan mufakat, Arbitrase, Alternatif
penyelesaian sengketa, dan Pengadilan. Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa
antara pemerintah dengan pemodal asing maka diselesaikan oleh arbitrase
Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Pandji Anoraga, Perusahaan Multi Nasional Dan Penanaman Modal
Asing, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995
Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia ,
Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2009
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan terbatas (berdasarkan
Undang-undang No. 40 Tahun 2007), Jakarta: Permata Aksara, 2012
A.Sonny Keraf,Etika Bisnis Tuntutan dan relevansinya,
Yogyakarta: Kanisus, 2002
Salim H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008
Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: Kencana,
2004
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005
[1] Pandji Anoraga, Perusahaan
Multi Nasional Dan Penanaman Modal Asing, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995, hal.
46.
[2] Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia ,
Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2009, hal 128-129.
[4] Binoto Nadapdap, Hukum
Perseroan terbatas (berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 2007), Jakarta:
Permata Aksara, 2012, hal 131.
[6] Salim H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008,
hal. 354.
[14]Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 322.
No comments:
Post a Comment