Saturday, September 17, 2016

MAKALAH PENANAMAN MODAL DI INDONESIA

TUGAS TERSTRUKTUR HUKUM DAGANG
 TENTANG
PENANAMAN MODAL DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang
Isu penanaman modal asing (untuk selanjutnya disingkat dengan PMA) dewasa ini semakin ramai dibicarakan. Hal ini mengingat, bahwa untuk kelangsungan pembangunan nasional dibutuhkan banyak dana. Dana yang dibutuhkan untuk investasi tidak mungkin dicukupi dari pemerintah dan swasta nasional. Keadaan ini yang makin mendorong untuk mengupayakan semaksimal mungkin menarik Penanaman Modal Asing ke Indonesia.[1]
Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia, usaha untuk menarik investasi. Beberapa andalan utama yang selama ini menjadi insentif dalam menarik investor asing seperti pasar dalam negeri yang cukup aktif dan berpeluang untuk berkembang pesat, tenaga kerja yang relatif murah, sumber daya alam yang cukup besar dan beraneka ragam, tidak lagi dapat diandalkan dengan sepenuhnya.
Persyaratan-persyaratan tertentu dalam investasi asing bagi negara berkembang bukanlah untuk menghambat kegiatan perdagangan dari perusahaan investasi asing, akan tetapi adalah untuk memastikan kontribusi yang lebih efisien dari modal asing untuk pembangunan ekonomi, untuk mempertinggi dan memaksimalkan peluang kerja, mengurangi kerugian industrial, ekonomi dan sosial dari daerah-daerah tertentu, mengurangi tekanan atas mata uang asing dan membuat penggunaan mereka lebih efisien, mempertinggi kontribusi investor asing dalam pengembangan kemampuan teknologi dalam negeri dan untuk memastikan lebih efisiennya penggunaan sumber daya alam untuk memperluas pasar ekspor.
Dengan masuknya modal asing ke Indonesia maka ada kemungkinan terjadi sengketa antara pemodal asing dengan pemerintah Indonesia, namun penanaman modal asing secara langsung juga memberikan pengertian bahwa bagi pemodal asing yang ingin menanamkan modalnya secara langsung, maka secara fisik pemodal asing hadir dalam menjalankan usahanya. Dengan hadirnya atau tepatnya dengan didirikannya badan usaha yang berstatus sebagai penanaman modal asing, maka badan usaha tersebut harus tunduk pada ketentuan hukum di Indonesia.

b.      Perumusan Masalah
1.      Bagaimana kewajiban penanam modal di Indonesia?
2.      Bagaimana perbedaan penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan investor domestik dengan investor asing?
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Kewajiban Penanam Modal

a.       Kewajiban secara umum

Sebagaimana tercantum pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal, perusahaan dalam negeri yang akan melakukan kegiatan penanaman modal diperkenankan untuk memilih bentuk perusahaan yang dianggap lebih cocok, untuk perusahaan penanaman modal asing wajib diwujudkan dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan harus berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia. Selain itu, penanaman modal asing diwajibkan untuk menjaga agar selama kegiatan penanaman modal masih berlangsung, bentuk badan usahanya tetap dapat mengikuti aturan yang dicantumkan pada Undang-Undang tersebut.
Secara umum, setiap penanam modal berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:[2]
a. Menjamin mengenai tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian yang mungkin timbul jika penanam modal menghentikan, meninggalkan, atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
c. Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktek-praktek monopoli, dan hal-hal lainnya yang merugikan negara;
d. Menjaga kelestarian lingkungan hidup;
e. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesehatan pekerja; serta
f. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain dari hal-hal yang disebutkan di atas, pemerintah menganggap perlu untuk menambah persyaratan-persyaratan dalam bentuk kewajiban tambahan bagi para penanam modal yang melakukan kegiatan usaha di bidang pengolahan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Untuk tujuan konservasi lingkungan, para penanam modal di bidang sumber daya alam yang tidak terbarukan tersebut diwajibkan untuk mengalokasikan secara bertahap sejumlah dana yang dimaksudkan guna pemulihan kembali lokasi kegiatan usaha kepada keadaan semula, yang harus memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup.

b.      Kewajiban dalam hal ketenagakerjaan
Dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja, setiap perusahaan penanam modal harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang cukup besar, tentunya Indonesia cukup mampu menyumbangkan tenaga kerja bagi perusahaan penanaman modal sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan perusahaan tersebut. Pemberian izin dari pemerintah bagi penanaman modal di suatu daerah tentunya telah mempertimbangkan tenaga kerja yang tersedia, terutama di sekitar lokasi perusahaan penanaman modal tersebut berada. Hal ini dinilai sangat penting karena dengan adanya penanaman modal di suatu daerah diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan lapangan kerja baru bagi penduduk sekitar, baik untuk tenaga kerja yang terdidik maupun bagi tenaga kerja yang kurang terdidik.[3]
Perusahaan penanaman modal diperkenankan untuk mempergunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tenaga ahli yang mempunyai kewarganegaraan asing biasanya hanya diperkenankan untuk mengisi jabatan managerial, sepanjang memang hal tersebut dibutuhkan untuk kelangsungan operasional perusahaan dan sepanjang tenaga kerja warga negara Indonesia belum mampu untuk melaksanakanjenis pekerjaan dimaksud.
Agar keberadaan tenaga ahli asing tidak berlangsung secara permanen sehingga dapat menutup kesempatan kerja bagi tenaga kerja warga negara Indonesia, perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan untuk menyelenggarakan pelatihan dan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Untuk terciptanya alih keahlian dari tenaga kerja asing ke tangan tenaga kerja Indonesia dan kesinambungan pasok tenaga kerja Indonesia yang memenuhi persyaratan yang diinginkan, perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui kegiatan-kegiatan pelatihan kerja.
Sesuai dengan yang diuraikan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pasal 10 ayat 1 menyatakan perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia. Ayat 2 pasal ini menyebutkan perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya pasal 10 ayat 3 menetapkan bahwa perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat 4 menjelaskan perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
c.       Kewajiban dalam hal Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Responsibility)
Kondisi iklim yang tidak menentu saat ini yang ditandai dengan menipisnya ozon dan global warming telah menggerakkan pemerintah Negara-negara maju dan berkembang untuk ambil bagian dalam menciptakan regulasi yang ramah lingkungan. Kemiskinan dan kerawanan sosial dianggap memiliki sumbangan yang besar dalam perusakan sumber daya alam. Oleh sebab itu, isu lingkungan tidak boleh dipisahkan dari isu sosial dan kemasyarakatan.
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah Komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.[4]
Isu tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) adalah suatu topik yang berkenaan dengan etika bisnis. Di sini terdapat tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan perusahaan dan masyarakat di sekitar perusahaan. Oleh karena itu berkaitan pula dengan moralitas, yaitu sebagai standar bagi individu atau sekelompok mengenai benar dan salah, baik dan buruk. Sebab etika merupakan tata cara yang menguji moral seseorang atau standar moral masyarakat.
Hal yang relatif baru yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang tidak dimuat secara eksplisit pada Undang-Undang sebelumnya adalah mengenai kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) sebagaimana tertulis pada pasal 15 huruf b dari Undang-Undang tersebut. Bagian penjelasan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, juga diatur tentang tanggung jawab sosial seperti ditentukan dalam pasal 74 disebutkan bahwa :
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
(2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.
Penjelasan pasal 74 ayat (3) di atas bahwa yang dimaksud “ dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih mutakhir, muncul gagasan yang lebih komprehensif mengenai lingkup tanggung jawab sosial perusahaan ini. Paling kurang sampai sekarang ada empat bidang yang dianggap dan diterima sebagai termasuk dalam apa yang disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan.[5]
Pertama, keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Sebagai salah satu bentuk dan wujud tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan diharapkan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang terutama dimaksudkan untuk membantu memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi tanggung jawab sosial dan moral perusahaan di sini terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang berguna bagi masyarakat.
Kedua, perusahaan telah diuntungkan dengan mendapat hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada dalam masyarakat tersebut dengan mendapatkan keuntungan bagi perusahaan tersebut. Demikian pula sampai tingkat tertentu masyarakat telah menyediakan tenaga-tenaga profesional bagi perusahaan yang sangat berjasa mengembangkan perusahaan tersebut. Karena itu keterlibatan sosial merupakan balas jasa terhadap masyarakat.
Ketiga, dengan tanggung jawab sosial melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas. Dengan ikut dalam berbagai kegiatan sosial, perusahaan merasa punya kepedulian, punya tanggung jawab terhadap masyarakat dan dengan demikian akan mencegahnya untuk tidak sampai merugikan masyarakat melalui kegiatan bisnis tertentu.
Keempat, dengan keterlibatan sosial, perusahaan tersebut menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan masyarakat dan dengan demikian perusahaan tersebut akan lebih diterima kehadirannya dalam masyarakat tersebut. Ini pada gilirannya akan membuat masyarakat merasa memiliki perusahaan tersebut dan dapat menciptakan iklim sosial dan politik yang lebih aman, kondusif, dan menguntungkan bagi kegiatan bisnis juga akhirnya punya dampak yang positif dan menguntungkan bagi kelangsungan bisnis perusahaan tersebut di tengah masyarakat tersebut.

2.       Penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan investor domestik dan investor asing.

Pada prinsipnya, investor yang menanamkan investasi selalu mengharapkan bahwa investasi yang ditanamkan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa menimbulkan sengketa/konflik. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri pula bahwa di dalam menjalankan usahanya tidak tertutup kemungkinan terjadinya suatu sengketa/konflik antara investor dengan pemerintah serta masyarakat sekitarnya.
            Apabila kita perhatikan pengertian penanaman modal yang termuat dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dapat sangat jelas dilihat bahwa investor yang menanamkan modalnya di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu investor domestik dan investor asing.  Maka yang menjadi pertanyaan kini adalah hukum dan cara apakah yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara investor dengan pihak pemerintah, terlebih mengingat bahwa investor yang menanamkan modalnya di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu investor domestik dan investor asing. Di mana pembagian jenis investor tersebut tentunya membawa perbedaan dalam hukum dan cara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi
antara investor dengan pihak pemerintah. 




1. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal yang Timbul antara Pemerintah dengan Investor Domestik
            Apabila sengketa yang terjadi antara investor domestik dengan pihak Pemerintah Indonesia dan masyarakat sekitarnya, hukum yang digunakan adalah hukum Indonesia.[6]
            Dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam penanaman modal antara pemerintah dengan investor domestik. Dalam ketentuan itu, ditentukan empat cara dalam penyelesaian sengketa dalam penanaman modal. Keempat cara itu, antara lain:[7]
1. Musyawarah dan mufakat;
2. Arbitrase;
3. Alternatif penyelesaian sengketa; dan
4. Pengadilan.
Penyelesaian dengan musyawarah dan mufakat merupakan cara untuk mengakhiri sengketa yang timbul antara pemerintah dengan investor domestik, di mana di dalam penyelesaian itu dilakukan pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai keputusan dan kesepakatan atas penyelesaian sengketa secara bersama-sama.[8]
Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase merupakan cara untuk mengakhiri sengketa dalam penanaman modal antara pemerintah Indonesia dengan investor domestik, di mana dalam penyelesaian sengketa itu menggunakan jasa arbiter atau majelis arbiter. Arbiter atau majelis arbiterlah yang menyelesaikan sengketa penanaman modal tersebut.[9]
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati antara pemerintah Indonesia dengan investor domestik, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Ada lima cara penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, yaitu:[10]
1. konsultasi;
2. negosiasi;
3. mediasi;
4. konsiliasi;
5. penilaian ahli.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan cara untuk mengakhiri sengketa yang timbul antara pemerintah Indonesia dengan investor, di mana penyelesaian itu dilakukan di muka dan di hadapan pengadilan. Dan pengadilanlah yang nantinya akan memutuskan tentang perselisihan tersebut. Ada tiga tingkatan pengadilan yang harus diikuti oleh salah satu pihak, apakah pemerintah Indonesia atau investor domestik, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.[11]

2. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal yang Timbul antara Pemerintah dengan Investor Asing           
Dalam Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dikatakan bahwa:
“ Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.”
            Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara untuk mengakhiri perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing, di mana kedua belah pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia.[12]
Dalam rangka penyelesaian sengketa oleh arbitrase telah ditetapkan bahwa hukum yang berlaku dan yang menjadi dasar pemakaian oleh dewan wasit dalam menyelesaikan sengketa  tersebut adalah hukum yang dipilih oleh para pihak.[13]
Republik Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 (Lembaran Negara No. 32 Tahun 1968) yakni undang-undang persetujuan atas konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara  negara dan warga negara asing mengenai penanaman modal. Undang-undang ini singkat saja, hanya berisi 5 Pasal.[14]
Dengan telah diratifikasinya konvensi tersebut, secara yuridis Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi tersebut, sehingga setiap penyelesaian perselisihan atau penyelesaian sengketa penanaman modal  asing akan dilakukan menurut tata cara dan prosedur yang diatur dalam International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID).[15]

            International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID) terdiri
atas 9 bab (chapter) dan 75 pasal (artikel). Hal-hal yang diatur dalam ICSID ini,
meliputi:[16] 
1. Chapter I International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID) (Artikel 1 sampai dengan Artikel 24);
2. Chapter II Jurisdiction of the Centre (Artikel 25 sampai dengan Artikel 27); 
3. Chapter III Conciliation (Artikel 28 sampai dengan Artikel 35);
4. Chapter IV Arbitration (Artikel 36 sampai dengan Artikel 55); 
5. Chapter V Replacement and Disqualification of Conciliators and Arbitrator (Artikel 56 sampai dengan Artikel 58);
6. Chapter VI Cost of Procedings (Artikel 59 sampai dengan Artikel 63);
7. Chapter VII Disputes between Contracting States (Artikel 64);
8. Chapter VIII Amandment (Artikel 65 sampai dengan Artikel 66);
9. Chapter IX Final Provisions (Artikel 67 sampai dengan Artikel 75).
Penyelesaian dengan menggunakan arbitrase diatur dalam Artikel 36 sampai dengan Artikel 55 ICSID. Sementara itu, tata cara pengajuan permohonan sampai dengan pengambilan putusan disajikan berikut ini:[17]
1.      Tata Cara Pengajuan Permohonan Arbitrase
Dalam Artikel 36 ICSID telah ditentukan tata cara pengajuan permohonan penyelesaian sengketa kepada Centre, melalui forum Arbitrase (Arbitral tribunals). Dalam ketentuan itu, ditentukan tata cara sebagai berikut:
a) Pengajuan permohonan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Administratif Centre.
b) Permohonan diajukan secara tertulis.
c) Permohonan membuat penjelasan tentang:
1) pokok-pokok perselisihan;
2) identitas para pihak; dan
3) mengenai adanya persetujuan mereka mengajukan perselisihan yang timbul menurut ketentuan Centre.
Setelah menerima permohonan tersebut, Sekretaris Jenderal mendaftar permohonan, kecuali dia menemukan dalam penjelasan permohonan bahwa perselisihan yang timbul nyata-nyata berada di luar yurisdiksi Centre, Dalam hal perselisihan yang diajukan berada di luar yurisdiksi Centre, Sekretaris Jenderal menolak untuk mendaftar. Untuk itu, Sekretaris Jenderal membuat dan menyampaikan penolakan dalam bentuk “ pemberitahuan” atau notice kepada para pihak. Dalam permohonan memenuhi syarat, dan permohonan telah didaftar, maka Sekretaris Jenderal menyampaikan “ pemberitahuan” kepada para pihak dan salinan
permohonan kepada pihak lain.
2.      Pembentukan Tribunal Arbitrase
Apabila Sekretaris Jenderal telah menerima dan mendaftar permohonan perselisihan yang diajukan salah satu pihak, Centre harus sesegera mungkin membentuk Mahkamah Arbitrase (Tribunal Arbitral).
Menurut Artikel 37 ayat (2) ICSID, telah ditentukan pembentukan Mahkamah Arbitrase yang dilakukan Centre. Mahkamah Arbitrase:
a) boleh hanya terdiri dari seorang arbiter (arbitrator) saja;
b) tetapi boleh juga arbiternya terdiri dari beberapa orang yang jumlahnya ganjil (any uneven number of arbitrator). 
Jika para pihak menyetujui jumlah arbiter yang ditunjuk atau mereka tidak dapat menerima tata cara penunjukan yang dilakukan Centre, cara lain penunjukan arbiter merujuk kepada ketentuan Artikel 37 ayat (2) huruf b ICSID, dengan acuan penerapan:
a) anggota harus terdiri dari tiga orang arbiter;
b) masing-masing menunjuk seorang arbiter; dan
c) anggota yang ketiga ini, langsung mutlak menjadi ketua (presiden) dari tribunal
arbitrase yang bersangkutan.
Para pihak dapat menyetujui arbiter yang ditunjuk Centre. Sebaliknya dapat menolak apabila arbiter yang ditunjuk tidak mereka setujui, atau apabila metode dan tata cara penunjukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam hal yang demikian, pengangkatan anggota arbiter sepenuhnya menjadi hak dan kewenangan para pihak untuk mengangkat masing-masing seorang arbiter. Sementara itu, pengangkatan  atau penunjukan arbiter ketiga harus atas persetujuan bersama dari semua pihak. Dan anggota yang ketiga ini langsung akan bertindak sebagai Ketua (Presiden).
Selanjutnya menurut Artikel 38 ICSID, apabila dalam tempo 90 hari dari tanggal pemberitahuan pendaftaran permohonan tribunal arbitrase belum dibentuk, Ketua Dewan Administratif Centre (Chairman of the Administratif Council) berwenang menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter. Kewenangan yang demikian ada pada diri  Ketua Dewan Administratif apabila telah ada permohonan dari salah satu pihak. Di samping itu, kewenangan penunjukan arbiter yang seperti itu tidak boleh diambil dari negara peserta konvensi yang sedang berselisih.
Satu hal lagi yang perlu diketahui dalam komposisi anggota arbiter, yaitu mayoritas anggota arbitrase harus ditunjuk dari luar negara peserta Konvensi yang sedang berselisih. Hal itu ditegaskan dalam Artikel 39 Konvensi. Namun demikian, ketentuan ini dapat dikesampingkan apabila para pihak menyetujui bahwa arbiter tunggal ditunjuk dari salah satu negara para pihak atau mereka setuju mayoritas anggota arbiter dapat ditunjuk dari salah satu negara para pihak.


3.      Kewenangan dan Fungsi Tribunal Arbitrase
            Arbitrase Centre merupakan mahkamah yang bersifat internasional. Kewenangan dari Arbitrase Centre adalah untuk mengadili atau memutus perselisihan sesuai dengan kompetensinya (Artikel 40 ICSID). Berarti, selama apa yang disengketakan para pihak  masih termasuk yurisdiksi yang ditentukan Pasal 32 dan Artikel 25 ICSID. Para anggota arbiter sepenuhnya berwenang untuk memutus perselisihan.
Dalam hal ada bantahan (objection) dari salah satu pihak yang menyatakan apa yang diperselisihkan adalah di luar yurisdiksi Centre atau berdasar alasan lain yang memperlihatkan apa yang diperselisihkan di luar kewenangan tribunal arbitrase yang dibentuk, tribunal yang bersangkutan lebih dahulu mempertimbangkan dan memutus tentang hal tersebut dalam bentuk putusan pendahuluan (preliminary). Akan tetapi, bisa juga hal itu dipertimbangkan dan diputus bersamaan dengan pokok persengketaan apabila tata cara yang demikian lebih bermanfaat.
Sehubungan dengan kewenangan dan fungsi  memutus perselisihan yang terjadi, lebih lanjut diuraikan dalam hal-hal di bawah ini:
a) Memutus sengketa menurut hukum
Menurut Artikel 42 Konvensi, arbitrase Centre terikat pada ketentuan hukum
(rules of law) dalam memutus perselisihan yang terjadi. Prinsip ini merupakan
patokan utama yang acuan penerapannya dapat dijabarkan secara ringkas, 
sebagai berikut.
1) Centre harus memutus berdasarkan hukum yang telah disepakati para pihak
dalam perjanjian.
2) Dalam perjanjian tidak menentukan tata hukum mana yang akan diterapkan,
Centre menerapkan tata hukum dari negara peserta yang sedang berselisih.
3) Centre dilarang menerapkan hukum yang tidak dikenal oleh para pihak-pihak
yang berselisih.
4) Akan tetapi Centre dapat memutus perselisihan berdasar “kepatutan” atau “ex
aequo et bono”, jika hal itu disepakati para pihak dalam perjanjian.
 b) Memanggil dan melakukan pemeriksaan setempat
Dalam Artikel 43 ICSID telah ditentukan kewenangan Tribunal. Kewenangan itu meliputi:
1) memanggil atau meminta pihak-pihak untuk menyerahkan dokumen atau alat bukti yang dianggap penting,
2) melakukan pemeriksaan setempat atau memeriksa langsung barang, orang, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap patut dan bermanfaat dalam penyelesaian perselisihan. Kewenangan itu akan gugur jika hal para pihak menentukan lain dalam perjanjian.
c) Putusan Provisi
Dalam Artikel 47 ICSID telah ditentukan kewenangan dari Centre. Kewenangan itu adalah menjatuhkan:
1) putusan pendahuluan; atau
2) putusan provisi; maupun 
3) tindakan sementara.
Penjatuhan putusan itu didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi dan menghormati hak dan kepentingan salah satu pihak. Dalam tindakan atau putusan sementara, dapat dimasukkan penyitaan barang-barang yang disengketakan, agar gugatannya tidak mengalami illusoir di kemudian hari. Bisa juga pelarangan penjualan atau pemindahan barang, asalkan itu merupakan objek yang langsung terlibat dalam persetujuan.
4.      Putusan Arbitrase Centre
Tujuan utama arbitrase Centre ialah memutus perselisihan yang timbul apabila perselisihan itu telah diajukan kepadanya. Dalam Artikel 48 ICSID telah ditentukan tata cara pengambilan putusan. Tata cara pengambilan keputusan oleh Arbitrase Centre disajikan berikut ini:
a) Putusan diambil berdasar  suara mayoritas anggota arbiter.
b) Putusan arbiter yang sah ialah:
1) dituangkan dalam putusan secara tertulis; dan
2) ditandatangani oleh anggota arbiter yang menyetujui putusan.
c) Putusan memuat segala segi permasalahan serta alasan-alasan yang menyangkut dasar pertimbangan putusan.
d) Setiap anggota arbiter dibenarkan mencantumkan pendapat pribadi (individual opinion) dalam putusan, meskipun pendapat tersebut berbeda dan menyimpang dari pendapat mayoritas anggota. Bahkan, boleh juga seorang anggota mencantumkan suatu pernyataan mengapa dia berbeda pendapat dengan mayoritas anggota arbiter. 
e) Centre tidak boleh memublikasi putusan, tanpa persetujuan para pihak.
Selanjutnya, Sekretaris Jenderal harus segera mengirimkan salinan putusan kepada para pihak. Putusan dianggap memiliki daya mengikat atau binding terhitung dari tanggal pengiriman salinan. Selama dalam jangka waktu 45 hari dari tanggal dimaksud, para pihak dapat mengajukan pertanyaan yang berkenaan dengan kesalahan pengetikan, perhitungan atau kekeliruan lain yang sejenis.
Walaupun putusan itu telah diputuskan oleh Centre, namun para pihak atau
salah satu pihak diperkenankan melakukan:
a) interprestasi putusan;
b) revisi putusan; atau
c) pembatalan putusan.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Kewajiban penanam modal yang melakukan investasi di Indonesia sudah di atur oleh pemerintah baik secara umum maupun secara khusus, pemerintah menganggap perlu untuk menambah persyaratan-persyaratan dalam bentuk kewajiban tambahan bagi para penanam modal yang melakukan kegiatan usaha di bidang pengolahan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Untuk tujuan konservasi lingkungan, para penanam modal di bidang sumber daya alam yang tidak terbarukan tersebut diwajibkan untuk mengalokasikan secara bertahap sejumlah dana yang dimaksudkan guna pemulihan kembali lokasi kegiatan usaha kepada keadaan semula, yang harus memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup. Selain itu juga ada kewajiban terhadap menggunakan tenaga kerja dan juga tanggung jawab terhadap sosial lainnya.
Pengertian penanaman modal yang termuat dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dapat sangat jelas dilihat bahwa investor yang menanamkan modalnya di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu investor domestik dan investor asing.  Sehingga ada perbedaan dalam penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan penanam modal asing dan pemerintah dengan penanam modal domestik.
Penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan penanam modal domestik adalah menggunakan hukum Indonesia, yaitu penyelesaiannya melalui musyawarah dan mufakat, Arbitrase,  Alternatif penyelesaian sengketa, dan Pengadilan. Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan pemodal asing maka diselesaikan oleh arbitrase Internasional.

DAFTAR PUSTAKA
Pandji Anoraga, Perusahaan Multi Nasional Dan Penanaman Modal Asing, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995
Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia , Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2009
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan terbatas (berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 2007), Jakarta: Permata Aksara, 2012
A.Sonny Keraf,Etika Bisnis Tuntutan dan relevansinya, Yogyakarta: Kanisus, 2002
Salim H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,  2008
Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: Kencana, 2004
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005



[1] Pandji Anoraga, Perusahaan Multi Nasional Dan Penanaman Modal Asing, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995, hal. 46.
[2] Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia , Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2009, hal 128-129.
[3] Ibid, hal. 130.
[4] Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan terbatas (berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 2007), Jakarta: Permata Aksara, 2012, hal 131.

[5] A.Sonny Keraf,Etika Bisnis Tuntutan dan relevansinya, Yogyakarta: Kanisus, 2002, hal 123.

[6] Salim H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,  2008, hal. 354.
[7] Ibid., hal. 355.
[8] Ibid., hal. 355.
[9] Ibid., hal. 356.
[10] Ibid., hal. 356.
[11] Ibid., hal. 357.
[12] Ibid., hal. 358.
[13] Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 162.
[14]Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 322. 
[15] Aminudin Ilmar, op. cit., hal. 157.
[16] Salim H. S. dan Budi Sutrisno, op. cit., hal. 359-360.
[17] Ibid.,hal.  366-375.

No comments:

Post a Comment